Hesma Eryani
Wartawan ‘Lampung Post’
Setengah abad sudah PT Pupuk Sriwijaya berkutat dalam urusan memberdayakan petani di negeri ini. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari memperkenalkan teknologi baru berupa penggunaan pupuk buatan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen sampai pada sistem tata niaga pupuk yang memberi peluang usaha baru bagi para petani melalui penguatan kelompok-kelompok tani.
Namun, sepak terjang pabrik pupuk yang berdiri pada 24 Desember 1959 itu, terkesan masih belum memperlihatkan implikasi yang menggembirakan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Karena persoalan kemiskinan merupakan gurita sosial dengan tentakel yang membelit banyak aspek kehidupan masyarakat petani, mulai dari persoalan minimnya penguasaan areal pertanian, lemahnya akses pada sumber modal usaha, dan lain sebagainya.
Dorongan Pursi terhadap peningkatan produktivitas hasil pertanian, pengenalan sistem tata niaga pupuk, dan penguatan kelembagaan kelompok-kelompok tani, ternyata masih harus berhadapan dengan realitas lain berupa persoalan pascapanen yang berada di luar kebijakan Pusri. Setiap kali panen, harga hasil produksi petani justru mengalami penurunan sehingga tidak mampu mengerek peningkatan pendapatan per kapita petani tiap tahun.
Umum diketahui, kebijakan pemerintah di bidang tata niaga hasil panen lebih memosisikan petani sebagai konsumen. Sementara posisi produsen sepenuhnya dipegang pemerintah melalui Bulog, yang kemudian menentukan harga pembelian dari setiap hasil panen petani. Posisi petani makin terpojok ketika berhadapan dengan hukum ekonomi supply and demand sehingga harga hasil panen senantiasa dapat dikendalikan ditekan.
Fakta kemiskinan petani selaku produsen beras, sesungguhnya kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang memosisikan beras sebagai komoditas industri pangan yang paling menguntungkan. Sayangnya, keuntungan dari industri pangan nasional yang diprediksi pemerintah melalui Departemen Perindustrian (Depperin) pada lima tahun mendatang akan meningkat sekitar 100 miliar dolar AS, hanya akan dinikmati oleh para pengusaha. Sedangkan petani, tetap saja berkutat dengan kemiskinan yang seakan-akan tidak ada solusi untuk mengatasinya.
Meningkatkan Peran Pusri
Sebagian besar masyarakat di perdesaan mengandalkan mata pencarian dari pertanian dan semua subsektornya. Karena masyarakat petani kita identik dengan kemiskinan sampai saat ini, kemiskinan di Indonesia bermuara di lingkungan perdesaan. Padahal, desa merupakan satuan basis eksistensial penting yang menopang identitas sebuah daerah, sehingga rendahnya pendapatan per kapita masyarakat yang bekerja sebagai petani sekaligus menjadi potret kemiskinan dari daerah bersangkutan.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan petani, hal paling mendasar yang harus dilakukan adalah mengupayakan agar pendapatan per kapita petani mengalami peningkatan tiap tahun. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat petani ditandai dengan mutu hidup yang tinggi, dengan jumlah kepemilikan alat-alat otomotif, elektronika, dan informatika yang lebih banyak, nutrisi yang lebih baik, perumahan yang tenteram, jaminan kesehatan yang lebih baik, dan harapan hidup yang lebih panjang.
Posisi petani dalam dimensi kemanusiaan di Indonesia begitu penting, maka pertumbuhan baku hidup dan mutu hidup masyarakat petani, suatu keniscayaan. Upaya meningkatkan pendapatan per kapita petani tidak cukup dengan memperkenalkan teknologisasi pertanian, tetapi perlu juga dilakukan dengan peningkatan kapasitas petani.
Pada tataran inilah peran Pusri yang sudah setengah abad bermitra dengan petani dapat lebih ditingkatkan. Pusri harus mampu membuka mata para petani Indonesia untuk lebih serius dan konsisten dalam melakoni kehidupan sebagai petani dengan cara meningkatkan kapasitas petani. Caranya melalui strategi merangsang akumulasi faktor-faktor produksi desa seperti modal manusia, sumber daya alam, modal fisik, dan pengetahuan teknologis yang memadai.
