'Dari semua aset negara yang ada, arsip adalah aset yang paling berharga. Ia merupakan warisan nasional dari generasi ke generasi yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Tingkat keberadaban suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan pelestarian terhadap arsipnya.'' (Sir Arthur Dougthy, 1924).
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan telah diakui secara de facto oleh dunia. Meskipun demikian, Belanda menganggap Indonesia belum merdeka dan tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia tersebut. Belanda datang lagi ke Indonesia dengan membonceng NICA. Kedatangan itu bertujuan untuk menjajah Indonesia kembali. Bangsa Indonesia yang merasa sudah merdeka menyambut kedatangan Belanda dengan perlawanan sehingga terjadilah peristiwa 10 November di Surabaya yang memakan banyak korban di kedua pihak. Atas semua kejadian itu, diadakanlah perundingan yang terkenal dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasilnya, pada 27 Desember 1945, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara de jure .
Sebelum membacakan naskah teks Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno-Hatta membuat konsep mengenai isi Proklamasi Kemerdekaan yang penuh dengan coretan. Naskah kemudian diketik oleh Sayuti Melik, tetapi konsepnya tidak dibuang. Konsep naskah Proklamasi dengan coretan inilah yang sering dijumpai dalam buku-buku sejarah. Di samping itu, ternyata dijumpai juga naskah Proklamasi yang diedarkan dalam bentuk cetak.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan yang diakhiri dengan perusakan, pembakaran, serta penjarahan yang bersifat anarkis. Semuanya berimbas pada tuntutan agar Soeharto lengser sebagai presiden RI. Sebagai dampaknya, pada 21 Mei 1998 Soeharto membuat surat pernyataan berhenti menjadi presiden RI. Selain surat pernyataan tersebut, Soeharto juga membuat sebuah surat lain yang ditulis dengan tulisan tangannya. Surat tersebut berisi permintaan Soeharto kepada Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden untuk melanjutkan sisa masa pemerintahannya dari tahun 1998 sampai tahun 2003 sebagai mandataris MPR.
Mulai dari arsip Konferensi Meja Bundar, naskah teks Proklamasi, surat pernyataan berhenti menjadi presiden RI yang dibuat oleh Soeharto, hingga surat tulisan tangan Soeharto untuk Habibie, semuanya asli dan menjadi saksi penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dokumen/arsip tersebut disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Arsip Supersemar
Bagaimana dengan arsip Supersemar? Di manakah naskah aslinya? Polemik keberadaan naskah asli Supersemar ini selalu mencuat dan menjadi isu hangat dalam setiap pembicaraan, apalagi menjelang bulan Maret. Karena, surat sakti itu konon dikeluarkan pada 11 Maret 1966. Pertanyaan yang muncul dalam polemik selalu berkisar, ''Apakah peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto itu kudeta atau bukan?'' atau ''Apakah Soeharto diberikan perintah hanya untuk mengamankan situasi dan setelah itu kekuasaan dikembalikan lagi kepada Soekarno?'' Kemudian, bermacam argumen pun dikemukakan dan dibahas dalam forum-forum diskusi untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan fotokopi dari dua versi arsip Supersemar. Pertama, fotokopi arsip Supersemar yang diperoleh dari Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD), lengkap dengan tanda tangan Soekarno. Kedua, fotokopi yang diperoleh dari Sekretariat Negara berjumlah dua buah. Satu dengan tanda tangan Soekarno dan satu lagi tanpa tanda tangan Soekarno.
Jika arsip Supersemar yang ada di ANRI hanyalah fotokopinya, lalu di manakah arsip aslinya? Untuk memastikan mana arsip Supersemar yang asli, Arsip Nasional RI membutuhkan satu pembanding lagi dan harus arsip aslinya. Mengapa? Karena, dari kedua arsip Supersemar yang saat ini disimpan di ANRI, ditemukan banyak perbedaan, antara lain penggunaan logo, ukuran bentuk lambang Garuda Pancasila, bentuk tanda tangan yang berbeda (tanda tangan Soekarno versi Puspen AD berbentuk pendek dan tebal, sementara tanda tangan Soekarno versi Sekretariat Negara berbentuk panjang dan ramping), penulisan nama Soekarno, cara pengetikan, dan ukuran kertas. (Sumber: lihat khazanah ANRI).
Untuk melacak keberadaan arsip Supersemar (jika memang ada), sudah dilakukan oleh ANRI yang sampai saat ini tetap melakukan pendekatan dan pelacakan kepada orang-orang yang pernah melihat atau mengetahui Supersemar.
Dalam pidatonya ketika acara peresmian Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa di ANRI pada 31 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganjurkan ANRI agar tetap meneruskan pencarian/pelacakan arsip Supersemar. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut mengisyaratkan bahwa arsip adalah aset yang berharga.
Pada 25 Maret 1996, Moerdiono yang waktu itu menjabat menteri sekretaris negara memberikan pendapatnya, ''Tanpa arsip, suatu bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif dan akan terperangkap dalam kekinian yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, tidaklah akan terlalu keliru jika dikatakan bahwa kondisi kearsipan nasional suatu bangsa dapat dijadikan indikasi dari kekukuhan semangat kebangsaannya.''
Bahkan, Presiden Soeharto pada 1969 menyatakan betapa pentingnya arsip. Baik dari pernyataan Sir Arthur Dougthy, Moerdiono, maupun Susilo Bambang Yudhoyono di atas, tampak jelas bahwa arsip merupakan bukti perjalanan sejarah bangsa yang sangat berharga serta bernilai guna tinggi. Arsip Supersemar adalah salah satu bukti tersebut. Namun, kembali lagi pada permasalahannya, di manakah arsip Supersemar yang asli?
Opini Republika 11 Maret 2010