TUJUH LSM belum lama ini mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (M K), intinya menggugat kepada pemerintah agar UU Nomor 5/ PNPS/ 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama dihapuskan karena dianggap tak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama.
Gugatan mereka itu segera mendapat reaksi dari pimpinan ormas Islam besar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua PBNU Ahmad Bagdja menyatakan, penistaan agama akan makin marak jika MK mengabulkan gugatan mereka tentang pencabutan UU tersebut. Menurutnya, ‘’kebebasan berkeyakinan tidak bisa diartikan, setiap orang bisa bebas mendirikan agama baru’’. (SM, 9/2/2010 ).
Sejalan dengan pendapat Bagdja, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin menyatakan, jika UU tersebut dicabut akan terjadi anarki dalam kehidupan beragama. Menurut Din, UU tersebut tidak bertentangan dengan HAM atau kebebasan beragama sebab kebebasan beragama tidak berarti boleh mngobrak-abrik agama yang sudah ada. Bahkan kalau terjadi penodaan agama akan muncul reaksi keras dari pemeluk teguh agama yang bersangkutan.
Sedangkan menurut Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat KH Amidhan, gugatan pencabutan UU tersebut ada kaitannnya dengan tuntutan penganut Ahmadiyah untuk diakui keabsahan keberadaannya.
Dalam rangka menganalisis permasalahan tersebut, marilah kita menoleh ke belakang, mencermati pertumbuhan dan perkembangan agama-agama di Indonesia. Jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, 6 agama besar telah tumbuh dan berkembang di Tanah Air, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Maka ketika terbentuk kabinet I Pemerintah Republik Indonesia, di bawah Presiden Soekarno, ia merasa berkewajiban melindungi kehidupan keagamaan rakyatnya.
Sebagai penggali Pancasila, ia menyadari, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila-sila yang lain, dan juga menjiwai kehidupan negara. Kementerian Agama pun didirikan agar pemerintah dapat memberikan bimbingan, perlindungan, dan bantuan bagi kehidupan beragama.
Hidup Berdampingan
Keenam agama itu selama berabad-abad telah hidup berdampingan secara damai. Kebanyakan tempat-tempat ibadah tetap berdiri dengan aman, dan umat beragama pun umumnya dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan tenteram. Perselisihan antarumat beragama memang kadang terjadi tetapi dalam skala kecil. Perselisihan yang agak tajam adalah seperti terjadi dalam kasus Poso dan Ambon. Ini pun karena dipicu oleh anasir dari luar negeri.
Sebagai bangsa yang multikultural dan multireligius maka wajar kalau pemerintah harus menyiapkan berbagai peraturan yang dapat menjamin harmonisasi hubungan antarsuku, antarpemeluk agama, dan antarpemilik budaya.
Bagaimana sikap dan kebijakan pemerintah yang sebaiknya dalam memperlakukan umat pemeluk agama-agama tersebut, agar mereka dapat hidup rukun antarsesama bangsa, dapat mengembangkan agamanya, dan dapat melaksanakan ibadahnya dengan nyaman, aman, dan tenteram?
Ibaratnya pemerintah akan mengatur beraneka ragam kendaraan di jalan raya, bagaimana aturannya agar kendaraan itu semua dapat berjalan lancar, sampai pada tujuannya, dan tidak terjadi kemacetan serta tabrakan. Semua pengguna kendaraan tentu ingin mendapat kebebasan untuk menggunakan jalan raya agar mereka bisa sampai ke tempat tujuan.
Namun kebebasan itu bukan tidak ada batasnya, demi keselamatan bersama seluruh pengguna jalan. Di samping itu pemerintah juga berhak mengatur syarat-syarat kendaraan yang boleh melewati jalan raya. Demikian pula halnya dengan keanekaragaman umat beragama, negara menjamin kemerdekaan beragama, namun juga tetap ada batas-batasnya.
Semenjak pemerintah menerapkan sistem multipartai maka di Indonesia berdiri banyak partai. Ditinjau dari segi ideologinya, maka partai-partai tersebut dapat dikelompokkan sebagai partai nasionalis, partai agama, dan partai komunis, yang disingkat menjadi Nasakom. Di samping itu juga tumbuh dengan subur organisasi-organisasi sosial, kerohanian, kebatinan, dan perdukunan.
Semenjak tahun 1960-an, dalam masyarakat timbul hal-hal yang mengganggu ketentraman kehidupan beragama, yang berupa ucapan, tulisan, ataupun perilaku yang melecehkan, menghina, menodai, dan menyalahgunakan agama.
Misalnya ada aktivis ormas tertentu yang memperolok-olok agama Islam sebagai agama import dan agamanya orang Arab. Ada pula olok-olokan, ’’Jauhilah kaum sarungan’’. Ada koran yang suka menyiarkan istilah-istilah yang provokatif, seperti setan desa, setan kota, kaum kapitalis borjuis, tetapi arahnya ditujukan kepada orang-orang muslim kaya.
Ada pula kasus-kasus yang melecehkan Islam, seperti : menduduki kitab suci Alquran, masuk masjid masih tetap memakai sepatu, lakon ketoprak yang mendikreditkan ajaran Islam, dan sebagainya. Muncul pula banyak organisasi yang diberi nama dengan istilah-istilah agama atau istilah Islam, sehingga muncullah ’’agama-agama baru’’. Pemuka-pemuka ’’agama baru’’ itu ada yang menyalahgunakan kedudukannya, antara lain memungut uang dari anggotanya, melecehkan anggota-anggota perempuan, melakukan pengobatan yang jauh dari ukuran medis.
Memperhatikan kekacauan dalam masyarakat dan untuk melindungi kehidupan umat beragama serta menjaga kemurnian dan leluhuran nilai-nilai ajaran agama maka Presiden Soekarno, waktu itu, mengambil tindakan dengan mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, yang kemudian Penpres itu ditingkatkan menjadi Undang-Undang. Dalam penjelasan Penpres tersebut dinyatakan, ’’Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Cu (Confusius)’’.
Disebutkan pula, ’’Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan / kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/ perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran tersebut banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama.
Dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan / kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan / atau mempergunakan agama sebagai kedok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada’’.
Apa yang dikhawatirkan dalam penjelasan tersebut hingga kini masih ada, dan di masa mendatang mungkin lebih banyak lagi orang-orang yang mau mengarang ’’agama baru’’, dengan berbagai motivasi, karena sebagian masyarakat kita masih gampang dibodohi. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu muncul orang-orang yang mengaku sebagai Tuhan, Nabi terakhir, Jibril, Ratu Adil, dan sebagainya.
Di Sulawesi Barat, di daerah Polewali, Mandar, muncul seorang bernama Pua Immam, mengaku sebagai penjelmaan Nabi Khidir. Para pengikutnya dijanjikan masuk surga dengan syarat telah membayar Rp 4 juta. Di Cirebon muncul aliran Millah Ibrahim, yang mengajarkan pengajian sebagai ganti shalat jumat.
Sungguh kacau-balau jika tidak ada UU yang mengatur lalu lintas kehidupan beragama. Dengan banyaknya ’’agama baru’’, orang akan mengambil kesimpulan, agama hanya membawa kekacauan pada masyarakat.(10)
— Ibnu Djarir, Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 24 Februari 2010