Diskursus politik belakangan terasa aneh. Keanehan terbaca dari alur  wacana yang tidak lurus. Bagaimana tidak, hasil paripurna DPR RI  mengenai hasil kerja Pansus Angket Century yang dimenangi 325 dari total  540 anggota yang hadir, yang artinya kebijakan penalangan Rp6,7 triliun  ke Bank Century pada 2008 adalah kebijakan yang salah, tidak disusul  dengan eksekusi politik dan hukum. Eksekusi politik yang diharapkan  adalah parlemen segera mengadakan rapat untuk mengeksekusi hak  menyatakan pendapat yang bisa dijadikan dasar bagi Mahkamah Konstitusi  untuk menindaklanjuti isu pemakzulan politik. Selanjutnya, eksekusi  hukum yang ideal adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan  penyidikan untuk menemukan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab  secara pidana.  
Dua eksekusi ini tidak ada yang dijalankan. KPK sendiri mengaku  tidak memiliki bukti materi yang kuat untuk melangkah dari tahap  penyelidikan ke tahap penyidikan. Kalangan aktivis dan akademisi seperti  yang tergabung dalam Petisi 28 dan Gerakan Indonesia Bersih (GIB)  mempertanyakan independensi KPK dalam kasus ini sehingga salah satu  tuntutannya adalah memilih ketua KPK baru setelah Tumpak Panggabean  diberhentikan dari posisinya.  
Untuk tuntutan penggantian ketua KPK, Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono sudah mengakomodasinya. Untuk itu, kita berterima kasih.  Tetapi kita masih harus mempertanyakan komitmen pemerintah, terutama  setelah Presiden secara terbuka menyatakan "Saya bertanggung jawab atas  masalah CenturyĆ¢€. Hingga kini, makna pertanggungjawaban itu tidak  terbukti, bahkan menjadi kontraproduktif kalau mencermati substansi  pidato presiden tanggal 3 Maret 2010 yang tendensius membela Boediono  dan Sri Mulyani Indrawati dan kembali menegaskan keyakinannya soal  kebijakan penalangan yang dibenarkan oleh faktor krisis ekonomi.  
Lantas, apa makna 'saya bertanggung jawab' di sini? Belum jelas  pertanyaan terjawab, muncul isu terorisme sesudah kematian Dulmatin.  Berita Century tenggelam. Kondisi sedikit berubah setelah rencana  kedatangan Presiden AS Barack Obama tertunda. Tetapi, kerumitan masih  tak terpecahkan. Sekarang, mantan Kabareskrim Susno Duadji menjadi  berita. Ia muncul dengan isu soal makelar kasus  di tubuh institusi  kepolisian.  
Sebagian orang menilai langkah Susno disorientatif, cenderung  sekadar mengalihkan isu, dan seakan-akan untuk mencari penitensi bagi  dosa-dosanya. Pandangan macam ini logis, tetapi Susno Duadji tidak bisa  dibaca secara parsial. Terlepas dari siapa Susno kemarin, yang pasti  hari ini dan hari-hari ke depan, perjuangan penegakan hukum, termasuk  upaya penuntasan skandal Century, memerlukan Susno Duadji dan segala  kesaksiannya.  
Jika substansinya dilihat, Susno tidak sedang mengalihkan isu. Ia  bahkan sedang membawa kita ke sentrum persoalan supaya tidak terbawa  arus wacana yang hendak menjebak kita dalam situasi 'mudah melupakan  masalah'. Kiranya ini dasar kenapa Petisi 28 dan GIB berkehendak  melangkah bersama Susno Duadji dalam mengusut makelar kasus yang  berkeliaran di berbagai institusi hukum. 
Mungkin saja Susno menjadi masalah tersendiri. Tetapi, ada masalah  yang lebih besar dan lebih sistemis, yang untuk menyelesaikannya, kita  perlu bergandengan tangan dengan orang seperti Susno. Tentu kaum moralis  tradisional akan marah dengan pilihan macam ini. Itu wajar. Namun,  situasi terkadang memaksa kita untuk menerima relativisme moral politik.  Untuk suatu kepentingan yang lebih tinggi dan yang berkaitan dengan  kehidupan sebuah bangsa, kita mesti mengesampingkan persoalan personal.  
Berbicara soal moral ini, kita perlu kembali pada pernyataan 'Saya  bertanggung jawab' dari Presiden Yudhoyono. Apa maksud kalimat ini di  kala Presiden terus meyakinkan publik tentang tidak perlunya wakil  presiden dan menteri keuangan melepaskan jabatannya?  
Kaum Kantian dalam filsafat politik suka mengubah adagium kaum  strukturalis tentang cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya  ada), dengan respondeo ergo sum (saya bertanggung jawab, maka  saya ada). Kalau titik tekan Descartes adalah rasionalitas, titik tekan  kaum Kantian adalah responsibilitas. Tanggung jawab dinilai lebih tinggi  dari sekadar rasionalitas. Sesuatu itu berguna bagi kebaikan umum,  sesuatu itu bernilai, atau dianggap memiliki justifikasi pro tanto,  bukan sekadar karena bisa diterima akal sehat (rational),  melainkan karena dapat dipertanggungjawabkan (reasonable). Bagi  Kantian, moral lebih tinggi dari sekedar rasional. Itu poinnya. 
Dalam perpanjangannya, skandal Century ini bisa saja dinalarkan  dengan tepat supaya bisa dianggap sebagai 'sesuatu yang benar', dan itu  yang terjadi selama ini. Namun, apakah kebijakan itu bisa  dipertanggungjawabkan sehingga dianggap 'kebijakan yang baik'? Hasil  Paripurna DPR RI memastikan bahwa kebijakan itu bisa dirasionalkan,  tetapi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka, di balik segala  rasionalisasi yang dibangun, ia tetap kebijakan yang jahat. Ia tetap  kebijakan yang mengandung berbagai pamrih parsial untuk kepentingan  pragmatis sebagian orang. Inilah dasarnya kenapa kita perlu meminta  pertanggungjawaban moral dari pihak pemerintah.  
Selain itu, ada pertimbangan situasional. Kalau pemerintah tidak  segera mengambil langkah tegas terhadap pihak yang harus bertanggung  jawab dalam kasus ini, situasi politik ke depan dipastikan selalu tidak  stabil. Perlawanan dari ruang publik akan terus bermunculan sekalipun  konstelasi politik di tingkat elite bisa saja kembali normal. Kekuatan  politik terbesar hari ini ada di tangan rakyat. Kompromi politik, bahkan  barter kasus, tidak bisa diandalkan sebagai panasea untuk menenangkan  turbulensi politik. Yang dibutuhkan ialah perubahan dan penegakan  integritas kekuasaan. Arus politik tidak mengalir vertikal dari atas ke  bawah, dari elite ke akar rumput. Sebaliknya, arus politik hari ini  mengalir dari akar ke atas. Kalau yang di teras elite tidak mengikuti  arus bawah, sejarah bisa membuktikan bahwa kekuasaan politik macam apa  pun bisa dikoreksi secara total. Untuk itu, perlu ada kesadaran moral  untuk segera menyelesaikan kompleksitas yang aneh ini. ***  
Oleh Boni Hargens, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
Opini Lampung Post 22 April 2010