Fraksi-fraksi pemenang angket dalam Rapat Paripurna DPR dengan opsi C (ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan pemberian dana talangan dan fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Bank Century) masih mabuk kemenangan dan merasa tugas ketatanegaraan telah paripurna. Ini tentu tidak benar.
Tugas sejatinya baru dimulai karena Rapat Paripurna DPR telah menemukan ”pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, seperti ditentukan Pasal 182 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Doktrin ketatanegaraan meletakkan angket tidak sekadar instrumentasi hak konstitusional atas fungsi pengawasan DPR dengan makna dangkal. Lebih dari itu, sebagai sebuah penyelidikan (inquiry), dalam diri angket sesungguhnya tertanam simpul- simpul kemauan hukum atas persoalan yang diselidiki untuk (1) melipatgandakan pengetahuan (augmenting knowledge) DPR, (2) meraibkan keraguan sembari membangun keyakinan (resolving doubt), dan (3) menyelesaikan masalah (solving a problem). Ujung dari semua itu adalah meletakkan hukum sebagai mekanisme penyelesaiannya yang di Indonesia terejawantah menjadi hak menyatakan pendapat DPR.
Tambah lagi, konstitusionalisasi hak angket dalam Pasal 20A UUD 1945 dimaksudkan sebagai perwujudan mekanisme penyeimbang kekuasaan legislatif saat berhadapan dengan kekuasaan eksekutif dengan segenap kekuasaan diskresinya yang amat besar dan berpotensi disalahgunakan. Hak menyatakan pendapat adalah muara dari hak angket yang telah menemukan adanya pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Epistemologi semacam ini gagal dipahami oleh DPR secara utuh sehingga yang terjadi adalah hak angket dianggap selesai ketika hasrat menjadikannya sebagai ajang kontestasi kehebohan politik dengan dampak ikutannya yang menghasilkan selebriti-selebriti politik instan terpenuhi. Akan tetapi, di sisi lain, melalaikan penuntasan masalah hingga muaranya.
Lain cerita jika hak angket tak menemukan pelanggaran peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materinya tidak dapat diajukan kembali, seperti diatur dalam Pasal 182 Ayat (2) UU MD3.
UU MD3 memang tidak mengharuskan hak angket yang menemukan pelanggaran pemerintah mesti ditindaklanjuti dengan hak menyatakan pendapat. Namun, amat tidak logis ketika hak angket yang menemukan pelanggaran pemerintah—di mana salah satu pemangku jabatannya (ambtsdrager) yang disebut sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab adalah wakil presiden—tidak diselesaikan dengan mekanisme yang tersedia melalui hak menyatakan pendapat.
Lalu, untuk apa hak angket diadakan jika hasilnya sekadar rekomendasi? Kalau hanya rekomendasi, apa beda hasil angket DPR dengan hasil pemantauan sebuah LSM?
Rekomendasi DPR kepada penegak hukum (Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) dapat sama sekali tidak ada artinya dan tidak bernilai pembuktian karena pembuktian adalah wilayah otonom penegak hukum sesuai dengan standar pembuktian tinggi yang ”di atas keraguan yang beralasan” (beyond a reasionable doubt). Artinya, sekali lagi, angket saja tidak cukup ketika pelanggaran telah ditemukan. Ia mesti ditindaklanjuti dengan hak menyatakan pendapat.
Kita tentu mafhum, jalan berliku mesti dilalui. Mulai dari penggalangan dukungan 25 anggota DPR, persyaratan kuorum tiga perempat anggota DPR, dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit tiga perempat jumlah anggota yang hadir, hingga pembentukan pansus yang bertugas selama 60 hari.
Dalam setiap tikungan jalan berliku itu, potensi ”masuk angin” dan politik dagang sapi selalu besar, untuk tidak menyebut dominan. Kini, kita tinggal berharap pada deliberasi anggota Dewan yang terhormat.
Opini Kompas 12 Maret 2010