Upaya mengeksplorasi berbagai bentuk bahan bakar alternatif terbarukan (renewable) untuk mengantisipasi krisis energi adalah suatu langkah yang patut segera dilakukan. Krisis global ini merupakan konsekuensi permintaan bahan bakar fosil (minyak) tak terbarukan (non-renewable) yang semakin meningkat (diperkirakan ada tambahan permintaan hingga 40% hingga 2025 http://www.netl.doe.gov), sedangkan di lain pihak, produksi bahan bakar tersebut akan menurun setelah mencapai puncaknya sekitar tahun 2010 (prediksi Petroconsultants dalam artikel Bentley, 2002: Global Oil and Gas Depletion An Overview).
Selain masalah krisis energi ini, upaya pencarian energi alternatif juga penting jikalau ditinjau melalui perspektif suatu kelompok masyarakat yang menganggap bahwa emisi bahan bakar fosil adalah pencemar atmosfer dan pemicu perubahan iklim global isu yang melatarbelakangi krisis iklim ini masih akan dibahas lagi pada konferensi internasional iklim keempat: Science vs Alarmism pada Mei 2010 di Chicago. Nampaknya, suatu kegiatan untuk menemukan bahan bakar terbarukan yang sekaligus ramah lingkungan sesuai dengan pepatah: sekali merengkuh dayung, dua, tiga pulau terlampaui.
Beberapa energi alternatif terbarukan yang dikenal selama ini seperti: matahari, angin, gelombang, arus, dan pasang surut terkendala oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: kondisi alam, musim, dan lamanya paparan dalam sehari. Namun, seperangkat faktor itu rupanya bukan merupakan kendala bagi bahan bakar fosil sehingga ia mampu mendominasi 81% energi primer dunia dan ia juga berkontribusi pada 66% pembangkitan listrik global (Gonzalez dkk., 2008). Dengan menggunakan bahan baku biologis terbarukan sebagai pengganti fosil, muncullah istilah bahan bakar biologi/hayati (biofuel).
Berkah biofuel
Embargo minyak negara-negara OPEC kepada AS pada 1974 rupanya mendatangkan berkah (blessing in disguise) dengan lahirnya suatu bentuk energi alternatif yang dikenal sebagai biofuel generasi pertama. Ia disebut generasi pertama karena bahan bakunya terbuat dari tanaman pangan (food crop). Biofuel generasi ini tergolong ke dalam dua jenis, yakni: bioetanol dan biodiesel. Bioetanol yang berkontribusi pada 94% dari total produksi biofuel dunia dihasilkan dari tanaman pangan yang kaya akan sukrosa, amilum, dan selulosa. Menurut laporan dari Competence Platform on Energy Crop and Agro-Forestry Systems for Arid and semi-Arid Ecosystems, Africa (Winrock International, 2009), untuk memproduksi 1 ton etanol diperlukan bahan baku 3,2 ton jagung atau 9,4 ton tebu. Pada 2005 saja, misalnya, jagung AS dan tebu Brasil telah mampu menghasilkan 44,5% dan 45,2% dari total bioetanol dunia (Runge dan Senauer, 2007: How Biofuels Could Starve the Poor). Jika ditinjau dari aspek keramahan lingkungan, bioetanol yang terbuat dari jagung ternyata mampu mengurangi emisi karbon dioksida hingga 80%, sedangkan bioetanol berbahan baku jagung hanya bisa mengurangi emisi karbon dioksida antara 20$-40% (Mol, 2007: Boundless biofuels? Between Environmental Sustainability and Vulnerability).
Hampir serupa dengan bioetanol generasi pertama, produksi bahan baku biodiesel ini pun didominasi biji-bijian tanaman pangan yang mengandung minyak (oilseeds) sebanyak 80% dan sisanya sebanyak 20% berbahan baku lemak hewan (Johnston dan Holloway, 2006: A Global Comparison of National Biodiesel Production Potentials). Urutan produksinya adalah kedelai (28%), sawit (22%), lemak hewan (20%), kelapa (11%) dan biji-bijian lain seperti bunga matahari dan zaitun (5%). Lemak hewan yang dimaksud diperoleh dari sapi (tallow) dan babi (lard) seperti pada artikel: Animal Fats Perform Well in Biodiesel yang ditulis Hilber dkk, 2006. Ada hal menarik yang patut dicatat dari publikasi Johnston dan Holloway ini. Meskipun negara kita menempati urutan kedua di bawah Malaysia dari lima penghasil utama yang berkontribusi pada 80% produksi biodiesel dunia dan dengan ongkos produksi termurah, kita gagal masuk posisi 5 teratas negara-negara yang memperoleh keuntungan potensial investasi atas berkah yang melimpah ini karena rapor kita masih merah pada tingginya: persepsi korupsi, utang luar negeri, dan travel warning yang dikeluarkan CIA (Central Intelligence Agency). Kita masih perlu banyak kiat untuk meraih sukses dari urutan pertama (Malaysia) dan urutan kedua (Thailand). Selain potensinya sebagai solusi krisis energi, biodiesel ini ternyata mampu mengurangi emisi karbon dioksida meskipun dengan kuantitas yang lebih rendah daripada bioetanol. Biodiesel yang terbuat dari kedelai, misalnya, mampu mengurangi emisi ini hingga 41% (Hill dkk, 2006: Environmental Economic and Energetic Costs and Benefits of Biodiesel and Ethanol Biofuels).
Tantangan ke depan
Namun, selain sisi berkah yang dimiliki biofuel, terdapat pula sisi lain yang mengancam manusia akibat penggunaan tanaman pangan sebagai bahan baku biofuel generasi pertama ini. Dengan meningkatnya kebutuhan energi, akan meningkat pula permintaan pasokan bahan baku. Hal itu berarti kebutuhan akan areal penanaman menjadi bertambah besar yang berimplikasi pada keharusan pembukaan lahan-lahan baru. Itulah dampak serius dari mitos biofuel yang dikhawatirkan (Gimenez, 2007: Biofuels–Myths of the Agro-Fuels Transition). Beberapa kekhawatiran itu di antaranya adalah: (i) emisi gas karbon dioksida semakin bertambah karena konversi lahan via penebangan hutan dan emisi gas nitrogen oksida akibat peningkatan penggunaan pupuk untuk tanaman biofuel; (ii) harga pangan semakin meningkat akibat adanya kompetisi antara pangan dan biofuel (dikenal dengan istilah food or fuel) dalam memperebutkan tanah dan sumber daya alam misalnya air. Mahalnya harga pangan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup orang miskin di dunia yang jumlahnya pada 2025 diprediksi mencapai 1,2 miliar.
Manusia lalu berusaha untuk merespons kedua kekhawatiran tersebut. Upaya yang dilakukan sejak 80-an itu akhirnya menuai sukses dengan ditemukannya biofuel generasi kedua. Bahan baku generasi ini tidak lagi menggunakan tanaman pangan, tapi memanfaatkan selulosa rumput-rumputan yang akan dikonversi menjadi etanol melalui proses fermentasi. Salah satu jenis rerumputan yang dimaksud adalah ilalang raksasa (Miscanthus) yang memiliki nama lokal: katoba (Makassar), lolo (Tidore) dan id (Tidore). Tumbuhan ini disebut pula tanaman karbon netral karena emisinya sama dengan jumlah karbon dioksida untuk proses fotosintesa yang diserap selama pertumbuhannya. Tidak hanya itu, rerumputan ini juga ternyata irit dalam penggunaan air. Hasil kajian kolaborasi antara laboratorium Sandia dan General Motor menyebutkan bahwa biofuel selulosa ini mampu menggantikan lebih dari 1/3 penggunaan bahan bakar minyak domestik di AS pada 2030 (http://www.sciencedaily.com/releases/2009/02/090210133920.htm). Kontribusi bioenergi itu akan lebih berarti lagi setelah para ilmuwan dari Univeritas Cambridge berhasil mengidentifikasi tiga jenis enzim untuk mengatur tinggi/rendahnya produksi gula hasil fermentasi yang disebut glucomannan tanaman Arabidopsis (http://www.sciencedaily.com/releases/2010/01/100125094641.htm). Upaya manusia tampaknya akan terus dilakukan hingga mereka berhasil menemukan sumber energi nonpangan dan limbah padat (Shi dkk, 2009: The Biofuel Potential of Municipal Solid-Waste) yang berkelanjutan dan eco-friendly.
Oleh Dr Halmar Halide, Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar
Opini Media Indonesia 11 Maret 2010
11 Maret 2010
» Home »
Media Indonesia » Berkah Biofuel dan Tantangannya
Berkah Biofuel dan Tantangannya
Thank You!