23 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Perdagangan Bebas dan Kawasan Ekonomi Khusus

Perdagangan Bebas dan Kawasan Ekonomi Khusus

BEBAS bukan hanya esensial bagi manusia, melainkan juga perdagangan--yang di Tanah Air saat ini menjadi isu hangat. Walaupun masalah keberlakuan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) tahun ini sudah banyak dibahas, PR masih menumpuk, terutama dalam menyiapkan renegosiasi perjanjian yang mendasari pembentukan daerah perdagangan bebas itu, yakni Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement Comprehensive Economic Cooperation antara negara-negara ASEAN dan Republik Rakyat China (RRC) itu. Selain berbagai aspek teknis, paling kurang ada dua aspek lain yang masih perlu dicermati, yaitu tentang perdagangan bebas sendiri dan peranan kawasan ekonomi khusus (KEK).

Tentang yang pertama, mengapa perlu konsep perdagangan bebas? Karena itu merupakan salah satu obat untuk menghidupkan kembali ekonomi dunia, setelah kehancuran akibat Perang Dunia II. Perdagangan bebas yang ditetapkan pada daerah tertentu, yakni free trade area (FTA) didasarkan atas pemikiran bahwa barang yang bisa secara efisien dan ekonomis diproduksi di negara A akan diekspor ke negara B. Sebaliknya, B juga akan melakukan hal yang sama untuk barang lain dan karena itu akan meraup pasar di A. Dalam hal demikian, tarif bea masuk harus dikurangi, kalau tidak dieliminasi.



Dalam kaitan dengan institusi perdagangan, yang kemudian dikenal dengan General Agreement on Tariffs and Trade yang lahir dari konferensi di Bretton Woods 1947 itu, negosiasi selanjutnya menghasilkan WTO 1994, yang praktis diikuti semua negara di dunia ini. Konsep perdagangan bebas menjurus ke integrasi ekonomi seperti North American FTA, atau Uni Eropa untuk merujuk beberapa contoh utama. Akan adakah semacam Asian Common Market? Masih jauh, seperti tulis The Economist, 6 Februari lalu: "Regional economic integration has a long, long way to go."

Yang jelas, Indonesia telah menandatangani perjanjian pembentukan ACFTA di atas sejak 2005 dan sebagai negara berdaulat dan bermartabat tidaklah mudah bagi kita untuk menarik diri lagi, walaupun kemungkinan itu selalu ada. Oleh karena itu, tepatlah sikap pemerintah, misalnya seperti diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu bahwa Indonesia tetap menghormati ACFTA. Perkara tak siap, itu bukan hanya masalah Indonesia. Dalam edisi sebelumnya majalah berwibawa itu menulis: "For all that, not everyone in South East Asia is happy. Many firms fear Chinese competition." (The Economist, 15 Jan, 2010). Maklumlah, RRC tambah meraksasa saja secara ekonomi.

Geo dan geo

Kedua, dalam kaitan dengan penguatan posisi kita menghadapi sistem perdagangan bebas, yang tampaknya belum banyak diungkapkan adalah pengembangan secara komprehensif konsep kawasan ekonomi khusus (KEK)--yang lahir dengan UU 39/2009 (UU KEK) itu. Sebab KEK, menurut UU itu, 'dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor... Yang memiliki... Daya saing internasional.' Semuanya demi 'mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu.. bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional."

KEK terdiri dari berbagai zona yang mengkhususkan diri untuk, antara lain: pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi. Dewasa ini memang sudah ada antara lain kawasan berikat (bonded zones), export processing zone, dan kawasan industri yang di dalamnya terdapat sarana usaha kecil serta bangunan pabrik standar seperti di Pulogadung, Jakarta, dan Rungkut, Surabaya. Yang terbesar adalah Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun (KPB BBK).

Karena KEK berkaitan dengan ruang, pembangunannya perlu memperhatikan kesesuaian dengan rencana tata ruang dan kawasan lindung setempat. Maklumlah, sekarang dunia sudah awas betul dengan perubahan iklim (climate change). Selain itu, KEK tentu saja mesti dekat dengan jalur perdagangan internasional serta gampang mendapatkan sumber daya sebagai bahan produksi.

KEK dibentuk atas usul badan usaha yang berminat, bisa juga oleh pemerintah daerah, ditujukan kepada otoritas KEK di pusat, disebut Dewan Nasional. Kalau disetujui, dewan itulah yang kemudian akan menyampaikan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden RI. Fase berikut adalah pembangunan dan pengoperasian KEK. Badan usaha tadi, jika usulnya diterima, akan melaksanakan pembangunan KEK. Paling lambat tiga tahun setelah terbentuk, KEK sudah harus beroperasi.

