25 September 2009

» Home » Kompas » Buaya Vs Cicak

Buaya Vs Cicak

Buaya lawan cicak. Itu adalah hiperbol KPK lawan Polri.
Entah berasal dari mana, hiperbol tersebut jadi bahan diskusi yang kian panas, lebih panas dari materi masalah itu sendiri.
Padahal, hiperbol itu belum tentu benar. Buktinya, pada permainan suit anak-anak, gajah kalah oleh semut. Padahal, semut mati diinjak manusia dan manusia mati diinjak gajah. Masalahnya, giliran semut lawan gajah, semut tidak menginjak gajah, tetapi masuk kuping gajah, gajah pun mati. Jadi, siapa tahu cicak bisa membunuh gajah seperti David mengalahkan Goliath.


Padahal, segala sesuatu yang belum tentu benar, pasti bukan kebenaran alias tidak benar. Demikian dalil logika Aristoteles. Dan mereka yang ramai berdebat di media (dari pembawa acara, wartawan, pakar, anggota parlemen, LSM, tim pembela KPK atau pembela Polri, dan lainnya), semua berdiskusi tentang sesuatu yang tidak benar.
Jelas, dampaknya bukan makin benar, tetapi makin keblinger. Masalah tidak terselesaikan, yang muncul emosi belaka.
Taman kanak-kanak
Ketika menjadi presiden, Abdurrahman Wahid pernah menyatakan, anggota DPR seperti taman kanak-kanak. Saat itu, para anggota DPR yang amat terhormat itu marah. Namun, logika yang keblinger tidak terkait dengan kehormatan.
Para ulama Aceh keblinger saat ditipu Snouck Hurgronje. Para raja dan bangsawan Mataram keblinger saat menuruti kemauan Belanda untuk memecah wilayah Mataram menjadi empat. Kaisar Romawi Caligula menjadikan istananya ajang pesta seks.
Yang saya cemaskan adalah, kini bukan hanya DPR yang keblinger, tetapi yang lain-lain juga. Yang lebih mengerikan adalah jika para petinggi KPK yang kini menjadi tersangka, tidak hanya sekadar dikriminalisasi (nanti bisa diklarifikasi di pengadilan), tetapi benar-benar sudah terlindas gelombang keblingerisasi.
Banyak yang berargumen, KPK adalah institusi yang berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu (padahal semula KPK dituduh tebang pilih). Lalu dideretkan sejumlah contoh, para tokoh penting yang dijerat hukum oleh KPK. Termasuk di situ kasus Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.
Ini keblinger lagi. Secara logika, tak ada hubungan kasus-kasus yang dilibas KPK (pada era Taufiequrachman Ruki) dengan kasus Bank Century (era Antasari). Atau dalam bahasa logika, premisnya tidak sah, tidak nyambung, sehingga kesimpulannya pun salah.
Contoh premis yang tak nyambung sering saya sampaikan di kelas ”Logika” di Universitas Indonesia, seperti ini, ”Manusia bernapas. Mohamad Ali bernapas. Jadi, Mohamad Ali adalah manusia. Betul tidak?” Maka, semua mahasiswa akan menjawab, ”Betuuul....” ”Tidak betul,” kata saya. ”Coba tukar kata Mohamad Ali dengan kucing; Manusia bernapas, kucing bernapas, jadi kucing adalah manusia. Salah, kan?”
Kipas-kipas mencari angin
Jikalau murid taman kanak- kanak belum bisa berpikir logis, itu wajar. Namun, jika orang dewasa, politisi, jurnalis, pakar, doktor, profesor, juga tidak bisa berpikir logis, ini keblinger. Psikologi menjelaskannya sebagai gejala gangguan emosi sehingga rasio tidak jalan. Makin panas emosi kita, makin tidak logis jalan pikiran kita. Makin tidak logis pikiran kita, makin ngawur tindakan kita. Kalau tidak percaya, rekam perdebatan suami-istri yang sedang bertengkar hebat. Akan kita dengar kata-kata dan kalimat-kalimat mereka tidak logis belaka.
Nah, untuk menjaga agar bangsa dan negara kita tidak makin keblinger, maka kita perlu ikut nasihat para orangtua zaman dulu (termasuk nasihat ayah saya), yaitu ”kipas-kipas mencari angin, badan boleh panas tetapi kepala tetap dingin”.
Opini : 26 September 2009
Sarlito W Sarwono Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia