21 April 2010

» Home » Lampung Post » Kompleksitas Kekuasaan

Kompleksitas Kekuasaan

Diskursus politik belakangan terasa aneh. Keanehan terbaca dari alur wacana yang tidak lurus. Bagaimana tidak, hasil paripurna DPR RI mengenai hasil kerja Pansus Angket Century yang dimenangi 325 dari total 540 anggota yang hadir, yang artinya kebijakan penalangan Rp6,7 triliun ke Bank Century pada 2008 adalah kebijakan yang salah, tidak disusul dengan eksekusi politik dan hukum. Eksekusi politik yang diharapkan adalah parlemen segera mengadakan rapat untuk mengeksekusi hak menyatakan pendapat yang bisa dijadikan dasar bagi Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti isu pemakzulan politik. Selanjutnya, eksekusi hukum yang ideal adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan untuk menemukan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab secara pidana.
Dua eksekusi ini tidak ada yang dijalankan. KPK sendiri mengaku tidak memiliki bukti materi yang kuat untuk melangkah dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Kalangan aktivis dan akademisi seperti yang tergabung dalam Petisi 28 dan Gerakan Indonesia Bersih (GIB) mempertanyakan independensi KPK dalam kasus ini sehingga salah satu tuntutannya adalah memilih ketua KPK baru setelah Tumpak Panggabean diberhentikan dari posisinya.


Untuk tuntutan penggantian ketua KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengakomodasinya. Untuk itu, kita berterima kasih. Tetapi kita masih harus mempertanyakan komitmen pemerintah, terutama setelah Presiden secara terbuka menyatakan "Saya bertanggung jawab atas masalah CenturyĆ¢€. Hingga kini, makna pertanggungjawaban itu tidak terbukti, bahkan menjadi kontraproduktif kalau mencermati substansi pidato presiden tanggal 3 Maret 2010 yang tendensius membela Boediono dan Sri Mulyani Indrawati dan kembali menegaskan keyakinannya soal kebijakan penalangan yang dibenarkan oleh faktor krisis ekonomi.
Lantas, apa makna 'saya bertanggung jawab' di sini? Belum jelas pertanyaan terjawab, muncul isu terorisme sesudah kematian Dulmatin. Berita Century tenggelam. Kondisi sedikit berubah setelah rencana kedatangan Presiden AS Barack Obama tertunda. Tetapi, kerumitan masih tak terpecahkan. Sekarang, mantan Kabareskrim Susno Duadji menjadi berita. Ia muncul dengan isu soal makelar kasus di tubuh institusi kepolisian.
Sebagian orang menilai langkah Susno disorientatif, cenderung sekadar mengalihkan isu, dan seakan-akan untuk mencari penitensi bagi dosa-dosanya. Pandangan macam ini logis, tetapi Susno Duadji tidak bisa dibaca secara parsial. Terlepas dari siapa Susno kemarin, yang pasti hari ini dan hari-hari ke depan, perjuangan penegakan hukum, termasuk upaya penuntasan skandal Century, memerlukan Susno Duadji dan segala kesaksiannya.
Jika substansinya dilihat, Susno tidak sedang mengalihkan isu. Ia bahkan sedang membawa kita ke sentrum persoalan supaya tidak terbawa arus wacana yang hendak menjebak kita dalam situasi 'mudah melupakan masalah'. Kiranya ini dasar kenapa Petisi 28 dan GIB berkehendak melangkah bersama Susno Duadji dalam mengusut makelar kasus yang berkeliaran di berbagai institusi hukum.
Mungkin saja Susno menjadi masalah tersendiri. Tetapi, ada masalah yang lebih besar dan lebih sistemis, yang untuk menyelesaikannya, kita perlu bergandengan tangan dengan orang seperti Susno. Tentu kaum moralis tradisional akan marah dengan pilihan macam ini. Itu wajar. Namun, situasi terkadang memaksa kita untuk menerima relativisme moral politik. Untuk suatu kepentingan yang lebih tinggi dan yang berkaitan dengan kehidupan sebuah bangsa, kita mesti mengesampingkan persoalan personal.
Berbicara soal moral ini, kita perlu kembali pada pernyataan 'Saya bertanggung jawab' dari Presiden Yudhoyono. Apa maksud kalimat ini di kala Presiden terus meyakinkan publik tentang tidak perlunya wakil presiden dan menteri keuangan melepaskan jabatannya?
Kaum Kantian dalam filsafat politik suka mengubah adagium kaum strukturalis tentang cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), dengan respondeo ergo sum (saya bertanggung jawab, maka saya ada). Kalau titik tekan Descartes adalah rasionalitas, titik tekan kaum Kantian adalah responsibilitas. Tanggung jawab dinilai lebih tinggi dari sekadar rasionalitas. Sesuatu itu berguna bagi kebaikan umum, sesuatu itu bernilai, atau dianggap memiliki justifikasi pro tanto, bukan sekadar karena bisa diterima akal sehat (rational), melainkan karena dapat dipertanggungjawabkan (reasonable). Bagi Kantian, moral lebih tinggi dari sekedar rasional. Itu poinnya.
Dalam perpanjangannya, skandal Century ini bisa saja dinalarkan dengan tepat supaya bisa dianggap sebagai 'sesuatu yang benar', dan itu yang terjadi selama ini. Namun, apakah kebijakan itu bisa dipertanggungjawabkan sehingga dianggap 'kebijakan yang baik'? Hasil Paripurna DPR RI memastikan bahwa kebijakan itu bisa dirasionalkan, tetapi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka, di balik segala rasionalisasi yang dibangun, ia tetap kebijakan yang jahat. Ia tetap kebijakan yang mengandung berbagai pamrih parsial untuk kepentingan pragmatis sebagian orang. Inilah dasarnya kenapa kita perlu meminta pertanggungjawaban moral dari pihak pemerintah.
Selain itu, ada pertimbangan situasional. Kalau pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas terhadap pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini, situasi politik ke depan dipastikan selalu tidak stabil. Perlawanan dari ruang publik akan terus bermunculan sekalipun konstelasi politik di tingkat elite bisa saja kembali normal. Kekuatan politik terbesar hari ini ada di tangan rakyat. Kompromi politik, bahkan barter kasus, tidak bisa diandalkan sebagai panasea untuk menenangkan turbulensi politik. Yang dibutuhkan ialah perubahan dan penegakan integritas kekuasaan. Arus politik tidak mengalir vertikal dari atas ke bawah, dari elite ke akar rumput. Sebaliknya, arus politik hari ini mengalir dari akar ke atas. Kalau yang di teras elite tidak mengikuti arus bawah, sejarah bisa membuktikan bahwa kekuasaan politik macam apa pun bisa dikoreksi secara total. Untuk itu, perlu ada kesadaran moral untuk segera menyelesaikan kompleksitas yang aneh ini. ***

Oleh Boni Hargens, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
Opini Lampung Post 22 April 2010