09 Januari 2011

» Home » Opini » Solo Pos » Seg­re­ga­si bis­nis akar kon­flik la­ten

Seg­re­ga­si bis­nis akar kon­flik la­ten

Masalah segregasi sosial di Solo selalu dikaitkan dengan terbentuknya tata permukiman yang didasarkan etnisitas, kelas sosial dan pluralitas.

Segregasi (segregate) berarti memisahkan, memencilkan atau pemisahan (segregation).

Kebijakan ini awalnya dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang memberikan tempat atau ruang suatu etnis tertentu dari etnis atau kelas sosial lain dengan menempati wilayah yang berdekatan dengan kekuasaan. Etnis China berada di wilayah Balong, Arab di Pasar Kliwon, etnis lain berada di wilayah tertentu. Kondisi ini dianggap sebagai salah satu faktor munculnya akar konflik .

Sekalipun demikian, secara naluri, manusia menempati suatu wilayah didasarkan adanya kedekatan dan persamaan individu. Mereka akan merasa lebih aman dan nyaman jika berada bersama kelompok sosialnya. Proses yang berjalan secara natural dan berdasarkan kebutuhan individu tidak terlalu menimbulkan kecemburuan sosial dan tidak berpotensi konflik yang bersifat laten.

Tampaknya, teori segregasi kini bukan lagi persoalan geografis tetapi telah bergeser dan berkembang ke kawasan yaitu kawasan bisnis.

Maka, munculnya kawasan bisnis modern yang bercorak perkotaan dengan kawasan bisnis tradisional yang bercorak kedaerahan menjadi sebuah kenyataan sejarah. Secara fisik bisnis modern ditandai dengan menjamurnya bangunan pencakar langit seperti mal, hypermarket dan sebagainya. Hampir semua kebutuhan hidup rakyat yang bersifat primer (pangan dan sandang) bisa didapatkan secara mudah.

Keberadaan bisnis modern ini secara perlahan tapi pasti akan menggusur bisnis tradisional. Kondisi diperparah lagi, jika pengambil kebijakan (pemerintah) melakukan proses pembiaran terhadap penguasaan bisnis pemodal besar untuk bersaing dengan pemodal kecil. Adilkah kebijakan itu dipertontonkan ke publik? Bagaimana bentuk proteksi pihak pengambil kebijakan terhadap pedagang kecil? Relokasi PKL sebagai jalan keluar atau sebagai proses peminggiran yang berakibat terjadinya kesenjangan yang semakin tajam.

Disadari atau tidak, kebijakan yang ditempuh Pemkot Solo selama ini adalah bagian dari pelestarian dan pengembangan akar konflik yang bersifat laten. Relokasi PKL ke Pasar Klitihikan Notoharjo sekalipun mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk oleh Wapres Boediono, tetap sebagai bara api di dalam sekam.

Mengapa? Suatu hal yang sangat krusial ke depan adalah terjadinya pemisahan dan pengucilan (baca: segregasi) antara kelompok kepentingan bisnis modern dan tradisional menjadi alasan utama. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Pemkot lebih berpihak dan melindungi terhadap kalangan kapitalis (yang jumlahnya lebih kecil) untuk mengembangkan kawasan bisnis modern tanpa harus diribeti oleh pedagang kios tradisional, pedagang asongan dan PKL. Bentuk peminggiran kalangan pedagang tradisional ini akan dirasakan dampaknya ketika fundamentalisme ekonomi (pasar bebas) menjadi sesuatu keharusan di kemudian hari.

Penjinakan

Proses penjinakan terhadap pedagang kios pasar tradisional telah melewati fase tertentu. Damai, tanpa gejolak dan perlawanan adalah sesuatu yang dimitoskan. Audiensi dan berunding di meja makan antara pejabat dengan rakyat disebut sebagai saka guru kemanusiaan. Kesadaran yang muncul dari masyarakatkah atau ewuh pakewuh? Wallahualam.

Namun, jika di tempat lain terjadi tindakan anarki, rakyat menjadi simpul kekerasan dan kambing hitam. Padahal perlawanan rakyat yang terjadi selama ini, hampir 99 persen terkait dengan masalah keadilan. Ganti rugi yang tidak sepadan, sistem pembayaran yang tidak jelas, tindakan represif yang membuat rakyat menjadi objek kebijakan.

Proses relokasi (baca “penggusuran”) kemudian disusul dengan munculnya Perda No 3/2008 tentang Pengelolaan PKL menjadi bukti, untuk siapa kebijakan itu dibuat. Persoalan PKL harus ber-KTP Solo dan denda Rp 5 juta bagi orang yang bertransaksi di lokasi terlarang menjadikan rakyat kecil menjadi objek permasalahan.

Sebagian PKL sudah mulai sadar bahwa Perda itu adalah diskriminatif, tidak berpihak kepada pedagang kecil, menguntungkan kalangan kapitalis. Tampak jelas bahwa Perda itu bagian dari kelanjutan kebijakan relokasi PKL ke Pasar Semanggi. Untuk apa itu dilakukan? Yaitu agar jalan tol menuju surga kalangan kapitalis di Solo terbuka lebar.

Berdagang di Solo harus memiliki KTP Solo tetapi pembeli tidak harus. Mengapa hanya pedagang kecil (asongan dan PKL), bagaimana pengusaha-pengusaha kelas kakap yang memiliki usaha di Solo dari mulai perdagangan, perhotelan, transportasi, jasa dan lain-lain. Jika aturan itu hanya berlaku untuk PKL tentu tidak adil. PKL hanya dijadikan objek peraturan padahal jumlah mereka lebih besar dibandingkan kalangan kapitalis.

Pada bagian lain disebutkan bahwa pembeli dan PKL yang bertransaksi di lokasi yang dilarang dikenai denda Rp 5 juta adalah bentuk pembatasan hak individu untuk mencari kehidupan. Ruang gerak pedagang kecil semakin sempit. Lebih aneh lagi jika pembeli juga terkena denda sama.

Dengan demikian, pedagang harus memiliki tempat mangkal dan kawasan tertentu sekalipun barang dagangannya tidak terjual habis. Bagaimana pedagang bakso keliling, penjual sate, pedagang mainan anak-anak dan lain-lain yang harus menempuh jarak yang cukup luas dan jauh agar barang dagangannya laku jual, tanpa tersisa? Pembatasan usaha yang berpotensi melanggar HAM ini merupakan bentuk kebijakan yang tidak manusiawi.

Kebutuhan pangan (ekonomi) merupakan sesuatu yang bersifat fundamental bagi setiap individu. Berbagai konflik hingga kerusuhan yang berskala besar terkait dengan persoalan kebutuhan perut sebagai kebutuhan primer bagi manusia. Seseorang akan berbuat anarki dan brutal bahkan tidak peduli akan kehilangan nyawa sekalipun disebabkan hak hidupnya dikebiri.

Maka, melakukan pemisahan (segregasi) antara pedagang kecil dengan pedagang kelas kakap bukan saja menyebabkan kecemburuan sosial tetapi justru mempertajam kesenjangan sosial. Kesenjangan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar mempersubur akar konflik yang bersifat laten di Solo.

Budaya mikul dan nggendong sebagai bagian dari budaya adi luhung masyarakat Jawa dapat dijadikan sebagai model integrasi kultural. Implementasinya, pengusaha besar harus membina pedagang-pedagang kecil sampai mereka mandiri. Pager mangkok lebih baik dari pager tembok adalah menyatukan hati . Dengan demikian, mimpi menjadikan kota Solo sebagai kota pesona (city charm) boleh saja tetapi jangan berubah menjadi kota membara. - Oleh : Ab­dul­lah Fais­hol Do­sen STAIN Su­rak­ar­ta, Ka­tib Syu­ri­ah PCNU Su­ko­harjo­

Opini SOlo Pos 10 Januari 2011