SUDAH lama Pak Soemartono ngoprak-oprak saya supaya menulis tentang lansia. Dia sudah kondang di kalangan lansia karena mandegani komda lansia di Jawa Tengah.
Ada benarnya juga dia ingin lansia yang sudah minggir itu tak lebih dipinggirkan lagi wong mereka itu sedikit banyak ada tabet-nya Io. Apa generasi penerus lupa pada seniornya? Tidak, mereka sudah sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka pun bakal sepuh, ikut bergabung pada kelompok itu.
Calon lansia itu sudah mengubah pola pikirnya dari kebijakan memperbanyak panti jompo bagi lansia menjadi skema home care, kata mereka biar yang kung dan yang ti tinggal bersama kami, biar kami tidak dianggap tak tahu balas budi, e... siapa tahu hal ini akan membuat kami menjadi anak-anak yang salih dan salihah, mumpung belum kasep. Amin
Ada juga skema lain yaitu memberikan kesempatan kepada lansia itu untuk bersosialisasi antarmereka dengan memberikan semacam tempat rendezvous untuk saling curhat, bernostalgia, dan berdiskusi. Ada juga niat baik dari satu SKPD atau dinas mengajak lansia berwisata. Ada embel-embelnya Io, wisata lansia.
Tujuannya untuk memberikan kesempatan mereka bertemu dan tidak harus di panti jompo. Hebat kan?
Konon ada seorang anggota dewan yang terhormat, saat berkunjung ke Kementerian Kesehatan-nya Australia yang amat sangat sederhana itu, dia melihat di depan kantor terpampang tulisan Minister of Health and Aging. Seketika di hatinya timbul pertanyaan, kok ada embel-embel aging segala?
Ketika dijelaskan oleh Menteri bahwa pihaknya tidak hanya mengurusi mereka yang sakit tetapi juga mereka yang sudah sepuh, maka kekaguman pun muncul di hati. Rupanya mereka menghormati para sepuh dan tidak memasukkannya dalam kelompok orang sakit. Mereka masih berusaha memproduktifkan para sepuh sehingga rata-rata usia pria menjadi 75 tahun dan wanitanya 83 tahun.
Tentu saja mereka tidak menganggap para senior citizen itu menjadi beban. lya ya, penulis jadi ingat wakilnya Presiden Obama sudah sepuh, Husni Mubarak 81 tahun masih Presiden Mesir, Pof Emil Salim sudah sepuh masih mengajar, Prof Tjip sampai menjelang akhir hayatnya di usia sepuh masih mengeluarkan banyak pendapat yang jadi referensi generasi penerusnya, Pak Ahcmad yang mantan wakil gubernur di usia 75 tahun masih nyerocos menjawab pertanyaan wartawan. Belum lagi Prof Eko, Prof Retmono, Prof Abu dan banyak lagi. Subhanallah
Ternyata kok banyak ya, yang sudah sepuh tapi masih produktif. Wah seandainya semua yang sudah ber-KTP seumur hidup itu begitu, apa itu bukan indikator bagusnya tingkat kesehatan kita, apa itu juga bukan indikator berhasilnya program kesehatan, serta upaya perbaikan gizi dan sekaligus kemakmuran?
Wih Ia kalau lansia makin banyak apa kita tidak repot. Kasihan kan anak cucu kita harus terus menerus ngopeni para eyang kakung dan eyang putrinya itu. Warning atau lampu kuning itu juga sudah dinyalakan oleh petinggi Kementerian Sosial dan BKKBN kita, seperti apa yang diungkap Prof Retmono bahwa senior citizen, yang pada 1980 ada 6,6 juta, pada 1990 menjadi 11,5 juta, tahun 2000 menjadi 22,5 juta sehingga menyebabkan Prof Retmono khawatir bila hal itu akan menjadi beban masyarakat karena pada 2010 jumlahnya itu bisa merayap menjadi dua kali lipat.
Sebenarnya sih lansia itu bukanlah sepah yang harus masuk keranjang sampah karena manisnya sudah di-sesep oleh anak cucu. Lansia adalah para sepuh yang sudah di-sesep sampai apuh tapi masih tetap ampuh. Mereka sudah ditempa oleh manis getirnya kehidupan. Ya, mereka punya kelebihan yaitu pengalaman yang konon membuat mereka punya kearifan yang tidak bisa diajarkan tapi bisa dicontohkan.
Pengalaman mereka itu bisa ditularkan melalui nasihat dan piwulang yang menurut pamedharsabda disebut tutur dan sembur. Siapa tahu tutur dan sembur dari para sepuh itu bisa menjadi inspirasi untuk keluar dari berbagai masalah yang kini kita hadapi. Nuwun sewu semanten rumiyin. (10)
— Drs KH Ahmad Darodji MSi, mantan anggota DPR, Ketua MUI Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 22 April 2010