09 Januari 2011

» Home » Opini » Solo Pos » Ekonomi-politik LSI vs LPI

Ekonomi-politik LSI vs LPI

Selebriti baru pantas ditorehkan bagi pemain sepakbola Indonesia setelah dalam Asean Football Federation (AFF) sampai semifinal tidak terkalahkan. Mereka hanya kalah mental pada final leg I di kandang lawan –Malaysia—setelah mendapatkan teror dari suporter.

Pemain bola sebagai selebriti sudah lama berlangsung di Eropa Barat sehingga banyak pemain yang brilian dari berbagai penjuru dunia, diburu dan diterbangkan ke Eropa untuk berlenggaklenggok di lapangan hijau dan digaji besar. Kocek tebal, tampan dan tubuh yang berotot inilah yang membuat selebriti wanita baik penyanyi, pemusik, bintang film atau model tertarik dan menjalin hubungan. Contoh konkretnya adalah David Beckham yang mendapatkan Victoria. Di Tanah Air, Marcus Maulana mendapatkan artis Kiki Amalia.

Hal ini sesuai dengan pengamatan dan ramalan Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way atau jalan ketiga bahwa mulai abad ini para selebriti akan mendapatkan perhatian dan posisi sosial yang tinggi di mata masyarakat dan mendapatkan imbalan pendapatan yang tinggi pula.

Sebagai selebriti, pemain bola bagaikan Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Mereka disuruh bermain cantik, lincah, menarik dan memesona penonton yang berasal dari masyarakat awam, pengusaha, politikus dan pejabat. Kalau di dalam tonil atau tobongnya Ahmad Tohari, pengusaha, politikus dan pejabat merelakan koceknya untuk disawerkan, dengan cara disisipkan ke belahan dada Srintil sambil membayangkan kemolekan tubuh si ronggeng Srintil.

Di dalam kehidupan persepakbolaan, penonton awam membeli karcis untuk menikmati permainan sepak bola sedangkan pejabat dan pengusaha rela mengeluarkan uang untuk mendapatkan keuntungan finansial maupun keuntungan politik.

Karena sepak bola digemari oleh anak-anak sampai orang dewasa dan tidak mengenal jenis kelamin maka masa penggemar sepak bola merupakan sumber daya ekonomi maupun politik. Dari aspek ekonomi mikro, penggemar sepak bola adalah konsumen potensial sehingga pengusaha rela membiayai kompetisi sepak bola yang menelan biaya besar, tentu dengan imbalan memasang iklan produk mereka. Dari aspek politik, penggemar sepak bola adalah konstituen potensial yang akan memilih dalam Pemilu mendatang.

Dalam kondisi politik yang multipartai dan tidak dapat memunculkan pemimpin besar di mata rakyat, sepak bola merupakan sarana untuk kampanye Capres 2014- 2019. Tidak heran ketua partai politik memanfaatkan sepak bola untuk kampanye. Bagi politikus yang merasa tidak mampu menjadi presiden, cukup mengurus organisasi sepak bola sehingga tetap memiliki akses kepada kekuasaan. Ada yang mendapatkan keuntungan dobel yakni pengusaha dan sekaligus politikus yang dapat memanfaatkan sepak bola sebagai sumber daya ekonomi dan politik.

Membingungkan

Pertarungan bisnis dan politik yang memanfaatkan sepak bola seperti perseteruan Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Primer Indonesia (LPI) telah membingungkan pemain maupun masyarakat yang hobi menonton sepak bola. Irfan Bachdim misalnya, lebih memilih ikut berlaga di LPI walaupun memiliki risiko dicoret dari Tim Nasional (Timnas) untuk menghadapi SEA Games 2011 ini. Bagi PSSI sebagai induk perserikatan persepakbolaan Indonesia, mencoret Irfan Bachdim juga memiliki risiko. Di samping dia bermain bagus, Irfan juga memiliki wajah tampan yang digandrungi oleh remaja dan ibu-ibu muda. Apabila Timnas PSSI kalah di SEA Games, pengurus PSSI akan menuai protes dan mengancam kedudukan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang akhir-akhir ini didesak untuk mundur.

PSSI bersikukuh menyatakan LPI merupakan pertandingan ilegal atas dasar UU No 3/2005 utamanya Pasal 51 Ayat (2), “penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga yang bersangkutan dan memenuhi peraturan perundang-undangan”.

Ayat ini lebih menitikberatkan pada tertib administrasi dan teknis penyelenggaraan daripada untuk membatasi bahwa dalam satu negara hanya boleh dilakukan satu kompetisi dalam cabang olahraga sepak bola. Pernyataan PSSI tidak benar. Liga Italia misalnya, sejak 30 April 2009, Seri A mengumumkan berpisah dari Seri B, 19 klub mendukung keputusan tersebut dan hanya satu klub yakni Lecce yang menentang. Demikian pula Pasal 5 UU yang sama, disebutkan bahwa keolahragaan dilaksanakan dengan prinsip demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa. Dari prinsip demokratis tersebut maka penyelenggaraan pertandingan olahraga tidak dapat dibatasi asal tidak mengganggu ketertiban umum.

Genderang pertandingan LPI sudah ditabuh oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan antusiasme masyarakat untuk menikmati lincahnya permainan selebriti lapangan bola makin meningkat. Maka, sebaiknya PSSI legawa untuk merekomendasi berlangsungnya pertandingan tersebut. Hal ini juga dalam rangka reformasi dan restrukturisasi PSSI sesuai dengan amanah Kongres Nasional Sepakbola, 30-31 Maret 2010.

Saya yakin, ketertiban penonton sebagai rakyat kecil akan lebih kondusif bila petinggi-petinggi pengelola persepakbolaan nasional tidak saling bertengkar. Atas dasar kepentingan nasional, SEA Games U 23 2011, PSSI dapat memanggil langsung pemain bila induk klubnya telah keluar dari LSI. Ini pernah terjadi ketika Bambang Pamungkas main di Klub Selangor FC Malaysia dan dipanggil untuk memperkuat Timnas.

Purwanto

Warga Solo, peminat sepak bola - Oleh : Purwanto
Opini Solo Pos 8 Januari 2011