Oleh Dodiman
Pembahasan Raperda Minuman Beralkohol, tampaknya akan mendapat perhatian khusus. Hal ini dimungkinkan terutama setelah meninggalnya empat orang, seusai berpesta minuman keras selama tiga hari. Berita kematian penenggak miras sebetulnya sering kita dengar. Bahkan, peristiwa serupa yang menelan korban lebih banyak pun pernah terjadi. Hanya, berita ini menjadi istimewa tatkala terjadi di Kota Bandung, yang notabene DRRD-nya akan menggodok raperda tentang pengawasan dan pengendalian minuman keras dan retribusi izin tempat berjualan minuman keras.
Insiden tersebut cukup memberikan sederet fakta efek negatif miras ini. Secara rasional pun, fakta-fakta mendukung untuk melarang total peredaran minuman keras. Apalagi, jika ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Mengenai sikap pemimpin, ulama, dan masyarakat dalam masalah ini, tuntunan Islam sangat jelas. Halal-haramnya suatu benda (al-asyaa’) ditentukan oleh Alquran dan as-sunnah. Bila terdapat dalil yang mengharamkan, benda itu haram dan haram pula untuk menjual-belikannya. Tidak lagi diperhatikan aspek-aspek lain, seperti berupa pendapatan dari kemungkinan pajak yang didapat bila barang itu diproduksi atau dengan terbukanya kesempatan kerja.
Di antaranya firman Allah SWT , ”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.S. Al-Baqarah : 219). ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antaramu lantaran meminum khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah (salat). Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu” (Q.S. Al-Maidah : 90-91).
Pengharaman khamr adalah karena ”zat” yang dikandungnya, yakni alkohol, berapa pun kandungan alkoholnya. ”Minuman yang banyak (beralkohol) memabukkan, maka sedikit (mengandung alkohol) pun juga diharamkan” (H.R. Abu Dawud). ”Dalam soal khamr adalah sepuluh orang yang dikutuk: pembuatnya (’ashiruha), pengedarnya (mu’tashiruha), peminumnya (syaribuha), pembawanya (hamiluha), pengirimnya (al-mahmulatu illayhi), penuangnya (sakiiha), penjualnya (ba’i’uha), pemakan uang hasilnya (akilu tsamaniha), pembayar (al-musytari laha), pemesannya (al-musytari lahu)” (H.R Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Dampak
Dulu, sebelum ada penelitian medis tentang dampak buruk minuman keras, Rasulullah yang mulia telah menyebut ”khamr adalah induk dari segala kejahatan”. Bahkan, saking rusaknya akal sehat sang pemabuk, tindakan ala binatang dengan ringan akan ia lakukan.
Menurut Prof. Dadang Hawari (1996), pemakaian miras dapat menimbulkan gangguan mental organik. Yakni gangguan dalam fungsi berpikir, perasaan, dan perilaku. Penelitian membuktikan, kandungan alkohol pada miras dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan pada organ otak, liver, alat pencernaan, pankreas, otot, janin, metabolisme, dan risiko kanker.
Hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sesuai dengan realitas miras yang memang menjadi pemicu setiap tindak kejahatan. Sangat bisa dimengerti bila Allah tegas menyebutkan minum khamr adalah perbuatan setan yang akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia. Dengan logika sederhana bisa ditarik kesimpulan ringkas, pihak-pihak yang melegalkan produksi dan peredaran miras sama saja ingin menimbulkan ”permusuhan dan kebencian di antara manusia”.
Jangan ragu-ragu
Sudah demikian jelas hukumnya dan nyata pula akibat buruknya, mengapa miras masih merajalela? Di sinilah persoalannya. Umat Islam di negeri ini memang mayoritas, pejabat negaranya juga kebanyakan Muslim, bahkan pemilik dan karyawan pabrik miras boleh jadi juga kebanyakan Muslim. Akan tetapi, ternyata kemuslimannya itu hanyalah sebatas urusan individu. Ketika sampai pada urusan sosial, ekonomi, politik, dan urusan kemasyarakatan, kemuslimannya itu --sayang sekali-- belum tampak. Dengan demikian, muncullah bermacam permasalahan miras di tengah masyarakat yang kontradiktif. Di satu sisi geram terhadap meningkatnya kriminalitas, perkosaan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya, yang sebagian besar dipicu oleh miras, lalu miras yang dijual di pedagang kaki lima disita dan dilindas dengan mesin penggiling jalan, tetapi sisi lain pabrik minuman keras dibiarkan beroperasi.
Salah satu dalih yang acap dikemukakan adalah alasan tenaga kerja. Kalau pabrik minuman keras ditutup ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. Padahal, generasi penerus yang jadi korban jauh lebih banyak lagi, bisa puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan orang. Sumber daya manusia sebesar itu menjadi tumbal kepentingan segelintir orang. Keuntungan material yang diperoleh dan pendapatan dari retribusi miras pun, tidaklah seberapa dibandingkan dengan kerugian imaterial dan biaya sosial yang harus dipikul.
Belum lagi dihitung dosa yang akan ditanggung aparat pemerintah yang mengizinkan produsen, karyawannya, penjual, pengedar, pembeli, di akhirat kelak. Oleh karena itu, jangan sampai pemikiran kapitalistis yang menuhankan uang menutupi akal sehat para pejabat. Dengan demikian, menghilangkan rasa takut terhadap siksa akhirat. Ingat, uang sama sekali tidak bisa menolong apa-apa di akhirat. Maka, bagi para pejabat jangan ragu-ragu menyikat segala yang berbau maksiat agar tidak mendapat siksa yang berat di akhirat.***
Penulis, aktivis Hizbut Tahrir.
Opini PIkiran Rakyat 11 Maret 2010