Oleh SAEFUL MILLAH
Menyimak semakin banyaknya kejadian bencana alam seperti banjir dan longsor yang menimpa beberapa kawasan di Provinsi Jawa Barat belakangan ini, juga dengan tingkat kerugian serta korbannya yang kian memprihatinkan, saya diingatkan kembali oleh tesisnya ”Kelompok Roma” yang pernah diangkat sekitar 38 tahun yang lalu. Dalam bukunya ”The Limits to Growth” (1972), kelompok yang pernah membuat panas dingin dunia itu mengingatkan kita begini, ”Jika kecenderungan-kecenderungan seperti diperlihatkan masa lampau diteruskan, dunia akan melampaui batas-batas kemampuannya untuk berkembang dalam beberapa generasi lagi dan sesudah itu akan mengalami banyak bencana.”
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, pembangunan industri yang tidak terkendali, jumlah penduduk miskin yang terus meningkat, sumber daya alam yang kian terkuras serta lingkungan hidup yang kian terancam, adalah lima kecenderungan global saling terkait yang apabila gagal dikendalikan akan menimbulkan banyak bencana. Bukan saja bencana alam, tetapi juga bencana sosial dalam berbagai bentuknya.
Itulah pula lima kecenderungan yang sesungguhnya sedang berlangsung di provinsi paling banyak penduduknya ini, Jawa Barat. Dengan laju pertumbuhan penduduk relatif tinggi, jumlah manusia yang menghuni provinsi ini meningkat dari 39 juta pada 2005 menjadi sekitar 43 juta saat ini. Ini berarti dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, secara absolut penduduk Jawa Barat bertambah sekitar empat juta jiwa, atau sekitar 800.000 jiwa setiap tahunnya.
Celakanya, kecenderungan itu diperparah lagi persoalan kemiskinan yang dari dulu sampai sekarang begitu sulit diturunkan. Padahal, karena keterdesakan hidupnya, sebagian di antara mereka terpaksa harus merambah hutan, bukit, atau pegunungan sebagai satu-satunya pilihan. Bahkan, sebagian di antara mereka nekat memilih daerah rawan bencana, misalnya bantaran kali untuk dijadikan tempat tinggalnya. Itulah pula yang membuat kehidupan penduduk miskin pada umumnya begitu akrab dengan bencana.
Karena tingginya laju pertumbuhan penduduk pada satu sisi dan lemahnya pengendalian tata ruang pada sisi yang lain, pertumbuhan industri pun berlangsung menjadi tidak terkendali. Saking tidak terkendalinya, kadang kita sulit membedakan mana yang namanya pembangunan dan mana yang namanya pemerkosaan lingkungan, mana yang namanya peningkatan investasi dan mana yang disebut eksploitasi.
Di sini, kombinasi antara tingginya laju pertumbuhan penduduk, besarnya angka kemiskinan, lemahnya pengendalian tata ruang, termasuk lemahnya penegakan aturan, pertumbuhan industri yang tidak terkendali, semakin sempitnya lahan, hadir menyatu dalam dinamika sistem yang semakin mempercepat proses terjadinya degradasi lingkungan penyebab terjadinya banyak bencana.
Itulah pula kecenderungan yang menyebabkan proses pemerkosaan lingkungan di provinsi ini menjadi kian dahsyat. Kaidah yang berlaku di sini adalah: setiap kali batas-batas (sistem) fisik alam dilampaui, setiap kali itu pula batas-batas (sistem) sosialnya akan ikut terganggu. ”The Tragedy of Common”, itulah alegori terkenal yang pernah diciptakan biolog Garret Hardin (1968) yang pas digunakan untuk menggambarkan proses terjadinya banyak bencana di provinsi ini. Bukan semata karena prosesnya yang melibatkan banyak pelaku atau aktor, tetapi dampak yang ditimbulkannya pun betul-betul membuahkan malapetaka.
Ilustrasi itu sekadar untuk menegaskan, pendekatan integral (bukan parsial) solusi fundamental (bukan simptomatik) adalah kunci yang akan menentukan keberhasilan jangka panjang pengendalian bencana di Jawa Barat saat ini dan ke depan. Integral, berarti penanganannya harus betul-betul menyertakan kesadaran sekaligus keterlibatan aktif seluruh pihak yang selama ini dinilai memberi banyak sumbangan dalam proses penghancuran lingkungan, dan karenanya harus bertanggung jawab dalam proses pemulihannya. Fundamental, berarti proses penanganannya pun tidak cukup hanya dengan mengintervensi gejalanya yang muncul ke permukaan seperti yang cenderung dilakukan selama ini, melainkan mesti mampu mengintervensi faktor kunci yang menjadi akar permasalahannya. Ilustrasinya, apalah artinya ruas jalan ditambah jika pertambahan kendaraannya tidak dikendalikan sesuai dengan kapasitas jalan.
Di situlah pula arti pentingnya bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk lebih intens dan gencar lagi dalam upaya untuk mengendalikan jumlah penduduknya. Tidak saja melalui akselerasi penurunan angka kelahiran, tetapi juga melalui pengaturan arus migrasi yang dari dulu sampai sekarang belum jelas regulasinya.
Bayangkan, dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk 1,73 persen per tahun seperti saat ini, hampir bisa dipastikan waktu yang dibutuhkan untuk melipatduakan jumlah penduduk (doubling time) provinsi ini akan jatuh pada angka empat puluh tahun, bahkan mungkin bisa lebih singkat lagi. Artinya, jika jumlah penduduk Jawa Barat diperkirakan sudah mencapai 43 juta, dan dengan rata-rata kepadatan mencapai sekitar 1.220 jiwa/km2, hampir dipastikan pada 2050 akan jatuh pada angka yang sangat fantastis, 86 juta jiwa dengan tingkat kepadatan nyaris mencapai angka 2.500 jiwa per km2.
Dengan beban populasi sebesar itu, tidak mustahil hutan lindung yang tersisa, kelak berubah fungsi menjadi sumber bencana yang kian menakutkan. Dengan beban populasi sebesar itu pula, dampak lebih jauhnya, tidak mustahil jika sebagian kawasan Jabar yang saat ini sering jadi langganan banjir, kelak pada 2050 benar-benar bisa karam. Naudzubillahi mindzalik.***
Penulis, pemerhati masalah sosial dan kependudukan, tinggal di Cianjur.
Opini Pikiran Rakyat 12 Maret 2010