Kasus ini mengejutkan karena Aceh selama ini dikenal kebal (immune) dan memiliki resistensi terhadap segala gerakan yang berbau terorisme, apalagi yang mengatasnamakan agama. Selama masa konflik pemisahan diri, semua elemen Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyadari betul pentingnya menghindari labelisasi dan stigmatisasi terorisme oleh masyarakat internasional terhadap perjuangan mereka.
Oleh karena itu, GAM dari semula tidak pernah mengedepankan aspek ideologis-keagamaan sebagai landasan aktivitasnya. Citra yang terbentuk di dunia internasional mengenai GAM adalah lebih sebagai gerakan pemisahan diri (secessionist movement) berdasarkan etno-nasionalisme. Upaya sebagian pihak di Jakarta pada waktu itu untuk menggambarkan GAM sebagai gerakan teroris, khususnya pascaperistiwa 11 September tidak berhasil mengubah opini publik nasional dan internasional. GAM tetap dilihat lebih sebagai gerakan separatis bersenjata.
Selama Aceh menjadi daerah ”tertutup” akibat konflik, meskipun aksi dan penetrasi terorisme mulai marak di wilayah Indonesia lain, provinsi itu relatif terbebas dari imbasannya. Berbeda dengan wilayah-wilayah konflik lain, tidak ada kekuatan dari luar Aceh yang bisa ikut ”bermain” di wilayah itu. Aceh tetap menjadi arena konflik bersenjata vertikal antara GAM dan pemerintah pusat.
Keadaan mulai berubah sejak terjadinya bencana tsunami, dan khususnya sejak dimulainya proses perdamaian Helsinki 2005. Aceh jadi wilayah yang begitu terbuka bagi siapa saja. Namun, dalam keadaan sulit pascatsunami sekalipun, Aceh tetap menunjukkan resistensi terhadap unsur-unsur radikalisme dari luar daerah itu. Aceh tetap jadi tempat aman bagi para pekerja kemanusiaan internasional yang membantu rekonstruksi dan pembangunan pascabencana.
Masyarakat Aceh, termasuk mantan GAM, sangat bangga dengan keacehan dan keislaman mereka sendiri. Keinginan kelompok luar Aceh untuk mewar- nai keislaman Aceh cenderung dilihat sebagai penghinaan. Karena itu, sungguh menjengkelkan jika kelompok teroris tetap saja salah membaca karakter Aceh.
Tampaknya ada tiga miskalkulasi. Pertama, mereka menduga, sebagai tempat satu-satunya berlakunya syariah Islam dan sebagai wilayah yang dikenal kental sikap keagamaannya, masyarakat Aceh akan lebih toleran terhadap ideologi radikal yang mereka usung.
Kedua, mereka menduga, seperti yang disinyalir Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, ketika mereka melakukan aksi melawan hukum, masyarakat akan mudah mencurigai GAM atau aparat keamanan sebagai pelakunya. Sikap saling percaya yang belum sepenuhnya terbangun dalam masyarakat Aceh ingin dimanfaatkan oleh kelompok teroris itu. Yang terjadi justru aparat keamanan dan mantan GAM bekerja sama menumpas kelompok tersebut.
Ketiga, mereka juga tampaknya ingin memanfaatkan fakta sejarah Aceh sebagai daerah basis DI/TII yang kental nuansa ideologis keislamannya. Namun, mereka tidak paham Aceh masa kini bukan lagi Aceh masa lalu. Aceh kini adalah wilayah pasca- konflik di mana konflik sebelumnya lebih didorong semangat melawan ketidakadilan ketimbang pertarungan ideologis.
Kejengkelan masyarakat Aceh terhadap kenekatan kelompok teroris untuk menjadikan NAD sebagai basis pelatihan dan pe- rekrutan juga dikarenakan implikasinya bagi proses perdamaian di sana. Aceh, yang sedang bekerja keras membina perdamaian yang masih muda usia ini, akan kembali dipersepsikan sebagai wilayah yang rawan.
Yang lebih parah, peristiwa terbongkarnya jaringan teroris di Aceh ini juga telah menimbulkan mispersepsi tentang adanya apa yang secara salah kaprah disebut sebagai ”teroris Aceh”. Pada saat yang sama, lahir pula persepsi bahwa Aceh akan dijadikan basis aksi-aksi terorisme maritim, khususnya di Selat Malaka, yang dapat mengancam keamanan di kawasan Asia Tenggara.
Benar, seperti yang dinyatakan oleh Gubernur, kelompok teroris itu tidak ada kaitannya dengan Aceh atau mantan GAM dan te- rorisme akan mempersulit proses masuknya investasi ke Aceh karena adanya persepsi tentang ketidakamanan di provinsi itu.
Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa kelompok teroris itu telah berhasil pula merekrut putra-putra Aceh sendiri. Artinya, ada kondisi yang memungkinkan terjadinya penetrasi ideologi radikal dan terorisme ke dalam masyarakat Aceh sendiri. Kenyataan ini harus mendapat perhatian penuh dan serius dari pemerintah dan masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh tidak boleh melihat persoalan ini sebagai sekadar sebuah persoalan yang datang dari luar Aceh semata. Pemerintah dan masyarakat Aceh berkewajiban melakukan refleksi, dan mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan berbagai kondisi internal di wilayah itu yang dapat membuka ruang bagi tumbuhnya radikalisasi dan terorisme berdasarkan agama.
Persoalan dan tantangan bina perdamaian di Aceh sudah begitu rumitnya, jangan sampai ditambah pula persoalan baru, seperti radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Opini Kompas 12 Maret 2010