23 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » Negosiasi Harga Diri

Negosiasi Harga Diri

MENGAPA Pansus Century terkesan ''penuh perhitungan" untuk mengungkap beberapa nama yang harus bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan (bailout) Rp 6,7 triliun? Kenyataan ini bisa dilihat ketika beberapa anggota Tim Sembilan (para pemrakarsa pembentukan Pansus Century) harus sowan ke beberapa tokoh nasional dan ketua umum partai politik. Pisowanan yang dijalankan Tim Sembilan itu pasti bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi untuk meraih dukungan secara luas.

Sejumlah nama yang akan disebutkan dalam kesimpulan akhir Pansus Century memang menduduki jabatan politis yang tinggi, seperti Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Beberapa nama lain yang mungkin akan disebut adalah Raden Pardede, Aulia Pohan, dan Marsilam Simanjuntak. Mengungkap nama-nama tokoh penting dalam arus pusaran politik tingkat tinggi secara otomatis membawa risiko yang tidak kecil. Dalam ranah inilah persoalan budaya politik menggelegar sedemikian kuat.

Budaya politik bisa dipahami sebagai nilai-nilai dan berbagai orientasi norma yang dipakai para aktor politik dalam menjalankan langkah-langkah strategis. Kalau budaya politik itu tidak diperhatikan, risiko yang harus ditanggung anggota Pansus Century setidaknya akan mengakibatkan dua hal yang signifikan.

Pertama, mereka mendapat sorotan sebagai pihak yang melawan kekuasaan yang sedang berjalan. Artinya, para anggota Pansus Century yang berani mengungkapkan nama-nama tertentu bisa dipandang menentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara terbuka. Bukankah sosok seperti Boediono, Sri Mulyani, atau Aulia Pohan begitu dekat dengan SBY, baik dalam jalinan kekuasaan maupun hubungan kekerabatan?

Kedua, penyebutan nama-nama yang terlibat dalam skandal Bank Century belum tentu menarik simpati masyarakat kebanyakan. Bukan sanjungan atau pujian setinggi langit yang akan diterima Pansus Century, tapi hardikan, cemoohan, atau ancaman yang justru terlontar. Sebab, Pansus Century bisa dinilai tidak memenuhi dan bahkan melanggar kaidah kesopansantunan.

''Mencoreng Muka"

Untuk mengurai tarik-menarik kepentingan pengungkapan nama-nama yang dilakukan Pansus Century, kita bisa merujuk pada face negotiation theory yang dikemukakan Stella Ting-Toomey (diuraikan oleh Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Theories of Human Communication: Ninth Edition, 2008). Face negotiation theory secara harfiah berarti teori negosiasi muka atau wajah. Tapi, muka atau wajah dalam hal ini bermakna sebagai citra-diri seseorang dalam kehadirannya di antara pihak-pihak yang lain.

Mengungkapkan nama-nama yang terlibat dalam bailout mempunyai konsekuensi ''mencoreng muka" sejumlah figur yang sangat terhormat. Tindakan itu bisa disepadankan dengan mempermalukan pihak lain yang memiliki koneksi dengan kekuasaan. Akibat yang harus diterima ketika Pansus Century ''mencoreng muka" mereka yang berada dalam lingkaran dalam kekuasaan setara dengan merontokkan kewibawaan kekuasaan itu sendiri. Sehingga, dari sinilah sejumlah inisiator Pansus Century melakukan facework tertentu. Facework merupakan perilaku komunikasi yang dilakukan untuk membangun dan melindungi kehormatan diri sendiri atau menciptakan dan mengancam martabat pihak lain.

Ada dua macam facework dalam persoalan ini. Pertama, preventive facework yang melibatkan komunikasi yang dirancang untuk melindungi satu atau beberapa orang dari ancaman pihak lain. Realitas inilah yang sedang dijalankan baik oleh SBY serta pendukungnya maupun para anggota Pansus Century yang menentangnya. Lobi-lobi politik pun dikerahkan.

Kedua, restorative facework yang dirancang untuk mengembalikan martabat pihak-pihak yang telah disebutkan namanya terlibat dalam penggelontoran dana bailout. Langkah ini akan dilakukan setelah Pansus Century mengakhiri masa kerjanya.

Mungkin saja, langkah restoratif itu berupa kompromi (win-win solution), yakni semua pihak yang bertikai mendapat insentif politik yang memadai dan bagi-bagi kekuasaan dirancang lagi. Namun, tidak tertutup peluang langkah politik yang mengambil skema dominasi (win-lose solution), yaitu SBY serta loyalisnya menguasai pemerintahan dan para penentangnya disingkirkan.

Atau, hal yang lebih buruk ialah langkah politik destruksi (lose-lose solution), yang berarti SBY serta para loyalisnya dan pihak yang menentangnya sama-sama mengalami kehancuran.

Kehormatan Kolektif

Persoalan penyebutan nama yang akan dilakukan Pansus Century telah mencerminkan pokok persoalan bahwa kehormatan politik di negeri ini sebenarnya bersifat kolektif. Artinya, martabat yang disandang satu orang bertumpu kepada komunitas yang menaunginya. Bukan kepada problem koalisi politik semata, melainkan keterpaduan kelompok atau komunitas memang sangat kuat dalam kultur politik kita. Sehingga, ketika ada individu diserang kehormatannya, maka komunitas yang melingkupinya akan memberikan pembelaan.

Terkait dengan kehormatan kolektif adalah budaya politik kita mempunyai jarak kekuasaan yang tinggi (high power distance). Hal ini menunjukkan hierarki kekuasaan sengaja dipelihara, distribusi kekuasaan yang tidak sederajat dipandang sebagai kenormalan, dan mereka yang berstatus tinggi otomatis dihormati karena memiliki kewenangan dan pengaruh yang tinggi pula. Bukan kenyataan yang janggal jika tokoh-tokoh nasional dikunjungi Tim Sembilan karena selain untuk menggapai dukungan, perlindungan politik pun akan didapatkan.

Selain itu, ketika Pansus Century mengungkap nama-nama yang terlibat secara potensial melahirkan peristiwa ''menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri". Pada saat Pansus Century menyebut nama-nama tertentu, sangat mungkin serangan balik yang mengungkap kebobrokan anggota-anggota pansus juga akan terjadi. (*)

*) Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Opini Jawa Pos 24 Februari 2010