11 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Pendidikan yang Mengobati

Pendidikan yang Mengobati

Mubaroq Dinata
Ketua Fossei (Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam) Lampung
Jepang benar-benar terpukul. Dua kota besarnya sekaligus, di dua pulau terbesar, dibumihanguskan dengan bom atom sekutu. Demi melihat kehancuran sangat, dan kepedihan bahwa ia harus membangun negaranya lagi dari nol, ya dari nol. Jika bukan kaisar Hirohito kala itu, mungkin Jepang tidak akan setangguh seperti saat ini. Setelah dua kota penumpu negaranya hancur, Hirohito langsung bertanya, "Berapakah guru kita yang masih tersisa?". Ia paham benar, untuk pembangun fondasi terkuat suatu negara dibutuhkan lapisan dasar paling utama, seorang guru.


Anak yang dalam masa pertumbuhan, murid akan senantiasa merujuk segala sikap dan tingkah laku orang tua dan pengasuhnya. Sejatinya guru adalah induk pengayom bagi para muridnya dalam menemukan identitas diri dan prilakunya. Proses pembelajaan ini kita temukan dalam pepatah klasik,
"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Output dari pendidikan kita tak akan pernah lepas dari para pendidik.
Apa jadinya jika kini dasar pembentukan kepribadian bangsa ini justru
tidak diperhatikan oleh kita sendiri? Pendidikan kita acuhkan peranannya sebagai penentu kemajuan bangsa. Kita lebih mengedepankan kuantitas, jumlah daripada kualitas. Bahkan pendidikan kita jadikan sebuah barang komoditas. Kita akan menemukan bangsa kita yang terus tetap aja kerdil, tak pernah bisa bersaing dengan bangsa–bangsa lain. Kita temukan sejarah kita, bahwa bangsa kita yang menjadi acuan bangsa-bangsa tetangga dalam pendidikan dan pembangunan, kini justru kita diremehkan dan sering dipermainkan, karena kita telah terbelakang begitu jauh. Maka tak heran, jika Negeri Jiran sudah tak lagi menaruh sopan pada negara kita, berbagai macam kebudayaan diklaim, dan tenaga kerja kita dijadikan bulan-bulanan.
Mungkin mereka yakin negara kita tak memiliki kuasa apa-apa di dunia, karena dilihatnya pemimpin kita tak akan peduli rakyatnya, yang dipikirkan hanya kepentingan pribadi saja. Toh jika terjadi konflik antarnegara, bangsa kita tak ada yang membela, karena kita terbelakang di mata dunia, bangsa kita bangsa yang tak pintar, lalai melestarikan khazanah kebudayaan, dan tak pandai memainkan isu dunia. Bahkan mengenai pembantaian manusia secara terbuka di Palestina, negara kita tak memiliki sikap apa-apa.
Untuk masalah kepemilikan asing, seperti tambang emas dan minyak, kita pun masih saja terus dibodohi dan dirugikan. Seandainya kita mau sadar dan mau belajar, semestinya negara kita ini sudah sangat kaya dengan sumber daya alamnya yang sudah dikeluarkan selama ini. Lagi-lagi salah satu alasannya adalah negara kita tidak memiliki tenaga ahlinya. Padahal, para pelajar kita yang cerdas lebih memilih hidup di luar negeri karena tak diperhatikan dan tak dipakai di negara sendiri. Masalah ini semua sebenarnya bersumber dari pendidikan kita.
Semakin hari pendidikan kita semakin tak menghasilkan apa-apa. Seharusnya dua puluh lima ribu mahasiswa yang ada di tiap universitas-universitas kita, saat setelah wisuda mereka memiliki kerja. Namun yang ada, mereka menghabiskan hidup sekitar lima tahun hanya untuk wisuda dan gelar sarjana saja, tanpa ada pemecahan solusi bagi kemajuan bangsa. Ini juga terjadi di setiap universitas–universitas di seluruh Indonesia. Ini jelas-jelas ada yang salah dengan pendidikan kita.
