SETELAH agak lama tidak ada pertikaian antarelit politik, kini bara api mulai tersulut lagi. Perseteruan untuk saling menjatuhkan rival politik mewarnai kehidupan politik di republik ini.
Tiada hari tanpa perseteruan. Itulah yang dipertontonkan elit politik kita. Perilaku elit politik tak pernah akur dan suka berkelai. Mereka saling berseteru hanya urusan sepele. Egoisme kekuasaan melahirkan semarak perseteruan di antara mereka.
Karena itu, seruan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi agar para pemimpin bersatu pasti bukan basa-basi. Seruan itu ditujukan bagi pemimpin seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri.
Megawati sebagai ketua partai oposisi sering melontarkan kritik kepada Presiden Yudhoyono yang menilai kinerjanya masih buruk. Sementara Presiden membalas lewat tangkisan, sekaligus menyerang, sejak Mega melontarkan kritik tebang pilih, tebar pesona sampai tari poco-poco.
Rakyat Menderita
Masih segar dalam ingatan kita perseteruan antarelit politik yang muncul di atas permukaan dua tahun terakhir. Bukan hanya Megawati dengan Yudhoyono saja, tetapi Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla pernah berseteru soal konvensi Golkar. Juga Presiden Yudhoyono dengan DPR dalam persoalan interpelasi nuklir Iran, perjanjian keamanan Indonesia-Singapura (DCA), dan konflik antarelit lainnya.
Kita pernah menyaksikan perseteruan terbuka antara Akbar dan Kalla, terutama sejak Rakernas Partai Golkar (Desember 2007) yang memutuskan tak ada lagi konvensi untuk menjaring kandidat presiden 2009.
Akbar menilai putusan itu tak demokratis, dan menganggap Golkar dikemudikan oleh pemimpin bercorak saudagar. Tak tinggal diam, Kalla balas mengkritik dan menuduh konvensi Golkar tahun 2004 sarat dengan money politics.
Demikian pula Megawati, yang berulangkali mengkritik Yudhoyono telah gagal menjalankan mandat mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Yudhoyono dinilai gagal menjaga ekonomi yang berpihak rakyat.
Ini terbukti dari melonjaknya harga kebutuhan bahan pokok, yang menyebabkan banyak warga masyarakat beralih makan nasi aking atau umbi-umbian.
Kenyataan itu mengindikasikan Presiden Yudhoyono gagal menyediakan kebutuhan pangan dan menolong fakir miskin seperti amanat UUD 1945 (Pasal 33 dan 34). Juga dalam penyediaan pupuk dan benih gratis serta membangun irigasi.
Sekadar contoh, progam Panca Usaha Tani yang dulu pernah dirintis Pak Harto, kini hancur tak berbekas. Ada kesan pemerintah lebih senang mengambil jalan pintas, misalnya dengan mengimpor beras, kedelai, gula, jagung, dan terigu. Akibatnya, petani sekarang bertambah miskin dan sengsara. Mereka mengeluh, janji SBY-JK saat kampanye pilpres hanya janji kosong.
Begitu pula dengan pemberantasan korupsi, yang ternyata tidak segarang ketika pidato Yudhoyono saat kampanye. Presiden pernah berjanji memimpin langsung perang melawan korupsi.
Kini sudah tiga tahun rakyat belum merasakan ada perang melawan korupsi secara spektakuler. Yang ada hanya tebang pilih dan tebang pesanan. Karena itu, Mega mengkritik Yudhoyono lebih mementingkan tebar pesona lewat media. Kalau itu dibiarkan, rakyat yang akan menderita.
Membangun ke Depan
Saat ini para elit politik lebih fokus pada persiapan Pemilu 2009. Mereka tidak memperhatikan masalah yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat atau pembangunan demokrasi ke depan.
Apapun yang dipikirkan lebih berkaitan dengan praksis politik jangka pendek: menang pemilu! Tak peduli nasib generasi mendatang, yang penting mereka mendapat apa yang diinginkan.
Kondisi buruk seperti itu harus menjadi perhatian elite politik, dan jangan sampai timbul konflik sosial baik vertikal maupun horizontal. Perseteruan antarelit dan antarpemimpin menjadi tontonan rakyat yang tiada henti.
Ada yang menilai kondisi ini mencerminkan terjadinya erosi kebangsaan, krisis moral, atau kemerosotan rasa nasionalisme. Akibatnya rakyat makin apatis.
Fenomena itu bercampur dengan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. Gap antara si kaya dan si miskin kian jauh dan tak berkesudahan, dan membuat rakyat menjadi peka dan gampang marah.
Masyarakat di berbagai daerah mulai muak dengan elit politik di Jakarta. Hal itu tercermin dalam semangat separatisme, atau lewat pemasangan bendera RMS dan Bintang Kejora beberapa waktu lalu.
Kondisi sekarang juga dinilai mirip dengan era politik tahun 1950-an. Suatu masa ketika Demokrasi Terpimpin melahirkan ratusan partai politik, mudah mengubah UUD 1945, melahirkan sistem pemerintahan parlementer yang rapuh, sehingga mengakibatkan jatuh-bangunnya kabinet.
Atau muncul pemberontakan di daerah seperti PKI Madiun, DI / TII, PRRI / Permesta dan sebagainya. Jika elite politik lengah, situasi sekarang bisa membawa kita kembali pada sejarah masa lalu yang suram dan gelap, dengan puncaknya tragedi berdarah G30S (1965).
Oleh karena itu, sebelum terjerumus lebih dalam, cukup bijak kalau perseteruan antarelitepolitik yang menghabiskan energi itu segera. Lebih baik kita fokus pada masalah bangsa yang saat ini rentan terhadap perpecahan atau disintegrasi bangsa.
Kini saatnya para pemimpin di pusat maupun di daerah menyatukan langkah, sikap, dan persepsi, serta bangkit bersama membangun masa depan bangsa. Hanya itulah yang dicita-citakan para founding fathers lebih dari enam dekade lalu. (32)
Wacana : 12 Februari 2008
–– FS Swantoro, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta.