21 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Perusda dan Momentum Berbenah

Perusda dan Momentum Berbenah

TANGGAL 20 April 2010, Perusahaan Daerah (Perusda) Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)  Mandiraja-Banjarnegara memasuki usianya yang ke-4, setelah merger dengan 14 badan usaha sejenis se-Kabupaten Banjarnegara. Catur warsa ini dirasakan sebagai momen yang cukup spesial karena bersamaan dengan berakhirnya masa tugas jajaran direksi periode 2006-2010.

Seperti diketahui, sesuai dengan peraturan daerah provinsi,  masa jabatan direksi adalah 4 tahun. Setelah itu diadakan pemilihan lagi atau perekrutan yang diharapkan prosesnya  diselenggarakan secara terbuka dan transparan.


Saat ini, perusahaan daerah yang memiliki aset terbesar di kabupaten tersebut dan diharapkan memberikan kontribusi yang cukup siginifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD) belum dapat berperan maksimal seperti diharapkan.

Komparasi perolehan laba, jika hal itu dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah badan usaha, ternyata masih belum memenuhi harapan jika dibandingkan dengan badan usaha di kabupaten lain di wilayah Eks Karesidenan Banyumas.

Misalnya  BPR BKK Purwokerto dengan modal disetor Rp 21,95 miliar bisa meraih laba tahun 2009 Rp 13,507 miliar lebih, BPR BKK Cilacap dengan modal Rp 13,22 miliar menghasilkan laba Rp 3,72 miliar lebih, BPR BKK Purbalingga dengan Rp 12,105 miliar bisa membukukan untung Rp 4,958 miliar lebih, sedangkan BPR BKK Mandiraja dari modal disetor Rp 14,231 miliar lebih baru bisa memetik laba Rp 3,13 miliar lebih. (website BI, Laporan Publikasi 2010).

Pemprov sebagai salah satu pemegang saham sudah tidak kurang-kurangnya memberikan kecukupan modal, bahkan pemkab sudah menyediakan gedung yang cukup representatif. Tujuannya tentu dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada bank pelat merah tersebut. Sementara BPR BKK kabupaten lain di wilayah eks karesidenan tersebut belum memiliki gedung megah seperti itu.

Aset besar dan fasilitas tersebut ternyata belum sepenuhnya diimbangi dengan kinerja usaha yang baik dalam pengelolaannya. Penulis berpendapat, hal itu disebabkan paradigma jajaran direksi sebagai top management masih seperti ketika bank itu belum merger. Contohnya, belum ada pembatasan wilayah operasional di masing-masing cabang.

Bahkan kantor pusat justru ikut-ikutan ekspansi dan merebut pangsa pasar kantor-kantor cabang. Kantor pusat yang seharusnya sebagai sentral strategi, inti kebijakan, pusat pengendalian dan pengawasan, ternyata belum berfungsi maksimal sebagaimana seharusnya.

Kontraproduktif

Kedua; adanya budaya ewuh pekewuh. Misalnya ada pegawai, bahkan pejabat eksekutif, yang terbukti menyimpang tidak diberi sanksi. Kebijakan ini kontraproduktif karena dapat menjadi virus bagi karyawan lain untuk melakukan hal yang sama. Di sisi lain, pegawai yang merasa jujur dan punya integritas baik merasa kecewa dan frustrasi sehingga kerjanya kurang bersemangat.

Ketiga; ada pemborosan atau inefisiensi dalam setiap kegiatan. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya operasional, dan dampaknya pasti akan mengurangi laba atau keuntungan perusahaan. Keempat; brand image.

Selama ini banyak anggota masyarakat mempertanyakan kenapa namanya BPR BKK Mandiraja bukan Banjarnegara padahal lokasi kantornya ada di pusat kota Banjarnegara. Soal nama, sebetulnya hal yang mudah dilakukan untuk sekadar mengganti nama agar lebih ’’menjual’’ dan ’’memiliki’’, meskipun ada proses, prosedur, dan mekanisme yang harus ditempuh. 

Kelima; pragmatisme. Sebagai lembaga bisnis manajemen kadang dalam menyelesaikan suatu masalah menggunakan cara yang tidak profesional, yaitu jalan pintas pragmatis.
Dengan berakhirnya masa jabatan jajaran direksi periode 2006-2010, momentum ulang tahun bisa dijadikan pijakan oleh para pemegang saham untuk mengevaluasi kinerja pengelola perusahaan daerah itu.

Diharapkan proses seleksi atau perekrutan calon direksi dapat berjalan secara terbuka dan transparan sehingga menghasilkan calon-calon yang memiliki visi, misi, dan wawasan ke depan agar dapat  menjaga kelangsungan hidup perusahaan itu, bahkan membesarkannya. (10)
— H Supoyo Raharjo SE, praktisi perbankan, tinggal di Banjarnegara

Wacana Suara Merdeka 22 April 2010