Dikira tanah murah

Kunci utama KEK adalah pada berbagai fasilitas dan kemudahan. Itu sejalan dengan UU Penanaman Modal 2007 (UU PM)-รข€“yang memang merupakan dasar pembentukan KEK. Sejauh kemudahan dalam hal pertanahan, kita belum lupa dengan putusan Mahkamah Konstitusi 2008, yang membatalkan sebagian Pasal 22 UU PM karena pasal itu memberikan masa hak pertanahan sekaligus bersama dengan masa perpanjangannya. Jadi sekarang masa hak tanah itu tetap berdasarkan UU Agraria 1960.

Jangan salah, kemudahan dalam hal pertanahan tidak berkaitan dengan harganya. Beberapa tahun lalu, pernah ada investigasi dari Departemen Perdagangan AS ke kawasan industri di Pulogadung karena menduga tanah yang dipergunakan para investor di situ dijual lebih murah daripada harga pasar di luar kawasan. Kalau begitu, pihak AS menyangka telah terjadi subsidi.

Di samping pertanahan, fasilitas lain yang amat lazim ialah antara lain perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak serta retribusi daerah, perizinan, keimigrasian, dan investasi. Dalam hal fiskal, UU itu menyatakan adanya fasilitas di bidang pajak penghasilan (PPh), juga tambahan fasilitas PPh sesuai dengan zona dalam KEK. Bagi investor dapat diberikan pengurangan PBB selama jangka waktu tertentu.

Namanya kawasan khusus, perlakuan impor pun juga mesti spesial. Penangguhan bea masuk pun ditawarkan, pembebasan cukai untuk bahan baku atau bahan penolong produksi, tidak dipungutnya PPN atau PPnBM untuk barang kena pajak, dan tidak dikutipnya PPh impor dan lain-lain skema fasilitas fiskal.

Dalam kaitan dengan pemerintah daerah, intinya juga sama, keringanan atas pajak daerah dan retribusi daerah. Selama ini urusan dengan pemerintah daerah banyak dikeluhkan investor. Oleh karena itu, keharmonisan hubungan dengan daerah ini pun masuk perjanjian pembentukan ACFTA itu.

Sudah kesohor

Kemudahan keimigrasian dijamin di KEK. Idem ditto dengan pengurusan perizinan usaha. Urusan yang satu itu memang ditekankan di KEK. Bukankah kritik investor asing pada aspek ini masih keras? Yang juga penting, khusus untuk investasi asing, di KEK tak berlaku apa yang selama ini dikenal sebagai Daftar Negatif Investasi BKPM--kecuali untuk bidang yang secara khusus dicadangkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Investor asing pun boleh mencatat ini: izin tenaga kerja asing untuk direksi dan komisaris cukup diberikan sekali saja. Di luar manajemen, tenaga kerja harus TKI--hal yang wajar saja. Namun, kalau mau seirama dengan ritme KEK, seyogianya karyawan di sini mesti yang berkualitaslah, biar ampuh 'bertanding'.

Tidaklah sukar menggambarkan KEK. Sebab sudah ada KPB BBK, meneruskan kiprah yang telah dimulainya sejak pra-UU KEK. Pantaslah, menghadapi ACFTA, Ismeth Abdullah, Ketua Dewan KPB BBK, berkomentar ringan: "Kita paling siap menghadapinya karena produksi kita 95% ekspor." (Antara, 30 Desember 2009).

KEK juga menyediakan sarana bagi UMKM. Lepas dari penzonaan, mungkin relevan pula usul Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Erwin Aksa, untuk membentuk gugus industri unggulan khusus.

Langsung ataupun tidak, konsep perdagangan bebas telah merangsang kebangkitan ekonomi regional--ditandai dengan pembangunan KEK di beberapa negara. Shenzhen, daerah RRC di utara Hong Kong, merupakan special economic zone (SEZ) yang sudah kesohor. Kamboja, Laos, dan Vietnam juga tidak ketinggalan mempersiapkan SEZ. Kehadiran KEK di Indonesia pun tidaklah lepas dari cakrawala demikian.

Oleh Achmad Zen Umar Purba Dosen FHUI; pernah berkiprah di satu kawasan industri

Opini Media Indonesia 24 Februari 2010