Beginilah wajah sistem pendidikan kita sekarang, yang menghasilkan para pendidik yang sebenarnya hanya mengajar, dan tak pernah mendidik. Guru yang seharusnya berpikir bagaimana caranya agar ia dapat menurunkan seluruh ilmunya kepada anak dengan ikhlas, kini diajarkan oleh pemerintah mengubah niat tulus menjadi niatan kosong berorientasi materi. Kini profesionalisme guru hanya diukur oleh lembar-lembar sertifikat seminar, dan portofolio. Ujung-ujungnya pun membicarakan uang lagi, untuk mendapatkan jalan pintas meraih sertifikasi tersebut.
Di dalam kampus kita sendiri, masih banyak sosok guru yang belum mengayomi maupun mendidik. Betapa banyak dosen yang hanya masuk beberapa kali, atau dosen yang mengajar sebentar lalu para mahasiswanya ditinggal pergi. Memang benar, mahasisa harus banyak belajar dan membaca lebih banyak buku, tidak hanya yang diberikan oleh dosen pada saat perkuliahan. Tetapi bukan berarti dosen hanya bertugas untuk menyampaikan materi, lalu pergi. Jika hanya membacakan materi, para mahasiswa pun bisa, tetapi yang penting adalah sang guru menurunkan ilmunya yang telah ia dapatkan selama ia belajar dahulu, kepada para muridnya tersebut. lalu ke mana nilai-nilai pendidikan kita, jika yang disampaikan hanya sebatas materi? Pendidikan bukan hanya masalah materi, tetapi ia melingkupi cakupan nilai-nilai moral dan membangun emosi.
Inilah sebenarnya permasalahan bangsa kita. Jika kita tidak peduli dengan pendidikan ini, bangsa ini tak akan berubah meski lima puluh tahun lagi. Ini semua tanggung jawab kita. Karena dengan pendidikan inilah, wajah bangsa ini akan berubah. Wajah memalukan dari kampus–kampus yang suka bentrok, mahasiswa yang gemar tawuran, ini hanya akan terhapus oleh pendidikan itu sendiri, yang dimulai dari para pendidiknya.
Seharusnya yang kita kagetkan saat ada liputan televisi yang memberitakan ada kerusuhan antara mahasiswa dan aparat kepolisian di Sulawesi, bukanlah banyaknya bangunan yang hancur dilempari batu, atau berapa jumlahnya korban yang terluka dari pihak keamanan maupun dari mahasiswanya, tetapi seharusnya yang kita prihatinkan adalah mengapa mereka mahasiswa yang sejatinya generasi penerus bangsa, sebagai agen pemuda pembawa perubahan, yang setiap hari mendapatkan pengajaran, justru bertindak perilaku seperti para preman yang tidak pernah mendapatkan pendidikan.
Sepertinya jika hal-hal yang seperti ini tidak pernah kita pedulikan, akan percuma segala gelar dan pembangunan yang telah dilakukan. Gelar guru besar, jika tidak memberikan solusi bagi bangsa, ia tak memiliki nilai lebih dari sekadar sarjana strata satu. Bahkan prestasi top ten university, jika lulusan kita hanya menghasilkan pengangguran, prestasi itu kegunaannya patut kita pertanyakan, apakah sekadar slogan promosi, atau memang sebuah cita-cita tinggi utuk membangun bangsa.
Sudah saatnya kita berpikir dan berubah orientasi, tak hanya sekadar membangun materi, tetapi juga kita harus sadar untuk memperhatikan kualitas demi bangkitnya bangsa kita ini. Semua itu kita semualah yang menentukan, berniat tulus sepenuh hati, bukan sekadar membangun, mendapatkan prestasi dan keuntungan bagi diri sendiri.

Opini Lampung Post 12 Maret 2010