17 Februari 2011

» Home » Opini » Solo Pos » Refleksi 266 tahun Kota Solo Visi budaya & kekerasan budaya

Refleksi 266 tahun Kota Solo Visi budaya & kekerasan budaya

Hari ini, Selasa (17/2), Kota Solo memperingati hari jadi yang ke-266. Sebagai kota tua dengan visi sebagai kota budaya, Solo seharusnya menjadi punjer rujukan bagi kota-kota lain.

Tentu yang dirujuk adalah prestasi-prestasinya. Prestasi-prestasi itu yang paling awal bersumber dari kebanggaan masa lalu, yaitu aspek kesejarahan sebagai bekas pusat ibukota kerajaan tradisional. Sedangkan prestasi-prestasi kekinian atau kontemporer adalah keberhasilan Pemkot Solo membangun simbol-simbol budaya.

Beberapa kasus sukses kontemporer dapat ditunjukkan. Gerakan menulis papan nama instansi pemerintah dan swasta dengan tambahan tulisan huruf Jawa adalah sebuah terobosan yang diapresiasi oleh banyak kalangan, sekalipun penulisan papan nama itu lebih banyak dipaksakan karena nama asing juga dijawakan sehingga jika dibaca bisa tidak ada artinya.

Penulisan huruf Jawa di setiap papa nama instansi tersebut setidaknya untuk membangun citra bahwa Solo ”berkomitmen” terhadap bahasa ibu, yaitu bahasa Jawa. Tapi, sebenarnya itu adalah wujud covert (kulit) dan bukan overt (isi) dari budaya.

Kenyataannya warga Solo yang paham tulisan Jawa dengan baik (bisa membaca dan menulis) mungkin amat sedikit. Sebagian besar lainnya yang mengaku sebagai orang Jawa yang sudah tidak paham huruf Jawa. Hal itu harus diakui secara jujur karena huruf Jawa memang tidak dipakai sebagai simbol bahasa tulis dalam pergaulan lokal maupun nasional, apalagi internasional.

Jadi, kalau huruf Jawa hanya dikenali sebagai penanda pada penulisan di papan-papan nama maka upaya itu hanya bersifat budaya aksesori saja. Kelihatan ada kesan simboliknya tetapi tidak korelasional dengan pendukung budayanya, yaitu wong Jawa yang benar-benar paham tentang huruf Jawa.

Bolehlah kalau kemudian itu diklaim dengan konsep “dari pada”, artinya dari pada orangnya sudah tidak paham apalagi simbol-simbolnya juga tidak ada, maka penulisan huruf Jawa di papan nama itu masih ada baiknya.

Pertanyaannya adalah adakah rencana tindak lanjut dari sekadar menuliskan huruf Jawa di papan-papan nama instansi itu dalam bentuk lebih kuat lagi. Beranikah Pemkot Solo menyaratkan dalam setiap seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota Solo ada keharusan peserta untuk dapat menulis dan membaca huruf Jawa? Jangan kemudian yang salah adalah masyarakat sementara pegawai-pegawai Pemkot Solo juga hanya satu dua yang paham huruf Jawa.

Kekerasan struktural

Dengan demikian tidak berlebihan dikatakan di Solo terjadi kekerasan terhadap budaya (meminjam istilah Johan Galtung) karena secara struktural maupun fungsional, huruf Jawa di arena lokal Solo yang diakui punjer kebudayaannya sendiri ternyata hanya dijadikan sebagai aksesori. Artinya, kita semua hanya mewujudkan visi budaya dengan ukuran-ukuran yang minimalis bahkan amat minimalis.

Dengan demikian wujud dari visi kota budaya bukan hanya dalam bentuk artifact saja tetapi sekaligus socifact yaitu perilaku manusianya. Pernahkah terpikirkan semacam buku saku dengan judul Pinter Maca Jawa seperti kalau anak-anak atau pemula ingin belajar membaca Alquran dengan buku Iqra?

Pernahkah ada imbauan dari Pemkot Solo agar setiap rapat atau pertemuan warga RT atau RW di wilayah Kota Solo diminta untuk menggunakan bahasa Jawa? Bagaimana pula kepedulian Pemkot Solo terhadap pengajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah di Kota Solo? Sudahkan dievaluasi pengajaran bahasa Jawa tersebut sesuai dengan kompetensi untuk ikut membangun karakter anak-anak didik?

