21 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Krisis Etika, ”Public Relations”, dan Politik

Krisis Etika, ”Public Relations”, dan Politik

Oleh Sukendar Mulya

Permasalahan negeri Indonesia tercinta yang terkait dengan empat pilar negara (legislatif, eksekutif,  yudikatif, dan media massa), beberapa bulan terakhir ini semakin marak. Permasalahan itu di antaranya terungkapnya kasus Bank Century, kasus pengemplangan pajak, dan baru-baru ini kerusuhan antara Satpol PP dan masyarakat di kawasan Tanjung Priok, Jakarta.

Permasalahan-permasalahan negeri ini yang sempat mencuat menjadi agenda setting-nya media massa, ternyata bisa dipotret dari perspektif  etika, public relations, dan politik.  Etika bagi para pejabat menyangkut penampilan (profil) dalam rangka menciptakan citra dan reputasi (lihat Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto. 2006: 171). Sedangkan public relations berfungsi sebagai  "jembatan komunikasi" antara suatu organisasi dan lembaga lain serta berbagai elemennya. Tujuannya supaya terjadi saling pengertian antara kedua belah pihak, dan akhirnya  terciptanya citra positif serta dukungan publik terhadap keberadaan organisasi (lihat Elvinaro Ardianto. 2009: 27). Sementara politik itu sendiri berkaitan dengan masalah kekuasaan, termasuk mempertahankan kekuasaan.



Berbicara tentang  krisis etika, public relations, dan politik, negeri ini memang sedang mengalami krisis etika. Sudah tidak jelas lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik, mana yang buruk. Semuanya sudah demikian permisif, dan tidak lagi disadari bahwa itu sudah termasuk pelanggaran etika, bahkan sudah masuk kepada pelanggaran moral.

Krisis etika ini terjadi, karena selain seolah sudah menjadi hal biasa, juga sebagian kaum elite di negeri ini sudah kehilangan budaya malu, karena harus mengejar materi sebanyak mungkin, dengan mengggunakan filsafat pragmatis (asas manfaat, kendati melanggar etika dan moral). Bila falsafah  ini sudah merasuk ke  jiwa dan pola pikir kaum elite dan memperoleh kesempatan untuk melakukannya, tak ayal lagi korupsi, komersialisasi jabatan, atau penyalahgunaan wewenang tak akan berhenti. Bahkan, terus berjalan, seperti berjalannya kehidupan di dunia ini.

Krisis etika ini harus segera diatasi dengan adanya gerakan budaya malu sehingga mindset kita dikembalikan lagi ke dalam tatanan idealisme. Tidak selalu harus membumi menjadi tatanan praktis yang sangat pragmatis. Bangsa Indonesia sempat mengagung-agungkan budaya malu karena masih memiliki idealisme. Kini, idealisme telah pudar. Dulu media massa sangat idealis sebagai pers perjuangan, kini menjadi pers industri yang sangat  pragmatis. Dulu televisi menjadi agen perubahan dalam pendidikan. Sekarang, hanya mengejar rating untuk pemasukan iklan dalam meraup uang.

Krisis etika ini dapat dikikis dengan mengedepankan pentingnya pencitraan dan reputasi yang baik melalui kegiatan public relations. Untuk mengatasi krisis etika ini, para elite negara ini perlu ada political will dan melakukan kegiatan public relations untuk mempertahankan citra dan reputasi dengan etika yang benar. Ketika kaum elite menjabat bukan semata-mata untuk memiliki kekuasaan dan seenaknya menjalankan kekuasaan itu sampai melanggar etika, tetapi esensi jabatan penyelenggara adalah pelayanan rakyat.

Di era perang citra ini, memang sangat dibutuhkan para penyelenggara negara yang komitmen kepada sumpah jabatannya. Sebagai pedoman pula dalam menjalankan etika yang baik, juga jabatan itu sebagai amanah yang harus dijalankan dengan baik karena mereka akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Selaku insan public relations atau insan humas, penulis mengajak kepada semua komponen bangsa ini untuk memahami betul dasar pijakan dan langkah yang harus dilakukan ketika menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihatlah kokohnya Burung Garuda lambang negara Indonesia, selalu mengisyaratkan untuk tetap tahan banting menerima segala godaan bagi para penyelenggara negara agar tidak korupsi, komersialisasi jabatan, atau penyalahgunaan wewenang.

Perlu disadari, sekarang rakyat sudah mulai melek media dan melek politik kendati tidak pernah diajari secara khusus. Malahan lebih sering dicekoki media dengan tiga aspek: kekerasan, mistik, dan erotika/seks. Begitu pun politik bukan diajari malahan menjadi objek politik. Dengan kata lain, para elite di negeri ini harus memahami betul, masyarakat kini semakin kritis dan tidak mau kepentingannya terganggu.

Ke depan, agar krisis etika ini tidak terjadi lagi, perlu dibuat aturan main yang jelas. Kontrolnya tidak hanya lembaga negara, juga rakyat punya kesempatan untuk bisa mengawasi perilaku menyimpang penyelenggara negara.

Pemerintah sebagai lembaga eksekutif harus menjadi garda terdepan untuk menjadi panutan rakyat, juga memberikan teladan kepada anggota legislatif yang memiliki sikap dan perilaku arogan. Anggota legislatif  itu bukan penguasa, tetapi wakil rakyat, yang menjadi penyambung lidah rakyat, bukan "membohongi rakyat" dan lebih mementingkan individu dan golongannya. Anggota legislatif ke mana-mana mesti memakai baju rakyat, menanggalkan baju partai, dan menjadi anggota legislatif untuk kepentingan rakyat. Semoga.***

Penulis, Wakil Ketua Umum Perhumas BPC Bandung, Manajer Internal pada VP Public Relations PT Kereta Api (Persero), dosen Diploma Tiga PAKT Fikom Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 22 April 2010