Musibah di jalan raya di Soloraya yang melibatkan pengendara sepeda motor tanpa helm berujung maut berulang kali terjadi.
Melalui implementasi Pasal 106 Ayat (8) UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, para pengendara sepeda motor atau kendaraan roda empat tanpa rumah-rumah diwajibkan mengenakan helm yang memenuhi Standard Nasional Indonesia (SNI).
Pengendara atau penumpang (yang membonceng) tanpa helm bakal dikenakan pidana kurungan satu bulan atau denda Rp 250.000. Penerapan ketentuan itu untuk meminimalisasi dampak kecelakaan sepeda motor, terutama pada bagian kepala—penyebab kematian pengendara tanpa helm.
Hasil sebuah penelitian menyebutkan pemakaian helm tanpa SNI memiliki risiko cedera otak tiga kali lebih parah, dibandingkan yang memiliki kualifikasi itu...Bayangkan pengendara yang tanpa helm sama sekali, tentu risikonya meningkat berlipat, bukan?
Setiap hadirnya ketentuan baru selalu dibarengi konsekuensi. Sejumlah reaksi di masyarakat pun muncul. Pertama, rata-rata warga yang mengeluh itu sudah memiliki helm tanpa mengetahui kualifikasi standardnya. Kedua, harga helm ber-SNI cukup mahal, Rp 150.000 sampai Rp 250.000. Realitas itu jelas menimbulkan kontroversi, kecuali pemerintah mau memberikan subsidi...
Saat ini, mereka cemas takut kena tilang. Dan tak mengetahui apakah helm yang dimiliki sudah memenuhi standard SNI atau belum. Belum lagi, Dinas/Departemen Perhubungan dan polisi belum menyosialisasikan hingga tingkat daerah...Mereka rata-rata tak tahu bahwa penerapan ketentuan itu pada 1 April 2010.
Saat ini pun banyak anggota masyarakat bertanya,”Apa sih ciri-ciri helm ber-SNI?” Atau, ungkapan,”Apa helm yang saya miliki ini tak layak lagi?” Pertanyaan atau ungkapan lebih sinis dari itu juga makin sering terdengar.
Melihat realitas itu, menurut perspektif kami ada beberapa catatan yang mesti digarisbawahi. Pertama, penerapan helm SNI layak didukung, untuk meminimalisasi dampak kecelakaan. Apapun ini ketentuan hukum, setiap warga negara Indonesia wajib mematuhinya.
Kedua, intansi terkait wajib menyosialisasikan pemakaian helm ber-SNI itu. Masih banyak anggota dan elemen masyarakat belum mengetahuinya secara jelas dan rinci, misalnya bentuk, konstruksinya dan materi helmnya dari apa.
Ketiga, lantaran penerapannya bulan April, yang mendekati Tahun Ajaran Baru, maka pembelian helm ber-SNI amat memberatkan masyarakat. Uang Rp 150.000-Rp 250.000 masih sangat bernilai, apalagi muncul skala prioritas kebutuhan mereka, seperti uang sekolah dan lain sebagainya.
Pemerintah juga perlu mencarikan solusi terbaiknya, jangan sampai maksud baik ini justru direspons dengan resistensi di tengah masyarakat. Apalagi dengan ketentuan baru ini justru dijadikan ladang bisnis legal maupun ilegal yang amat merugikan warga masyarakat. - Oleh : o
Opini Solo Pos 22 April 2010
21 April 2010
Kontroversi helm SNI
Thank You!