Kalau tak ada aral melintang, hasil Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan yang sederajat diumumkan serentak Senin (26 April). Seperti biasa para siswa yang lulus UN merayakannya dengan berbagai cara, ada yang wajar dan banyak pula yang berlebihan. Meskipun hasil UN dikirim ke rumah para siswa, mereka tetap berkumpul dan memulai perayaannya di sekolah masing-masing. Mereka merayakan keberhasilan, yang sesungguhnya biasa-biasa saja itu, dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan yang mereka peroleh selama ini. Tidak hanya saling mencorat-coret pakain sekolah yang masih sangat bagus, sebagian lulusan itu mencorat-coret mobil mahal milik orang tua dengan cat semprot mahal pula.
Masih segar dalam ingatan kita, menjelang UN bulan lalu hampir semua sekolah, baik negeri maupun swasta, mengadakan upacara kerohanian, berdoa bersama dengan sangat khusuk. Bahkan, sebagian sekolah sengaja menyelenggarakannya di tempat sepi, jauh dari hiruk pikuk kota. Tak sedidkit di antara siswa yang sampai menangis ketika memohon kepada Tuhan agar mereka berhasil dalam UN. Akan tetapi, setelah doa mereka terkabul, apakah ada sekolah-sekolah yang menyelenggarakan upacara kerohanian, mengucap puji-syukur kepada Tuhan? Sadar atau tak sadar, para pengelola sekolah (guru-guru) tak mendidik para siswa untuk tahu bersyukur kepada Tuhan bila doa mereka dikabulkan. Tampaknya para orang tua pun tak mendidik anak masing-masing untuk tahu bersyukur kepada Tuhan ketika doa mereka telah dikabulkan Tuhan. Yang mereka lakukan setelah lulus UN justru hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma hukum, agama, dan sosial, terutama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Perilaku mereka tak menggambarkan tingkat kualitas lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), yang sudah dewasa. Padahal, sebagian besar (?) mereka akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi (PT).
Perilaku yang sangat mencolok dan mengganggu ketertiban umum pastilah konvoi lulusan dengan menggunakan mobil dan sepeda motor. Mereka mengemudikan dan menggunakan kendaraan bermotor dengan sengaja mengabaikan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) serta tata krama berlalu lintas. Tiap tahun kita menyaksikan tiga-empat orang naik satu sepeda motor tanpa helm, dan sebagian lainnya naik (duduk/berdiri) di atas kap dan atap mobil, tentu saja sambil kebut-kebutan. Tanpa tujuan yang jelas mereka berputar-putar di tengah kota sambil berteriak-teriak dan memperagakan berbagai bahasa tubuh yang menggambarkan orang-orang yang tak terpelajar. Hasil didikan para guru dan orang tua selama belasan tahun tak berbekas dalam diri mereka. Hal yang sangat ironis dan tak masuk akal, para Polisi Lalu Lintas (Poltas) tak berbuat apa-apa terhadap mereka yang jelas-jelas melanggar UULLAJ. Sangat jarang Poltas yang menindak mereka. Mungkin karena jumlah petugas memang sangat tak sebanding dengan mereka yang sedang mabuk keberhasilan, yang sesungguhnya tak istimewa itu. Kita tak tahu apa motif dan tujuan para orang tua membiarkan anak-anak mereka berkelakuan buruk seperti itu.
Ada satu fenomena menarik yang perlu kita kaji dalam peristiwa buruk tahunan ini, yaitu faktor kehadiran para wartawan, terutama wartawan televisi (terlebih-lebih para kamerawan). Sadar-tidak sadar para wartawan televisi dan wartawan foto media massa cetak telah mendorong nafsu para lulusan SLTA itu untuk memamerkan 'gaya' seheboh mungkin, dengan harapan, beberapa jam kemudian mereka telah menjadi 'selebriti' dadakan di layar televisi dan di halaman satu koran-koran harian pada sore/esok harinya. Tampaknya di sini terjadi simbiosis mutualistis. Para wartawan televisi dan wartawan foto membutuhkan gambar-gambar yang tergolong ''heboh'', yang layak jual, sedangkan para kaum muda itu ingin mengatualisasikan diri (dengan cara yang salah). Mereka sangat ingin tampil di media massa dengan cara murahan. Dalam konteks ini, tak sedikit wartawan, terutama kamerawan, menggunakan naluri rendah. Mereka mengabaikan etika profesi, sopan santun yang berlaku dalam masyarakat kita, kepatutan sosial, dan efek negatif penayangan hasil liputan mereka. Demi memeroleh gambar adegan-adegan yang ''sangat bagus dipandang'', tak jarang para kamerawan televisi sengaja menyuruh para lulusan baru SLTA itu berbuat tindakan-tindakan atau gerakan-gerakan yang ''menghebohkan''. Semakin bersemangat para kamerawan merekam ulah mereka, semakin naik pulalah nafsu kaum muda itu untuk bertingkah polah yang tak senonoh. Semakin banyak wartawan, terutama dari televisi siaran nasional dan lokal, yang meliput peristiwa tahunan itu, semakin bersemangat pulalah mereka melakukan tindakan-tindakan yang jelas melanggar berbagai norma baku. Oleh karena itu, sudah rutin atau biasa terjadi, maka banyak orang menganggap realitas ini sebagai hal yang wajar, bahkan benar dan baik. Sadar-tidak sadar kita telah terlalu lama membiarkan para kaum muda kita yang baru lulus UN berperilaku buruk. Kita (pemirsa) juga sudah terlalu lama tidak/kurang melek media. Kita terus membiarkan para wartawan (kamerawan) televisi mengumbar naluri rendah mereka. Oleh karena itu, melalui forum ini kita mengimbau dengan sungguh-sungguh, agar mulai tahun ini para wartawan, terutama kamerawan televisi dan juru foto media cetak, dengan kesadaran masing-masing, tidak meliput perayaan lulus UN para siswa SLTA di manapun. Nanti kita bisa buktikan sendiri bagaimana ulah para lulusan SLTA dalam perayaan lulus UN bila tak satu wartawan media massa manapun yang meliputnya.
Tak dapat dibantah bahwa media massa, terutama televisi siaran, sangat berpengaruh (negatif/positif) terhadap khalayak. Kini sudah waktunya para wartawan meliput pengumuman hasil UN dengan menggunakan naluri tinggi. Banyak hal yang sangat penting dan menarik untuk diliput yang bersangkut paut dengan hasil UN. Para wartawan jangan terlalu percaya kepada ungkapan lama, ''berita buruk adalah berita baik''. Oleh karena ini menyangkut dunia pendidikan, maka hasil liputan para wartawan pun haruslah dapat mendidik khalayak media masing-masing. Bukankah mendidik khalayak atau masyarakat merupakan salah satu tugas pokok pers atau media massa?
Opini Republika 22 April 2010