11 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Kejujuran dalam Kemelut Moral

Kejujuran dalam Kemelut Moral

MENURUT Thomas Mann, ”kebenaran yang mengancam lebih baik ketimbang dusta yang bermanfaat”, dan, sebuah peribahasa Ashanti menyebutkan, ”satu kepalsuan merusak seribu kebenaran”.
Dengan dua kutipan itu kita termangu menyaksikan kasus Bank Century masih gonjang-ganjing: Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani menjadi hitam dan putih.

Hitam, sebab dilawan-disalahkan-dihujat kubu kontra dengan 1.001 argumen. Putih, sebab dibela-dibenarkan-dipuja kubu pro dengan deret panjang kilah. Ini tak jelas kapan berakhir. Kita tak akan pernah bisa tahu apakah dua petinggi tersebut benar atau salah, mulia atau culas. Yang tahu hanya makhluk-makhluk halus.


Saya tidak melucu. Masalahnya, deret panjang gonjang-ganjing menyangkut dua petinggi itu sejatinya hanya bermuara pada satu kata sederhana: kejujuran! Kata sederhana ini ternyata sukar terwujud sebab peradaban kita barangkali sedang terjerumus ke dalam zaman edan yang meniscayakan kemelut moral.

Dalam kemelut moral, kejujuran yang mestinya sederhana menjadi amat rumit. Karena itu, perkara kejujuran ini harus dicecar terus-menerus menjadi agenda utama. Segala ikutan langsung dan tidak langsung menyangkut sang kasus, apalagi dengan mengusung ini itu muluk-muluk dari segala sudut, sejatinya tetek bengek belaka. Jika ini sengaja dibiarkan berlarut, menandai para elite kita masih bulan-madu dengan kemelut moral: sengaja mengaburkan dan menjauhkan agenda utama, perkara kejujujuran, menjadi perkara ”dan lain-lain”.

Namun, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya situasi yang memprihatinkan itu. Sebab, kemelut moral hari-hari ini di Tanah Air adalah bagian langsung dan akibat logis dari kegagalan mengisi-mengolah-memaknai hakikat ”RI merdeka lagi” pada 21 Mei 1998 yang telah mengorbankan begitu banyak permata bangsa. Dengan apa pengorbanan itu bisa ditebus, selain mengemudikan bahtera ”Menjadi Indonesia” menuju tujuan-tujuannya yang tepat’’.

Membudaya

Artinya, kasus Bank Century yang gilirannya menyibak kemelut moral ini, bisa dipetakan lebih menyeluruh sebagai bagian kemelut banyak kasus berkabut, tidak sedikit yang nilainya jauh lebih besar dari sudut dolar, yang memustahilkan kejujuran. Kemustahilan kejujuran itu dianggap ”biasa membudaya” menurut ”ajaran” pemerintahan lama yang digulingkan sekitar 12 tahun lalu. Sial bagi kita semua, dalam banyak kasus, ”ajaran” tersebut justru masih dipraktikkan nyaris di mana-mana di seluruh Indonesia. Juga dalam kasus inikah?

Mohon jangan putus asa! Sebab di tengah kemelut moral kita harus yakin, masih tetap akan tersedia akal budi yang jernih di antara 230 juta penduduk Indonesia. Dengan akal budi itu kita tetap bisa merumuskan kejujuran, paling tidak, sebagai permasalahan. Banyak butirnya. Terpenting, tujuh.

Pertama, sebuah pernyataan yang benar tetap tidak jujur jika maksudnya untuk menipu. Dusta dapat diungkapkan secara jujur jika pihak terkait yakin dusta itu kebenaran untuk menolak bukti. Nilai dua rumusan ini sama: tidak jujur. Kedua, kejujuran menjadi rumit sebab moral yang mendasarinya tidak ada, atau dikacau dasar-dasar moral oportunistik yang artifisial. Padahal kejujuran amat sederhana. Ia tidak memerlukan apapun selain kejujuran itu sendiri.

Ketiga, dominasi kemelut moral ditandai dengan hiruk pikuk banyak versi dan sudut pandang yang tidak terselesaikan, atau sengaja dihentikan, saat dihadapkan pada soal kejujuran. Hiruk-pikuk tersebut selalu mempersulit materi-materi yang sejatinya gampang, dan sekaligus, menganggap enteng kajian-kajian yang sejatinya sulit.

Keempat, meski dalam moral normatif sulit ditemukan acuan universal yang eksplisit menentukan kejujuran, akal budi tetap bisa membedakan kejujuran sejati dari kejujuran artifisial atau bikinan. Moral bikinan ini banyak wujudnya. Tapi garis besarnya sama ialah memanipulasi kejujuran dengan berbuat seolah-olah jujur demi kepentingan diri dengan mengatasnamakan apa saja.

Kelima, arus besar kejujuran berdasar moral artifisial yang paling dikenal umum ada dua. Yang pertama, terus terang. Yang kedua, remang-remang dalam dusta-dusta putih. Termasuk arus pertama, misalnya adalah moral hedonisme yang mengatakan ”saya mau jujur asal saya tambah oke” dan moral nihilisme yang menolak objektivitas moral.

Keenam, termasuk arus kedua, kejujuran berdasar moral bikinan dan bersifat remang-remang adalah moral ideologis atau mekanisme defensif. Kejujuran moral ideologis mekanisme defensif umumnya terjadi dalam membela dogma religi dan tabu-tabu tradisi. Dalam pelaksanaan, tingkat keremangan menjadi vulgar. Kaum jujur sejati mungkin justru akan terkucil sebagai oknum bidaah, pengkhianat desa, atau orang liar.

Ketujuh, masih termasuk arus kedua namun dengan tingkat keremangan lebih sophisticated adalah relativisme moral. Di sini jujur dan culas sejatinya sudah dipersepsi sama secara umum, namun ada sebagian orang yang untuk kasus-kasus tertentu menganggap berbohong lebih baik katimbang jujur.

Logikanya: sebab dusta tersebut bukan untuk kepentingan pribadi tapi untuk menolong pihak lain. Ini bisa demi individu, misalnya menjaga nama baik. Atau demi umum, misalnya mencegah kepanikan meluas.
Dan, sampai kini, sejauh menyangkut perkara kejujuran, kita tidak tahu mekanisme macam apa yang sedang berlangsung dalam kasus Bank Century. Begitu banyak model kejujuran yang bisa direkayasa. Bisakah berproses sehingga terungkap kebenaran dengan model kejujuran yang sejati?

Bisa! Jika itu memang dikehendaki, mari kembali ke taman kanak-kanak. Kita kenang dongeng-dongeng ibu atau bapak guru taman kanak-kanak kita. O...betapa ringan akal budi polos kita menampung pesan-pesan dongeng. Baik-buruk dan benar-salah langsung terbuka. Kejujuran tak membutuhkan kilah banyak. Kejujuran tak membutuhkan rekayasa. Terjadi begitu saja. (10)

— L Mutbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban, tinggal di Banyubiru, Kabupaten Semarang 

Wacana Suara Merdeka 12 Maret 2010