09 Januari 2011

» Home » Opini » Solo Pos » Po­li­tik, bo­la & me­dia mas­sa

Po­li­tik, bo­la & me­dia mas­sa

Saya penggemar berat Vivanews merasa sangat kecewa atas pemberitaan seputar PSSI, Timnas dan LPI, yang sangat mengandung unsur subjektivitas.

Ketahuilah bahwa cara kalian salah, hampir 90 persen warga negara kita sudah melihat dan mengerti betul bagaimana ki- nerja dan kenyataan tentang PSSI era Nurdin Halid, tolong TVOne dan (kelompoknya) sebagai media penyambung aspirasi rakyat ja-ngan korbankan kredibilitas kalian sebagai salah satu televisi terbaik di Indonesia dengan hanya satu kepentingan politik busuk, kotor dan menjijikkan!”

Tulisan di atas saya ambil dari portal Vivanews.com di link VIVAforum (http://forum.vivanews. com/showthread.php?t=60329) yang ditulis oleh seseorang yang menamakan dirinya “hyush”. Bisa jadi, tulisan itu mewakili jutaan pembaca atau pemirsa TV di Indonesia terkait ketidakobjektifan sebuah media massa yang seharusnya bertugas memberikan informasi dan fakta seimbang, independen dan tidak memihak kepada salah satu kepentingan kecuali kepada dua hal: kebenaran dan keadilan.

Persoalan subjektivitas amat tinggi yang dipertontonkan media massa, khususnya televisi, terkait dengan hiruk-pikuk perseteruan PSSI dan Liga Primer Indonesia (LPI) itu pula yang menjadi topik diskusi kelas kampung kami. “Ya begitulah kalau bal-balan ditunggangi politik, jadinya kisruh,” kata Denmas Suloyo membuka diskusi.

“Maksud sampeyan ditunggangi politik itu apa Denmas?” tanya Mas Wartonegoro.

“Lha jelas ta, sepak bola itu ya sepak bola. Itu olahraga rakyat, tidak usah dibikin ruwet, tidak usah dingel-ngel. Mau menyelenggarakan sepak bola saja kok ndadak dilarang-larang, itu karena masalah politik ta. Soal rebutan kekuasaan. Nyatanya pertandingannya kemarin ramai... dibanjiri penonton,” kata Denmas Suloyo.

Betul kata Denmas Suloyo, faktanya, laga perdana LPI yang digelar di Stadion Manahan Solo, akhir pekan lalu, membuktikan bahwa sepak bola adalah permainan olah raga, bukan permainan politik. Tiket ludes terbeli, penonton berbondong-bondong ke lapangan menyaksikan sebuah pertunjukan, mereka pulang dengan senang meskipun mungkin ada kekecewaan tim yang didukung kalah.

Penonton seakan memberi pesan bahwa polemik tidak seimbang yang ditampilkan di televisi tertentu saat membahas PSSI dan LPI tidak mempengaruhi mereka untuk datang menyaksikan pertandingan. Atau bahkan itu merupakan bentuk perlawanan yang ingin ditunjukkan masyarakat bahwa justru karena polemik, diskusi yang tidak seimbang bisa menjadi bumerang.

Menyimak fakta di atas, saya jadi teringat dengan apa yang pernah ditulis Effendi Gazali, pakar komunikasi politik Universitas Indonesia yang menyebutkan bahwa dalam hukum komunikasi publik, ratusan pakar—mulai dari yang klasik sampai Middleton (2007)— peran pokok media massa adalah selalu memerhatikan kepentingan publik serta keterlibatan publik. Kepentingan publiklah yang menjadi alasan tak terbantahkan sepanjang zaman, yang membuat pers bisa melakukan laporan investigatif!

Itu artinya, pers, apalagi televisi sebagai media paling unggul tidak boleh mengobarkan kepentingan publik demi kepentingan sepihak dari pemilik media massa. Apalagi jika kemudian menyangkutpautkannya dengan kepentingan golongan dan politik. Kalau ini dilakukan, jangan kecewa suatu ketika ditinggalkan pembaca atau pemirsanya.

Menunggangi

Hingga saat ini, masih banyak orang berpendapat bahwa politik itu kotor, politik itu kejam, politik itu tidak berperikemanusiaan. Padahal jika berpolitik ditempatkan pada tempat yang selayaknya, tak akan menjadi masalah. Teori klasik Aristoteles bahkan menyatakan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

Namun, ketika politik sudah ditarik-tarik atau bahkan menunggangi wilayah yang tidak seharusnya, misalnya tentang olah raga atau media massa, publik akan mempersoalkan. Sepak bola dan juga media massa adalah ”kawasan bebas politik” yang boleh dikelola oleh siapa saja.

Karenanya, ketika PSSI merasa menjadi penguasa sepak bola di negeri ini atau sebuah stasiun televisi mengebiri suara keadilan dan kebenaran publik, tunggu saja masa keruntuhannya. Sebab lambat atau cepat, kredibilitas mereka akan habis terkikis oleh kepentingan publik.

Win Wan Nur seorang Kompasianer, untuk menyebut para blogger media warga (citizen media) di Kompas.com menulis apa yang ditunjukkan oleh PSSI belakangan ini semakin menunjukkan PSSI memang berjarak sangat jauh dengan rakyat yang mencintai Timnas. Apa yang ditunjukkan PSSI dengan jelas memamerkan, mereka sama sekali bukan bekerja untuk kepentingan rakyat yang merasa terwakili Timnasnya. Sebaliknya, malah cenderung bertindak untuk mewakili kelompok atau orang tertentu, sebuah keluarga kaya yang terkenal dan berkuasa di negeri ini... - Oleh : Mu­ly­an­to Uto­mo War­ta­wan SO­LO­POS
Opini Solo Pos 10 Januari 2011