WAKIL Menteri Pertanian Bayu Krisna Mukti, saat mengunjungi Pabrik Gula (PG) Cepiring Kendal menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada gula pada 2014 (SM, 9 April 2010). Untuk swasembada nasional, dibutuhkan sekitar 5,7 ton per tahun. Tahun 2009 baru tercapai 2,5 juta ton dan tahun ini diharapkan bisa 3 juta ton. Agaknya untuk swasembada gula nasional 2014 cukup berat, apalagi Jawa Tengah.
Memang Jateng bukan daerah penyangga gula nasional. Kalau ingin swasembada, tidak perlu surplus, provinsi ini harus banyak belajar dari Jawa Timur. Untuk itulah Komisi B DPRD Jateng, 8-9 April lalu studi banding ke Jatim, antara lain mengunjungi PG Gempolkerep Mojokerto, dan PG Candi Sidoarjo.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan Jatim Ir Handri Suwasono MMA, produksi gula dari 30 PG di Jatim 1,079 juta ton. Kebutuhan konsumsi nasional 2,7 juta ton, jadi sekitar 40 % dipasok Jatim. Dibandingkan dengan kebutuhan gula konsumsi plus industri secara nasional 4,85 juta ton, berarti Jatim menyangga 22,5 persen.
Sedangkan kebutuhan konsumsi di Jatim sekitar 445 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan 37 juta penduduk.
Jika prediksi saat swasembada 2014, kebutuhan konsumsi gula 2,96 juta ton, prediksi gula Jatim akan mencapai 1,74 juta ton, sekitar 41,22 persen. Jika dibandingkan dengan total kebutuhan gula konsumsi dan industri yang 5,7 juta ton secara nasional 2014, Jatim menyumbang 32,75 persen.
Untuk posisi itu, Jatim harus menyiapkan lahan tebu dari 186 ribu hektare tahun 2009, menjadi sekitar 200 ribu hektare tahun 2014. Bandingkan dengan target nasional dari 423 ribu hektare lahan tebu tahun 2009, menjadi 766 ribu hektare tahun 2014. Untuk menggiling tebu tersebut, dari 30 PG saat ini, akan segera dibangun lagi 5 pabrik di Jatim.
Posisi Jateng
Bandingkan dengan data kebutuhan gula Jateng yang selalu defisit. Kebutuhan gula di Jateng, menurut Darpito dari Biro Perekonomian Pemprov Jateng, 360 ribu ton per tahun, untuk melayani 34 juta jiwa. Produksi 11 PG yang ada tahun 2009, 227 ribu ton. Areal lahan tebu tahun 2009 tercatat 53.618 hektare. Kekurangan kebutuhan gula tersebut dipenuhi dengan impor raw sugar sampai 200 ribu ton yang diolah di PG Cepiring. Mungkinkah jumlah kebutuhan tersebut bisa dicukupi sendiri oleh Jateng tahun 2014 ?
Ambil contoh di PG Cepiring, yang sekarang dikelola oleh PT Industri Gula Nusantara (IGN). Menurut Presdir IGN Kamajaya, saat ini areal tebu yang akan digiling baru 2,800 hektare. Untuk mencapai posisi swasembada gula di Jateng, setidaknya PG Cepiring harus mempunyai areal lahan 5.000 hektare (SM, 9 April).
Dalam soal gula Jatim memang pantas jadi guru. Selain swasembada, bahkan menjadi penyangga gula nasional, yang tercatat tak ada PG yang mengelola raw sugar. Seluruh 30 PG yang ada hanya menggiling tebu petani, lahan tebu yang digarap PG sendiri hanya kurang dari 5 persen. Artinya semua PG dalam keadaan sehat. Apakah kiat sukses PG di Jatim? Aministratur PG Gempolkerep Mojokerto Ir M Syawaludin menyatakan, dua faktor penting yang menentukan adalah prestasi petani tebu dan kinerja pabrik gula. Jika petani sungguh-sungguh menggarap lahannya, sehingga menghasilkan kualitas tebu yang baik, rendemennya akan tinggi.
Sebaliknya PG tidak boleh beralasan karena mesinnya tua, maka hanya bisa menghasilkan persentase rendemen yang rendah. Walaupun pabrik, dalam arti bangunannya tua, mesin-mesinnya harus selalu diperbarui. Ini yang menyebabkan rendemen di PG Jawa Timur rata-rata 7-8 persen dan menyebabkan banyak tebu dari Jateng ‘’berwisata’’ ke Jatim untuk mengejar rendemen yang tinggi. Selain bagi petani tebu sendiri juga dibantu kredit sekitar Rp 2 juta per hektare, untuk menggarap lahan, serta bimbingan teknis dari pemerintah.
Sebenarnya bagi petani rumusnya gampang, seperti pengalaman di Jawa Timur. Jika menanam tebu lebih menguntungkan, mereka bersemangat walaupun waktu panennya relatif lebih lama.Yang masih mengganjal sampai sekarang adalah tata niaga yang membentuk harga. Petani sering kecewa, ketika jarak harga lelang dan harga pasar terlalu jauh.
Ketika harga pembelian pemerintah (HPP) gula Rp 5.350 per kilogram, petani sudah cukup merasa untung ketika gulanya dibeli dengan harga Rp 7.800 per kg. Tetapi ternyata pedagang bisa mengatrol harga sampai Rp. 12.000. Dan pemerintah tidak punya otoritas untuk memengaruhi harga ini.
Jika ingin berswasembada gula, baik secara nasional, khususnya di Jawa Tengah, beberapa hal harus diperhatikan. Pertama, merangsang petani agar menanam tebu dengan jaminan harga yang memberi margin keuntungan lebih baik dari komoditas lain, sekaligus menjamin rendemen yang bisa dipertanggungjawabkan. Kedua, mendorong kinerja PG lebih terbuka dan profesional agar tidak membuat petani kapok untuk bekerja sama. Ketiga, pemerintah harus mengatur tata niaga gula, terutama soal pengendalian harga, agar petani tidak merasa dipermainkan.
Karena tahun 2009 harga gula dianggap petani cukup baik, dan beberapa PG bisa mengolah dengan rendemen di atas 7 persen, prediksinya tahun 2010 dan 2011 lahan tebu akan meningkat. Mudah-mudahan termasuk di Jawa Tengah. Kapan? Tergantung apakah syarat harga dan rendemen dianggap cukup ideal bagi petani atau tidak. (10)
— Doktor Bambang Sadono SH MH, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 22 April 2010