KISRUH antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri yang tak berujung, akhirnya, memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk melerai. Presiden tetap menghendaki KPK yang kuat. Begitulah pesan presiden yang disampaikan ke publik.
Pesan itu sekaligus menjawab perdebatan publik di media massa bahwa pemerintah tidak terlibat dalam skenario besar untuk memereteli fungsi dan kewenangan KPK. Pemerintah justru ingin menyelamatkan KPK serta membuat KPK kuat dan disegani.
Cintailah KPK
Sejak Ketua KPK Antasari terjerat kasus hukum terkait pembunuhan Nasrudin, yang kemudian disusul kasus hukum ketua-ketua KPK yang lain -Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah- yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang, maka KPK ibarat kapal yang nyaris tenggelam. Sebab, model kepemimpinan mereka adalah kolektif.
Untuk menyelamatkan itu, presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penunjukan tiga pelaksana tugas pimpinan KPK. Presiden merasa perlu menerbitkan perppu karena menganggap KPK tidak akan berjalan dengan baik jika hanya dipimpin dua orang.
Proses penggantian tiga pimpinan KPK tersebut, khususnya yang terkait dengan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, semakin memperkuat dugaan awal bahwa ada pihak-pihak yang memang menjadikan para pimpinan KPK sebagai target. Isu substansial dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah yang dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang akhirnya ''kabur" seiring dengan isu dan skenario penyelamatkan KPK oleh presiden.
Padahal, untuk memperkuat KPK saat ini dan mendatang, perlu klarifikasi dan proses yang transparan atas apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sebab, jika di kemudian hari ada intervensi politik lain karena KPK ingin memberangus para pejabat dan politisi, tidak mustahil hal yang sama dapat saja dilakukan.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, substansi penyelamatan KPK harus meliputi dua hal. Pertama, transparansi dan pengawasan serta pengawalan kasus hukum Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah. Jangan sampai dua orang itu menjadi tumbal win-win solution dari kompromi politik berbagai pihak yang memang ingin dan menghendaki penggantian para pimpinan KPK setelah Antasari dapat dipenjarakan.
Mengapa hal itu perlu? Sebab, proses hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah seakan-akan dilupakan oleh pers dan publik. Semua orang tertuju kepada cara kerja anggota Tim Rekomendasi Plt Pimpinan KPK: Taufiequrrachman Ruki, Adnan Buyung Nasution, Menko Polhukam Widodo A.S., Menkum HAM Andi Mattalatta, dan Todung Mulya Lubis dalam mencari orang pengganti.
Kedua, jangan sampai kasus benturan hukum antara para penegak hukum tersebut terus berlanjut. Kita menyaksikan perseteruan antara KPK dan Polri, bahkan ketua Mahkamah Konstitusi pun ikut-ikutan menyindir Polri di media massa seiring dengan pertarungan cecak melawan buaya itu.
Sebab, jika tiga orang pimpinan KPK tersebut diganti orang baru -tentu untuk waktu yang terbatas- apakah ketiganya dapat memulihkan institusi KPK secara cepat dan memaksimalkan kerja KPK secara maksimal. Dalam konteks itu, yang tebersit pada sindiran istilah cecak oleh salah seorang perwira Polri sebenarnya, menurut hemat penulis, pada konteks kinerja penegakan hukum.
KPK selama ini dalam kerjanya dibantu penuh oleh Polri karena sebagian besar penyidik dan intelijen KPK adalah polisi yang diperbantukan oleh Polri di KPK. Dapat dibayangkan jika kemudian para polisi itu ditarik dari KPK, apakah secara institusional KPK tidak mengalami kesulitan untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam mengawasi, mencegah, dan menindak para koruptor.
Oleh karena itu, penyelamatan KPK bukan hanya terletak pada lima orang pimpinan KPK yang sekarang banyak diributkan, tetapi kehadiran KPK harus pula dicintai pihak kepolisian (Polri) dan tentu dicintai pula oleh pihak kejaksaan. Hubungan yang harmonis antara KPK, Polri, dan kejaksaan terletak pada kerja sama mereka untuk saling membantu dalam upaya pemberantasan korupsi.
Organisasi KPK memang baru. Karena itu, secara personel memang membutuhkan bantuan dari berbagai instansi seperti Polri dan kejaksaan. Kehadiran KPK amat diperlukan dan dibutuhkan untuk mencegah praktik korupsi kelas kakap yang mungkin sulit diendus institusi lain. Namun, jika dalam cara kerjanya KPK terus-menerus berseteru dengan kepolisian dan hubungannya dengan kejaksaan juga tidak harmonis, kita terlalu muluk mengharapkan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Perkuat Kejaksaan-Kepolisian
Berdasar beberapa kasus korupsi yang pernah terjadi, bentuk korupsi yang merugikan negara yang sering terjadi selama lima tahun terakhir adalah yang dilakukan para pejabat negara atau institusi pemerintahan. Sebut saja kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, menteri, dan pejabat-pejabat negara lainnya.
Mencegah bentuk-bentuk korupsi yang berkelinden dengan jabatan kekuasaan di pemerintahan amatlah naif jika hanya diserahkan kepada KPK, tanpa memperkuat kejaksaan dan kepolisian. Meski KPK kuat, bila institusi penegak hukum lain tidak diberi kekuatan yang sama, baik dari segi wewenang, pendanaan, maupun peralatan, maka prinsip pencegahan korupsi justru akan mengalami ketimpangan.
Jangan sampai kehadiran KPK yang notebene sifat awalnya add hoc (sementara) mengalahkan lembaga penegak hukum lain yang menjadi instrumen utama dalam penegakan hukum di Indonesia. (*)
Opini Jawa Pos : 26 September 2009
*). Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta