SEBUAH acara peresmian pembukaan usaha pers diselenggarakan di hotel mewah. Ratusan karyawan, termasuk wartawan direkrut. Esok paginya, koran perdana terbit. Orang terkaget-kaget, sebab, harga koran itu cuma Rp 500/eksemplar.
Bukan koran sembarang koran. Kertasnya menggunakan yang berkualitas. Halamannya bukan hanya empat, tapi lebih dari 16. Ini juga bukan koran hitam putih. Melainkan full colour. Wartawannya juga bukan sembarangan, karena yang direkrut, minimal S1.
Ini bukan cerita tahun 1950-an atau 1980-an. Ini fakta tahun 2008. Ketika harga sepotong tempe melonjak jadi Rp 1.000 dari biasanya Rp 500. Ada koran di Indonesia seharga secuil tempe. Koran lain dijual Rp 2.500 atau Rp 3.000, masih berat (karena pendapatan dari iklan terus menurun) koran yang satu itu ini justru dijual separo harga. Apa isi koran tak bermutu ? Siapa bilang ?.
Perusahaan pers itu berlangganan kantor berita dalam dan luar negeri. Wartawannya gesit - gesit, sehingga selalu memperoleh berita eksklusif. Fotografernya juga bukan amatiran. Pemred dan redakturnya pindahan dari media ternama.
Siapa yang diuntungkan dengan munculnya koran seperti itu ? Pastilah masyarakat. Tetapi kenapa koran itu tak langsung melejit tirasnya ? Jawabannya, juga pastilah masyarakat. Masyarakat mungkin masih ragu, apakah koran murah itu akan dapat memenuhi kebutuhan informasi sesuaiu harapan.
Jangan - jangan malah sebaliknya. Masyarakat jadi curiga ada apa, perusahaan pers melakukan ’’dumping’’. Kalau di belakangnya ada modal raksasa, sekuat apa raksasa itu. Sampai kapan raksasa itu bertahan ? Ini memang sesuatu yang fenomenal.
Pers ’’Otda’’
Fenomena lain, anak -anak perusahaan pers berkembang biak di daerah-daerah. Bersemangat otonomi daerah (otda), perusahaan pers kecil-kecil ini menumpang nama induknya yang besar. Mulanya pada tingkat karesidenan (sekarang pembantu gubernur), akhirnya sampai pada tingkat kabupaten/kota.
Awal mulanya, semua kebutuhan mereka dipasok dari perusahaan induk. Tak lama kemudian, pasokan dikurangi. Tiba saatnya, dilepas sama sekali. Semua tahu, pasokan iklan, lebih dari 90% dari Jakarta. Itu berarti sudah dilahap perusahaan induk. Yang di daerah, tinggallah iklan kecik.
Meskipun iklan kecik (ada yang menyebut iklan baris, cabe rawit dll), bukan urusan mudah untuk mendapatkannya. Pemasang akan menimbang-nimbang. Untuk sebuah media massa baru terbit, pikir seribu kali untuk pasang di situ. Bukan soal harganya sangat murah dengan space yang lebih besar, tapi soal manfaat, apakah iklan itu dibaca orang.
Karena sulit mencari iklan, sedangkan biaya operasional tinggi, pemred perusahaan pers kecil harus putar otak. Muncullah iklan - iklan terselubung. Muncullah upaya menjual space dengan harga semurah-murahnya. Celakanya, space itu bukan hanya diisi iklan, melainkan juga berita.
Nah, terpampanglah berita-berita bukan diproduksi wartawan atau kantor berita. Berita - berita itu kreasi penyewa halaman. Kalau umumnya media massa konvensional kadang sampai berdebat berjam-jam untuk menentukan Head Line (HL) , penyewa halaman dengan entengnya memasang merk produknya dengan huruf besar mencolok di bagian paling atas.
Masyarakat yang sudah mulai melek media massa jadi kebingungan. HL yang katanya berita penting, kok malah isinya, pengobatan alat vital ’’Mak Perot’’. Mana opini, mana fakta tak jelas lagi batasnya. Wartawan yang ketika masuk, idealismenya masih tinggi, tak mampu menahan derasnya arus. Dari pada menganggur, mereka berusaha untuk bertahan.
Berdwifungsi
Wartawan - wartawan muda pun terseret. Mereka diharuskan berdwifungsi. Sambil mencari berita, jadi kolpoltir iklan. Menjadi jurnalis sambil mencari pelanggan. Kalau imbalannya besar, mungkin masih mending. Bekerja mati-matian, imbalannya hanya sedikit di atas UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota).
Begitu berat jadi wartawan di perusahaan pers seperti itu. Penulis salut pada wartawan muda yang bisa bertahan sampai bertahun - tahun bekerja di situ. Mereka adalah orang - orang tahan banting.
Wartawan - wartawan tahan banting itu lalu menjadi incaran perusahaan pers yang mapan.
Mereka dinilai qualified, karena telah digembleng bertahun - tahun dalam kawah candradimuka. Mereka menjadi Gatotkaca, Satria Pringgodani yang berotot kawat balung wesi. Wartawan - wartawan ini lalu menjadi andalan di tempat kerja yang baru.
Perusahaan lama mereka anggap sebagai tempat training. Tempat baru adalah kerja yang sebenarnya. Yang bisa pindah ke media lebih bagus memang beruntung. Tapi yang malang, tak pindah-pindah juga cukup banyak.
Masalahnya jumlah media massa mapan, belum begitu banyak. Seringpula, ketika lowongan terbuka, usia sudah tak memungkinkan karena sudah tua.
Dumping, media massa bersemangat ’’otda’’ dan pers candradimuka adalah hal-hal di dunia pers Indonesia yang tak bisa dibiarkan terus-menerus.
Persaingan tidak sehat, akan mengakibatkan kekacauan. Jika tak mati satu, kedua atau ketiga perusahaan yang terlibat dalam persaingan tak sehat akan mati semuanya.
Ujung - ujungnya, pasti akan berdampak buruk terhadap kesejahteraan wartawan. Karena harus bersaing keras, gaji wartawan ditekan.
Karena koran ’’otda’’ harus tetap terbit, imbalan untuk wartawan bisa dikesampingkan. Gaji yang hanya sebesar UMK, tidak dinaikkan, malah bisa dikecilkan lagi. Atau diberikan dua - tiga bulan sekali. Kuli disket tak bisa berbuat apa - apa.
Tulisan ini bukan untuk direnungkan, tetapi dicarikan solusinya. Penulis masih punya keyakinan. Wartawan - wartawan Indonesia adalah mahluk idealis. Kalau pun satu - dua melakukan hal - hal kurang terpuji, hal itu tak lepas dari pengaruh situasi dan kondisi.
Mereka menunggu perubahan, untuk peningkatan kesejahteraan. Selamat Hari Pers Nasional 2008 (11).
Wacana : 09 Februari 2008
— Subakti A Sidik adalah Wartawan Suara Merdeka Biro Solo.