21 April 2010

» Home » Kompas » Super Anggodo

Super Anggodo

Tersangka sudah ditahan. ”Menang kita. Menang!” Saya bayangkan wajah Anggodo Widjojo sumringah betul saat mengekspresikan kemenangannya kepada seseorang di ujung telepon. Saat itu dua pimpinan KPK ditahan kepolisian dengan tuduhan yang sungguh meragukan (29/10/2009).
Ini petikan hasil penyadapan KPK yang diperdengarkan di persidangan Mahkamah Konstitusi, 3 November 2009. Ratusan orang memenuhi ruang sidang MK hari itu, semua tempat duduk dan selasar penuh sesak. Jutaan warga negara Indonesia juga menjadi saksi melalui semua stasiun TV yang menyiarkan secara langsung. Sebuah skandal besar rekayasa hukum mulai terkuak. Saat ini kita mengenalnya sebagai bagian dari praktik mafia hukum.
Anggodo menang. Ya, ia menang. Dan, bukan kemenangan tunggal. Ia menang berkali-kali. Mulai dari penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka, penahanan dua pimpinan KPK tersebut, pencatutan nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa tersentuh hukum, bahkan ia juga menang saat penghentian penuntutan dengan alasan yang kabur diterbitkan Kejaksaan Agung.


Konsolidasi mafia
Belum kering ingatan kita terhadap semua itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali memenangkan Anggodo, seorang yang justru sedang berstatus tersangka kasus korupsi di KPK dengan tuduhan berlapis. Sebuah putusan hakim yang ”lupa” lahir (19/4/2010). Putusan yang sama sekali tak mempertimbangkan bangunan rekayasa, skandal mafia hukum, dan sejumlah uang yang digunakan untuk memengaruhi proses hukum. Sebuah produk hakim yang tidak saja mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga seolah membuka pintu konsolidasi kekuatan mafia untuk menghancurkan KPK.
Agenda pelemahan dan pembubaran KPK bukanlah kekhawatiran berlebihan. Kita tahu persis, bahkan dalam satu sekuel lain perbincangan Anggodo dengan Ong Yuliana terungkap agenda penghancuran tersebut. Setelah mencatut nama Presiden SBY, Anggodo berusaha meyakinkan lawan bicaranya bahwa sejumlah kekuatan elite selevel Wakil Jaksa Agung dan petinggi Polri mendukung pembubaran KPK. Simaklah, ”Kita semua, Pak Ritonga, pokoknya didukung, jadi KPK nanti ditutup, ngerti ngga?”
Apakah hakim pra-peradilan yang membatalkan surat keterangan penghentian penuntutan Bibit-Chandra mengingat dan mempertimbangkan hal yang jauh lebih substansial ini? Tidak. Hakim terkukung dalam teks UU yang mati. Alih-alih mempertimbangkan rasa keadilan, putusan hakim justru sangat terpengaruh oleh sejumlah saksi ahli yang punya rekam jejak menjadi advokat kasus korupsi dan akademisi yang sangat diragukan integritas antikorupsinya.
Delegitimasi dan corruptors fight back terhadap KPK telah dimulai sejak lembaga ini dirasa semakin mengganggu praktik korupsi dan persekongkolan jejaring mafia. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mencatat setidaknya ada 13 jurus menghancurkan KPK. Mulai dari melalui proses hukum, seperti upaya pembatalan UU KPK dengan sarana judicial review di MK; ancaman langsung, memangkas kewenangan penyadapan dan penuntutan KPK, proyek ”kuda troya” untuk membajak KPK melalui seleksi pimpinannya, penolakan anggaran, wacana menyesatkan bahwa KPK lembaga ad hoc sehingga harus bubar suatu saat, menyandera independensi KPK dengan tidak menyetujui penyidik independen, hingga kriminalisasi dan rekayasa proses hukum untuk menjerat pimpinan KPK.
Membela institusi
Membaca sejarah panjang itu, seharusnya kita paham kemenangan Anggodo dan potensi kehancuran KPK harus dilihat dari gambaran yang lebih besar. Kemenangan itu adalah kemenangan bagi kekuatan mafia yang ingin KPK tak berdaya dan kapan perlu bubar. Apalagi, saat ini, sadar ataupun tak sadar, Indonesia berada pada satu titik ”darurat mafia”. Fungsi dan institusi penting negara ini dibajak tentakel mafioso, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Ditjen Pajak, kesehatan, pendidikan, kehutanan, pertambangan, dan institusi lain yang mungkin belum terpetakan.
Di sisi lain, penolakan dan perlawanan publik terhadap kemenangan Anggodo juga perlu dimaknai dengan tujuan membela institusi KPK. Bukan membela perorangan mana pun. Penegasan ini sangat penting untuk menjaga kepemilikan publik secara luas terhadap segala upaya pemberantasan korupsi yang idealnya dipimpin KPK.
Namun, bukan berarti kita harus mengamini apa yang disampaikan hakim PN Jakarta Selatan bahwa Bibit-Chandra harus dibawa ke persidangan di pengadilan umum. Karena tidak mungkin hukum bisa ditegakkan jika proses awalnya cacat sejak lahir dan tumbuh dari bangunan rekayasa, persekongkolan jahat, dan praktik suap.
ICW menilai akan jauh lebih baik jika KPK segera mengajukan Anggodo ke Pengadilan Tipikor. Dengan demikian, publik bisa tahu persis siapa mafia di balik skandal ini. Jika pada fakta persidangan terbukti inisiatif penyuapan berasal dari pihak Anggodo, runtuhlah argumentasi pemerasan yang dibangun oleh kepolisian dan kejaksaan. Maka, semakin kuatlah argumentasi ada rekayasa hukum untuk menjerat dua pimpinan KPK. Dan, gugurlah argumentasi Anggodo sebagai korban pemerasan oleh pihak KPK.
Menyitir adagium klasik, ”hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh”, kali ini kita harus bilang, Hukum dengan (H besar), hukum yang lebih substansial, yang tidak terkukung dalam teks undang-undang sempit, harus ditegakkan. Hukum haruslah tajam terhadap mafia, bukan justru direkayasa untuk menghancurkan lembaga antikorupsi. Segera, agar Anggodo tak menjadi Super Anggodo!
Febri Diansyah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Opini Kompas 22 April 2010