Oleh Sunarsip
Hingga saat ini, image sebagai bank yang kurang kompetitif masih melekat pada diri Bank Pembangunan Daerah (BPD). Seolah-olah, baju sebagai bank daerah (regional bank) menjadi ”kutukan” bahwa yang namanya BPD pasti akan sulit berkembang. Betulkah? Saya kira image ini harus secepatnya dibuang jauh karena faktanya bank regional di negara lain justru sebaliknya.
Saya ambil contoh, bank regional di Australia. Australia sebetulnya tidak mengenal Regional Development Bank atau BPD. Bank regional di Australia lebih dikenal sebagai Regional Commercial Bank atau RCB. Saya kira, ini hanya perbedaan istilah saja. Pada praktiknya, operasional antara BPD versi Indonesia dan RCB versi Australia adalah sama. BPD di Indonesia, sekalipun menggunakan ”label” sebagai bank pembangunan, operasionalnya dan regulasinya sesungguhnya mewakili bank komersial karena memang di Indonesia tidak dikenal ”bank khusus”, seperti bank pembangunan. Beberapa bank ”regional” yang sangat dibanggakan warga Australia pada umumnya antara lain BankWest di negara bagian Western Australia, Bendigo Bank, serta Westpack Bank (dulu Bank of Melbourne) di negara bagian Victoria.
Di Jerman, bank milik pemerintah negara bagian disebut sebagai landesbanken. Landesbanken ini beroperasional sebagai bank pembangunan murni. Sehingga, operasional bisnis yang dijalankan landesbanken betul-betul terkait dengan program-program pembangunan ekonomi di negara bagian tersebut. Pemiliknya juga terbagi menjadi pemerintah negara bagian (provinsi) sebagai mayoritas dan kabupaten-kabupaten (municilaties) di wilayah tersebut. Karena sebagai bank pembangunan, bisnis landesbanken antara lain meliputi private sector, social housing, individual, small medium enterprises (SME), public sector, dan domestic public finance. Salah satu landesbanken terbaik di Jerman adalah NRW Bank. Pada 2006, NRW Bank merupakan bank pembangunan terbesar kedua di Jerman dan ketiga di Eropa.
Contoh kedua praktik bank regional di negara lain tadi, sudah cukup untuk menunjukkan bank regional tidak identik dengan bank yang tidak kompetitif. Kedua contoh tadi juga menunjukkan, bank regional juga bisa menjadi kampiun dan kebanggaan regional setempat. Pertanyaannya, bagaimana agar BPD-BPD kita juga bisa mengikuti jejak mereka?
Pertama-tama, yang perlu diluruskan kembali adalah stigma BPD. Stigma BPD sebagai bank regional pasti akan sulit berkembang karena ceruk pasar terbatas (niche market) adalah keliru besar. Contoh di Australia merupakan bukti faktual, sekalipun ceruk pasarnya terbatas, tetap saja tidak mengurangi animo masyarakat untuk berhubungan dengan bank regional, sekalipun di regional tersebut juga beroperasi bank nasional. Sebaliknya, ceruk pasar yang terbatas ini harus dimaknai sebagai captive market. Kalau kita melakukan penetrasi yang tepat, justru dapat menempatkan posisi BPD sebagai champion.
Bagaimana strateginya agar BPD mampu menempatkan diri sebagai regional champion? Marilah kita (BPD) bertanya pada diri sendiri terkait situasi yang dihadapi saat ini. Contoh, sebagai bank regional, apakah keberadaan BPD telah dikenal masyarakat setempat (brand awareness)? Masyarakat setempat memang tahu di daerah tersebut ada BPD. Namun, jujur harus diakui bahwa brand awareness masyarakat terhadap BPD masih rendah. Akibatnya, produk dan jasa yang ditawarkan BPD menjadi kurang diminati dan BPD menjadi sulit bersaing dengan bank umum lainnya.
Rendahnya brand awareness BPD, juga terkait dengan rendahnya penetrasi BPD di regional tersebut. Mari kita kalkulasi, seberapa banyak kantor cabang BPD yang beroperasi di regional di mana BPD tersebut beroperasi? Apakah kantor cabang BPD telah menjangkau seluruh kawasan di regional tersebut? Coba bandingkan dengan bank umum lainnya yang juga memiliki kantor-kantor hingga ke pelosok-pelosok. Dengan penetrasi pasar yang kurang masif, tentunya akan memengaruhi brand awareness dan bisnis BPD. Tidak mengherankan bila dalam skala regional bisnis BPD (perkreditan dan pendanaan) masih relatif tertinggal dengan bank-bank umum. Oleh karenanya, BPD-BPD perlu mengembangkan lini bisnis hingga ke pelosok-pelosok daerah, misalnya mendirikan kantor unit atau melakukan kerja sama operasi dengan bank pasar dan sejenisnya.
Tentunya untuk dapat melakukan penetrasi pasar secara masif dibutuhkan permodalan yang kuat. Saya kira, persoalan permodalan BPD ini merupakan hal yang mendesak untuk diatasi. Kondisi permodalan BPD secara rata-rata masih jauh di bawah rata-rata permodalan perbankan nasional. Masih rendahnya permodalan BPD ini dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan BPD sekaligus berpotensi melemahkan ketahanan BPD dalam menghadapi persaingan dengan bank umum. Oleh karenanya, penting bagi BPD untuk meningkatkan intensitas koordinasi kepada pemangku kepentingan, antara lain pemerintah provinsi, pemerintah kota, pemerintah kabupaten, dan DPRD perihal pentingnya penambahan modal dan akses sumber permodalan lainnya.
Salah satu langkah yang penting untuk memperkuat posisi BPD adalah dengan mengoptimalkan strategic partnership di antara BPD. Melalui langkah ini, BPD akan memperoleh banyak manfaat, seperti efiesiensi biaya operasional, mengurangi risk exposure, peningkatan kapasitas bisnis, dan memperkecil gap kompetensi SDM. Di samping itu, langkah strategic partnership juga menjadi salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan permodalan.
Kesimpulannya, peluang menjadikan BPD sebagai regional champion sangat terbuka. Tinggal bagaimana pemangku kepentingan BPD berkomitmen untuk secara serius mewujudkannya. ***
Penulis, ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta.
Opini Pikiran Rakyat 22 April 2010