Iqbal hanya menyoroti unjuk rasa guru kontrak di bawah Depag yang tampak di permukaan, dan belum ada terobosan konkret untuk menata nasib guru kontrak. Tulisan ini mencoba memberikan catatan yang belum disentuh oleh Iqbal.
Dalam masalah unjuk rasa guru, saya masih ingat beberapa tahun yang lalu guru kontrak (guru bantu) di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga melakukan dan menuntut hal yang sama. Dari desakan yang terus-menerus, akhirnya keluar Peraturan Pemerintah (PP) 48/2005 yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, termasuk di dalamnya guru bantu.
Ternyata, keluarnya PP tersebut mendapatkan reaksi keras dari guru swasta yang bergabung dalam Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia
(PGKSI) Jawa Tengah dan Persatuan Guru Swasta seluruh Indonesia. Sebab, dengan PP tersebut timbul pengotak-kotakan guru swasta antara yang digaji dengan APBN/APBD dan yang digaji oleh yayasan.
Diakui atau tidak, nasib guru kontrak di bawah Depdiknas lebih baik daripada guru kontrak di bawah Depag. Salah satu indikatornya adalah semua guru bantu di bawah Depdiknas masuk database di Badan Kepegawaian Nasional (BKN), bahkan sampai 2007 sebagian besar guru bantu sudah masuk menjadi PNS, dan bagi yang belum masuk dijanjikan akan diangkat sampai 2009.
Sementara itu guru kontrak di bawah Depag tidak semuanya masuk database BKN, sehingga banyak yang belum diangkat menjadi PNS. Di antara perbedaannya adalah sistem kontrak. Kalau di Depdiknas semua guru kontrak bisa memperpanjang kontrak setiap tahun, sedangkan di bawah Depag tidak semua guru kontrak bisa memperpanjang kontraknya. Kenyataan tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi antardepartemen dalam penanganan guru kontrak.
Tidak Punya Masterplan
Ada hal menarik dari perjalanan unjuk rasa yang dilakukan beberapa profesi guru tersebut. Setelah tuntutan para sekretaris desa (sekdes) Se-Indonesia dikabulkan setelah mereka menempuh aksi unjuk rasa, bahkan harus menginap di sekitar Istana Merdeka Jakarta, kini giliran guru kontrak melakukan hal yang sama tapi belum ada kepastian. Melihat kenyataan itu, ada kesan pemerintah mendapatkan tekanan (unjuk rasa) dalam pengangkatan PNS.
Saya khawatir, nanti guru tidak tetap (GTT) —baik yang di bawah Depag maupun Depdiknas— yang belum diangkat menjadi PNS juga akan melakukan cara yang sama. Hal itu menandakan, dalam perekrutan PNS pemerintah tidak mempunyai masterplan yang jelas.
Selain itu, pemerintah juga tidak tegas menangani guru kontrak. Dalam salah satu klausul perjanjian, tidak ada poin yang memberikan peluang (menuntut) menjadi PNS. Seharusnya hal itu ditekankan sejak awal dalam masa kontrak.Saya memahami alasan unjuk rasa yang dilakukan p;eh guru kontrak, yaitu kesejahteraan mereka masih di bawah guru PNS.
Tetapi lebih mengenaskan lagi adalag nasib guru swasta. Selama ini ada asumsi menjadi PNS adalah tujuan akhir bagi guru swasta. Memang masih ada guru swasta yang tidak menginginkan menjadi PNS, tetapi bisa dihitung dengan jari.
Melihat kenyataan kemampuan pemerintah, saya sepakat dengan Iqbal, bahwa pemerintah harus mencari terobosan kebijakan untuk bisa membuat guru menjadi lebih sejahtera.
Libatkan Swasta
Menurut saya, di antara terobosan yang bisa ditempuh adalah melibatkan peran serta perusahaan/instansi swasta.
Saat melihat sekolah swasta di Chicago, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, saya tahu bahwa ternyata perusahaan/instansi swasta di kota itu banyak yang mendukung pembiayaan operasional sekolah, termasuk di dalamnya kesejahteraan guru. Nama perusahaan swasta yang membantu tersebut, diabadikan dan dipampang di ruang utama sekolah. Ternyata langkah itu efektif untuk menutup operasional sekolah dan menyejahterakan gurunya.
Sebenarnya di Indonesia sudah ada perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan guru. Sampoerna Fondation, misalnya, memberikan bantuan pelatihan guru secara gratis. Ada juga perusahaan yang memberikan bantuan, tetapi masih sebatas untuk beasiswa bagi murid, belum menyentuh kepada kesejahteraan guru. Perusahaan yang seperti itu jumlahnya sedikit, dan belum terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, juga bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan luas kepada guru kontrak untuk bisa mengikuti sertifikasi. Selama ini guru kontrak terganjal oleh salah satu persyaratan, yakni harus menjadi guru tetap yang diangkat pemerintah dan yayasan. Hal ini membuat guru kontrak tidak bisa mengikuti sertifikasi guru.
Setidaknya, dengan mengikuti uji sertifikasi, ada harapan untuk mendapatkan kesejahteraan yang ;lebih baik. Kalau guru tersebut lolos uji sertifikasi, akan mendapatkan tunjangan profesi satu kali gaji guru PNS sesuai dengan masa kerjanya.
Memperjelas Isi Kontrak
Terobosan lain adalah dengan memperjelas klausu meningkatkan kesejahteraan dalam perjanjian kontrak. Selama ini klausul yang dicantumkan hanya besaran gaji yang diterima setiap bulan. Gajinya pun tidak cukup untuk satu bulan, dan sering gajinya pun harus diterima empat bulan atau lebih setelah bekerja.
Dalam masalah besar gaji, bisa belajar dari perekrutan trainer yang didanai ADB atau donatur lainnya, yaitu besar gajinya melebihi gaji PNS.
Ternyata, dengan model itu jarang sekali ada gejolak. Selain gaji pokok, seharusnya ada juga asuransi kesehatan, sehingga guru dapat tenang dan nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tidak kalah penting, pemerintah harus serius dalam merealisasikan amanat UU 14 tentang Guru dan Dosen tanpa memandang status guru tersebut. Sebab, UU tersebut menempatkan guru sebagai profesi. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak atas tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan (Pasal 14-1 Pasal 15-1). Kalau UU itu serius dilaksanakan pemerintah, maka kesejahteraan guru akan meningkat, termasuk di dalamnya kesejahteraan para guru kontrak.(68)
Wacana : 11 Februari 2008
–– Hery Nugroho, direktur Centre for Education Studies (CES) dan sekretaris Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jateng.