Sudah umum diketahui, setiap kali menghadapi musim tanam, para petani akan bersentuhan langsung dengan Pusri. Selama ini, persentuhan antara Pusri dan petani senantiasa dikaitkan dengan ketersediaan pupuk di gudang-gudang Pusri dalam menghadapi musim tanam, sehingga ada "jurang" yang terentang lebar yang menempatkan Pusri senantiasa berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan petani. Artinya, masyarakat petani memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap ketersediaan pupuk untuk menghadapi musim tanam.
Kondisi ini terjadi karena Pursi selalu terkesan "memandang dirinya memiliki peran paling besar" dalam upaya ketahanan pangan dan pemberdayaan petani di negeri ini. Sebagai mitra, mestinya Pusri membalik cara pandang dengan melihat bahwa petani yang sesungguhnya memiliki kontribusi paling besar. Keberadaan petani telah membuat Pusri mampu bertahan selama setengah abad sebagai perusahaan pupuk terbesar di Indonesia.
Pembalikan Cara Berpikir
Jika lebih dipahami, sesungguhnya hubungan yang tercipta antara petani dan Pusri selama setengah abad bisa disebut sebagai kemitraan agribisnis. Posisi petani maupun Pusri berada dalam ikatan simbiosis mutualisme yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Karena petani maupun Pusri sama-sama berorientasi pada kebutuhan pasar dan mengharapkan keuntungan yang optimal dari usaha yang dilakoni. Meskipun kenyataan menunjukkan, Pusri justru mampu bertahan selama setengah abad dan tumbuh sebagai holding dengan anak perusahaan yang tumbuh sehat, sementara petani tetap berkutat dengan kemiskinan yang menjeratnya.
Sebab itu, Pusri perlu mengubah cara melihat posisi petani dari selama ini sebagai konsumen pupuk menjadi mitra strategis dalam semangat membangun sektor agribisnis yang di dalamnya terintegrasi berbagai pemangku kepentingan. Pusri merupakan pemangku kepentingan dari unsur perusahaan pertanian, sedangkan petani pemangku kepentingan lain, di mana Pusri bisa menjamin berkelanjutannya pembangunan pertanian dengan pemberdayaan petani dan masyarakat petani melalui pertumbuhan baku hidup (standard of living) dan mutu hidup (quality of life).
Dalam hal ini, kedudukan Pusri selaku pemasok pupuk tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketersediaan pupuk, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pemberdayaan masyarakat yang berspesialisasi sebagai petani yang merupakan pemakai pupuk. Artinya, Pusri yang berspesialisasi sebagai produsen pupuk harus melihat petani yang berspesialisasi sebagai pengguna (konsumen) pupuk sebagai bagian yang terintegrasi dengan kesatuan bisnis Pusri sehingga Pusri akan merasa bahwa meningkatkan kapasitas petani melalui pemberdayaan kelembagaan merupakan suatu keniscayaan.
Esensi kemitraan antara Pusri dan petani terletak pada kontribusi bersama, baik berupa kontribusi pengadaan subsistem asupan, subsistem usaha tani atau produksi, subsitem keluaran maupun kelembagaan. Dengan konsep seperti ini, sangat mungkin akan tumbuh lembaga-lembaga kelompok tani yang punya kapasitas dan daya saing yang memiliki daya tawar tinggi saat berhadapan dengan sistem tata niaga hasil panen yang kurang berpihak.
Setidaknya Pusri dapat mulai melalukan hal ini sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility--CSR). Jika kebijakan CSR yang dilakukan Pusri selama ini lebih diarahkan untuk kegiatan seperti membantu industri kecil menengah, menyehatkan lingkungan di sekitar Pusri, dan lain sebagainya, ada baiknya konsep CSR lebih diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan petani secara umum. Jika ini sukses, sudah barang tentu eksistensi Pusri bagi masyarakat petani tidak sekadar sebagai produsen pupuk yang selalu dihubungi setiap menghadapi musim tanam. Tetapi Pusri akan menjadi mitra kerja yang senantiasa dihubungi petani setiap kali menghadapi kendala dalam upaya meningkatkan kapasitas seluruh pemangku kepentingan kemitraan.
Opini Lampung Post 12 Maret 2010