GUGATAN praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masyarakat pun terguncang mendengarnya apalagi beberapa pengajuan praperadilan sebelumnya ditolak oleh pengadilan. Sudah sedemikian saktikah Anggodo?
Tulisan ini tidak akan membahas ‘’kesaktian’’ Anggodo, atau memusuhi pihak yang mengajukan praperadilan, karena dari kacamata hukum acara pidana Jaksa Agung memang telah ‘’salah pilih’’ dengan mengeluarkan surat keterangan penghentian penuntutan (SKPP) atas nama tersangka Chandra M Hamzah dan atas nama tersangka Bibit Samad Riyanto, pada 1 Desember 2009
Hukum acara pidana Indonesia memberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan kepada lembaga kejaksaan, sekaligus memberikan kewenangan menghentikan penuntutan (Pasal 140 KUHAP).
Penghentikan penuntutan dengan syarat tidak terdapat cukup bukti, atau perstiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (yaitu tersangka/terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, kedaluwarsa masa penuntutannya).
Dari ketentuan KUHAP dapat disimpulkan bahwa penghentian penuntutan merupakan hal yang diperbolehkan dan sama sekali tidak menyimpang dari ketentuan itu serta merupakan hak yang dimiliki oleh lembaga kejaksaan selaku penuntut umum, sepanjang sesuai dengan persyaratan sebagaimana disebutkan oleh Pasal 140 Ayat (2) KUHAP.
Menengok asal muasal keluarnya SKPP Bibit-Chandra, kita melihat bahwa keadaan yang terjadi saat itu banyak orang menilai sebagai sebuah akumulasi kejengkelan rakyat melihat KPK yang disimbolkan sebagai satu-satunya lembaga penegak hukum yang masih bisa dipercaya telah diperlakukan semena-mena, dikerdilkan dan pemipinannya terposisi sebagai pihak yang sangat teraniaya sedemikian rupa oleh kearoganan lembaga penegak hukum yang lain.
Akibatnya, protes rakyat melalui akun dukung Bibit-Chandra para facebooker sedemikian dahsyat mengeluarkan pendapat mulai dari kalimat bijak hingga umpatan kejengkelan tersaji dengan gamblang dapat diakses siapa saja.
Alasan Sosiologis
Presiden akhirnya turun tangan melalui Tim 8 dan proses-proses panjang selanjutnya pada akhirnya Jaksa Agung mengeluarkan SKPP. Saat memberikan keterangan atas keluarnya surat tersebut, Jaksa Agung menyebutkan bahwa berkas perkara kedua tersangka telah P21 (dinyatakan lengkap dan siap untuk dilakukan penuntutan), namun karena pertimbangan adanya alasan sosiologis.
Alasan sosiologis inilah yang kemudian menjadi pukulan telak dan ‘’lubang’’ bagi hakim praperadilan untuk menerima permohonan praperadilan Anggodo, karena menurut hakim alasan sosiologis tidak pernah digunakan dalam pertimbangan hukum. Penerapan alasan sosiologis harus jelas variabelnya.
Dengan melihat syarat keluarnya SKPP yaitu Pasal 42 KUHAP khususnya Ayat (2) , sudah tampak bahwa Jaksa Agung tidak menerapkan ketentuan tersebut konsekuensinya SKPP tersebut memang cacat hukum sehingga layak sekali untuk dibatalkan.
Ada satu asas yang dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia, yaitu asas oportunitas dan hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Berdasarkan asas itu maka dia dapat mengesampingan perkara (populer dengan sebutan deponering).
Deponering perkara dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dengan syarat bahwa sekalipun perkara tersebut merupakan perkara pidana dan dapat dilakukan penuntutan di muka persidangan karena bukti yang ada telah cukup, apabila penuntutan dilakukan maka kepentingan umum menjadi terganggu.
Untuk kasus Bibit-Chandra dalam pandangan penulis penetapan deponering atas kasus tersebut lebih tepat karena menurut Jaksa Agung sebenarnya berkas telah P21. Dan keluarnya putusan deponering tepat karena kedudukan Bibit-Chandra selaku pimpinan KPK sangat dibutuhkan lembaga tersebut. Konsekuensi dari deponering adalah bahwa kasus tersebut tidak dapat lagi untuk diajukan ke muka sidang pengadilan.
Mengeluarkan deponering memang tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya polemik, dan sampai sekarang pun tampaknya Kejagung belum pernah menerapkan asas tersebut. Pasalnya keberadaaan asas opportunitas ini ada yang menganggap sebagai pengingkaran terhadap asas equality before the law, diskriminatif, dengan bertameng demi kepentingan umum.
Putusan praperadilan yang dijatuhkan oleh PN Jakarta Selatan masih belum berkekuatan hukum tetap sehingga masih memungkinkan adanya pengujian oleh Pengadilan Tinggi. Kita semua berharap Kejaksaan Agung bisa mempertanggungjawabkan secara ilmiah dengan melakukan penafsiran-penafsiran hukum yang lebih cermat agar argumentasi yang diajukan dalam memori bandingnya mampu meyakinkan hakim di tingkat banding. (10)
— Hibnu Nugroho SH MH, dosen Unsoed, mahasiswa program S3 ilmu hukum Undip
Wacana Suara Merdeka 22 April 2010