21 April 2010

» Home » Lampung Post » ‘Ngertini’ (Selamat Hari Kartini)

‘Ngertini’ (Selamat Hari Kartini)

H. Ahmad Jajuli, S.I.P.
Anggota Komite III DPD
Karena wanita ingin dimengerti.
Sebuah penggalan lirik salah satu lagu yang digandrungi banyak remaja bahkan sebagian orang tua. Sekilas kalimat itu menggambarkan kemauan para wanita, apakah benar?
Banyak bangsa yang memiliki pemahaman salah atas wanita. Pernah tercatat dalam sejarah bahwa wanita tidak dianggap sebagai manusia. Sebut saja pada masa Pemerintahan Babilonia, di mana wanita tidak diperlakukan secara manusiawi karena dianggap sederajat dengan binatang peliharaan. Bahkan filsuf seperti Aristoteles pun menganggap wanita tidak patut dibanggakan karena dianggap lebih mengedepankan emosi ketimbang akalnya.
Sejarah juga menorehkan catatan perlakuan yang merendahkan kaum wanita saat masa pernikahan. Demi mendapatkan keturunan yang baik, seorang suami tega memerintahkan istrinya yang sudah bersih dan selesai dari haid untuk berhubungan badan dengan lelaki lain. Apabila wanita tersebut hamil, barulah dipergauli dan diakui lagi layaknya istri-jika mau. Selain itu barter (tukar menukar) istri untuk sebatas berhubungan badan, bahkan masih ada sampai saat ini--di Indonesia--nikah mutah yang sering dikenal dengan kawin kontrak.
Keadaan yang miris juga terjadi pada anak perempuan. Ada zaman di mana budaya mengubur anak perempuan dalam keadaan hidup-hidup dianggap sebuah tindakan terhormat bagi sebagian besar suku saat itu. Pandangan keliru yang disebabkan terjerembab pola pikir membalas dendam.


Budaya buruk tersebut muncul akibat peperangan antarsuku secara terus-menerus. Peperangan dianggap memerlukan tenaga lelaki ketimbang wanita, peperangan juga menjadikan wanita dari pihak yang kalah ditawan. Sering, pada saat itu, wanita yang ditawan kemudian dijadikan istri pihak yang menang. Kemudian saat terjadi perdamaian, tawanan wanita yang lebih memilih lelaki dari pihak yang menang daripada yang kalah. Sehingga, anak perempuan pun menjadi korban pelampiasan.
Kondisi dunia kian banyak perubahan. Hal ini menuntut tiap manusia yang menghuni di atasnya untuk mengubah pola kehidupannya juga, termasuk di dalamya relasi antara laki-laki dan wanita. Karena sudah keniscayaan bahwa tanpa berdinamika, akan terlindas zaman.
Pada dasarnya wanita dan lelaki diciptakan ke dunia untuk saling melengkapi, saling membantu dalam mengelola bumi baik yang berada di permukaan maupun di dalamnya. Karena baik wanita maupun laki-laki berada pada kedudukan yang sama dalam memberikan kontribusi. Keduanya memiliki “spesifikasi” yang berbeda, tapi itu menjadi sarana untuk saling memahami satu sama lain.
Berbagai pendekatan dilakukan sebagai upaya meningkatkan derajat wanita. Mulai dari upaya menyebarkan pemahaman mengenai emansipasi wanita hingga pada proses afirmasi terhadap kaum wanita. Meski pada beberapa kelompok ditemukan konsepsi yang berlebihan karena sampai pada persepsi perlunya menegasikan lelaki.
Kini, sebagian kaum hawa telah menempati ruang-ruang publik yang dulu dianggap tidak mungkin untuk dilakoni wanita. Bahkan pada beberapa negara ada juga wanita yang menjadi pemimpinnya, di mana salah satunya presiden Indonesia pernah dari kaum hawa. Lalu, apakah yang demikian sudah cukup?
Setidaknya tercatat beberapa undang-undang yang turut menaungi kepentingan hukum kaum hawa, di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan lainnya.
Terlepas dari pro dan kontra penanggalan Hari Kartini tanggal 21 April, kenyataan demikian belum cukup bagi Indonesia. Begitu banyak peraturan di Indonesia mengenai kepentingan wanita, tapi seolah belum mengerti apa yang dimau wanita, yaitu penegakan hukumnya dan keadilan yang sejati.
Selain itu, persentase indeks pembangunan gender (IPG) yang relatif jauh dari indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia. Pada tahun 2008 saja, secara nasional tercatat IPG berada pada 66,38 sementara IPM pada posisi 71,17, sehingga terdapat selisih 4,79. Sementara khusus Provinsi Lampung, pada tahun 2008 tercatat pada posisi 62,18. Artinya, Provinsi Lampung masih di bawah rata-rata IPG secara nasional dan lebih jauh lagi ketimbang IPM.
Oleh sebab itu, perlu langkah bersama dalam meningkatkan derajat wanita hingga setidaknya menyamai IPM. Langkah utama yang diperlukan adalah dengan mencoba lebih mengerti apa yang dibutuhkan wanita. Berangkat dari itu, maka tiap program yang dilakukan di tiap dinas akan lebih substantif bukan sekadar mencantumkan kata wanita atau perempuan pada nama program. Singkatnya, ngertini. *
Opini Lampung Post 22 April 2010