Perlu diketahui dalam berbagai hasil penelitian linguistik pragmatik, penggunaan bahasa ada kaitannya dengan kepribadian penuturnya. Kalau kultur penghormatan dalam pergaulan budaya Jawa itu erat juga dengan penggunaan kosakata dan speak level maka orang Jawa akan menggunakan bahasa Jawa pada jenjang bahasa yang halus dari pada yang kasar.

Semakin pribadinya suka menghormati maka semakin halus bahasa yang dipilih. Dengan kata lain bahasa Jawa halus akan membentuk pribadi yang halus juga. Coba saja banyak anak-anak di Solo susah sekali berkata panjenengan untuk menyebut orang yang dituakan atau dihormati. Mereka lebih cenderung untuk mengatakan predikat orangnya seperti bapak, ibu, kakak atau kakek-nenek ketika berkomunikasi dengan mereka.

Artinya, membiarkan atau terjadinya pembiaran terhadap terjadinya kekerasan budaya sama saja dengan melakukan kekerasan budaya itu sendiri. Kalau bahasa njawi (luar/asing/Inggris) saja menjadi tolok ukur kelulusan pendidikan maupun penerimaan CPNS maka masih mungkinkah ada revolusi budaya dengan mencantumkan persyaratan lulus bahasa Jawa untuk lokal Kota Solo?

Mungkin bukan hanya TOEFL (Test of English as a Foreign Language) yang skornya mencapai angka standar tetapi juga dapat diciptakan TOJALL (Test of Java as a Local Language) dengan skor tertentu pula.

Suatu bentuk ideal adalah apabila TOEFL dikuasai setelah penguasaan bahasa Jawa tidak ada masalah. Yang terjadi bukan tipe ideal karena orang Jawa punya bahasa dan huruf sendiri tetapi malah yang menjadi tuan rumah di tingkat lokal adalah bahasa asing.

Aksesori

Jelas-jelas sebuah perilaku yang tidak kontekstual dengan apa yang dicita-citakan yang tertuang dalam visinya. Kapan visi budaya itu terwujud kalau rekonstruksi budaya Jawa di Solo tidak pernah mendasar dan hanya bersifat aksesori? Ini memerlukan tindakan radikalisasi yang dipimpin oleh pemegang otoritas pemerintahan kota.

Itu semua baru soal bahasa. Padahal yang namanya kebudayaan itu unsurnya bukan hanya bahasa. Ada kesenian, ada sistem pengetahuan ada religi ada sistem mata pencaharian dan seterusnya. Jika kemudian kita tambah dengan membicarakan kesenian maka idealnya kesenian yang dikembangkan di Solo itu lebih banyak yang klasik bukan yang kontemporer.

Toleransi yang berlebihan untuk berkembangnya kesenian kontemporer jelas-jelas tindakan yang termasuk kekerasan terhadap budaya juga. Coba saja lihat banyak kafe di Solo tetapi sajian musiknya banyak yang asing. Adakah kafe yang khusus untuk keroncong, langgam atau campursari?

Belum lagi kesenian menyangkut tiga hal yaitu seni rupa, seni pertunjukan dan arsitektur. Dalam seni rupa termasuk seni kain baru saja ada kebangkitan dengan batik walaupun orang baru mengenal estetika, corak, mode batik belum soal motif klasik dan falsafahnya.

Masih banyak dijumpai orang Solo memakai batik tidak sesuai peruntukannya. Pergi melayat ke tempat duka memakai motif wahyu tumurun. Jelas itu sebuah kekerasan terhadap budaya sekalipun dengan alasan tidak tahu. Karena ketidaktahuan terhadap budayanya itu sendiri itu sama halnya makan tetapi tidak tahu apa yang dimakan.

Maka dalam usianya yang ke-266 tahun ini kalau moto peringatan hari jadinya berbunyi Bersih Kotanya, Santun Masyarakatnya mengandung pengertian polisemik yaitu makna yang lebih luas bukan sekadar dalam lingkup yang kasatmata saja.

Santun dalam makna polisemik adalah santun juga dalam memberlakukan budaya sendiri yaitu budaya Jawa sebagai visi yang akan diwujudkan dan bukan santun dalam makna yang konotatif yaitu pelan-pelan membuat kekerasan terhadap kebudayaannya sendiri menjadi mati. - Oleh : Tundjung W Sutirto Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Opini Solo Pos 17 Februari 2011