Oleh Mahi M. Hikmat
Perselisihan antara Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pembentukan Panwas Pilkada ternyata belum usai. Kendati surat edaran bersama (SEB) yang menjadi satu-satunya harapan ”rujuk”-nya Bawaslu dan KPU dinyatakan berlaku kembali, puing-puing permasalahan pembentuk Panwaslukada masih berserakan.
Perselisihan berawal ketika Bawaslu berkomitmen untuk tidak mengabaikan Pasal 71 UU No. 22/2007 yang mengamanatkan, Panwaslukada di semua tingkatan dibentuk paling lambat satu bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan pemilukada dimulai. Esensi dari pasal ini memiliki harapan agar Panwaslukada di semua tingkatan dapat mengawasi setiap tahapan Pemilukada, termasuk tahapan pemutakhiran data pemilih. Belajar dari pengalaman Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, daftar pemilih tetap (DPT) menjadi persoalan pelik, di antaranya, karena keterlambatan pembentukan Panwaslu.
Untuk merealisasikan hal tersebut, Bawaslu mengeluarkan Peraturan No. 15/2009 yang substansinya menitikberatkan pada penetapan anggota panwas pileg dan pilpres untuk menjadi Panwaslukada 2010. Peraturan ini berangkat dari pemikiran untuk memberdayakan sumber daya manusia yang sudah terlatih dan berpengalaman dalam pengawasan serta menghemat keuangan negara, baik dari anggaran Bawaslu untuk uji kelayakan dan kepatutan maupun anggaran KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota melakukan seleksi administratif dan tes tulis.
Namun, dalam pandangan KPU, langkah Bawaslu tersebut dianggap menyalahi UU No. 22/2007. Dalam Pasal 94 ayat (2) tersurat bahwa seleksi calon anggota Panwaslu (pileg, pilpres, pemilukada) harus melalui KPU sesuai tingkatannya. Calon anggota Panwaslu provinsi dan/atau kabupaten/kota untuk Pemilukada diusulkan oleh KPU provinsi dan kabupaten/kota kepada Bawaslu sebanyak enam orang untuk selanjutnya dipilih tiga orang sebagai anggota Panwaslukada setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Perselisihan ini pun berlanjut sampai ke Mahkamah Agung. Namun, fatwa Mahkamah Agung pun ternyata mencengangkan. Substansi pokok dari Fatwa MA No. 142/KMA/XI/2009 tanggal 23 November 2009 adalah agar penyelenggara pemilu merujuk pada pada Pasal 236A UU No. 12/2008, yaitu dalam hal penyelenggaraan pemilukada berlangsung sebelum terbentuknya pengawas oleh Bawaslu, DPRD berwenang membentuk Panwaslukada. Fatwa MA tersebut ternyata mengabaikan wewenang KPU provisi dan/atau kabupaten/kota serta Bawaslu sebagaimana isi UU No. 22/2007, sehingga lahirlah SEB. Substansi SEB bahwa Bawaslu dapat menetapkan panwas pileg dan pilpres menjadi Panwaslukada yang berakhir masa jabatannya Agustus 2010.
Berdasarkan fakta yuridis, perselisihan antara Bawaslu dan KPU ini berangkat dari tumpang tindihnya aturan kepemiluan di republik ini. Khususnya mengenai pemilukada, telah ada UU No. 32 Tahun 2004 yang menjadi rujukan pelaksanaan pemilukada 2005-2008, kendati pada 2008 undang-undang ini pun diubah dengan lahirnya UU No. 12/2008. Pada sisi lain, lahir juga UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang di dalamnya mengatur pembentukan penyelenggara pemilukada, termasuk kedudukan KPU daerah, dan Panwaslukada. Padahal, baik dalam UU No. 32/2004 maupun UU No. 12/2008, kedua istitusi tersebut pun diatur. Oleh karena itu, pada akhir 2009, KPU dan Bawaslu sempat bingung untuk mencari landasan penyelenggaraan Pemilukada 2010. Komisi II DPR RI pernah berjanji untuk melakukan perbaikan terhadap peraturan penyelenggaraan Pemilukada tersebut, tetapi ibarat menunggu godot, hingga memasuki tahapan Pemilukada di beberapa provinsi dan/atau kabupaten/kota, belum juga direalisasikan.
Secara faktual, Pemilukada 2010 sulit untuk ditunda. Bahkan, beberapa kali DPR, Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu berkomitmen untuk tidak menunda pelaksanaan Pemilukada 2010. Namun, sisi lain aturan yang melandasi pelaksanaannya pun tumpang tindih, seperti dalam pembentukan Panwaslukada yang hingga kini menjadi bagian perselisihan antara Bawaslu dan KPU.
Dalam konteks logika politik, baik mengacu pada UU No. 32/2004 dan/atau UU No. 12/2008 maupun UU No. 22/2007, pembentukan Panwaslukada tidak dapat diterima.
Substansi aturan pertama menekankan bahwa Panwas Pemilukada dibentuk oleh DPRD. Aturan ini tidak memberikan kesempatan yang banyak kepada anggota Panwas Pemilukada untuk bertindak independen. Bagaimanapun harus disadari, kendati calon perorangan dibolehkan, di semua pemilukada yang mendominasi pencalonan adalah parpol atau gabungan parpol, sedangkan parpol adalah induknya para anggota DPRD. Oleh karena itu, ketika panwas pemilukada dibentuk oleh DPRD yang mencuat adalah kepentingan politik; bukan kepentingan independen panwas sebagai lembaga yang harus mandiri, jujur, adil, objektif, dan tidak memihak. Bahkan, berdasarkan pengalaman pemilukada yang langsung, tim kampanye (tim sukses) calon kepala daerah kebanyakan anggota DPRD, sehingga secara psikologis panwas pemilukada akan terjerat pada keraguan bertindak karena yang harus ditindak adalah pihak yang mengangkat mereka.
Substansi aturan kedua menyuratkan bahwa pembentutan panwas harus melalui seleksi administratif dan tes tertulis KPU (D). Padahal, dalam aturan yang sama, Panwas Pemilukada pun diberikan kesewenangan untuk mengawasi kinerja KPU (D), bahkan memberikan rekomendasi untuk ”mencopot” anggota KPU daerah yang bermasalah, termasuk memidanakannya ketika melanggar aturan pidana pemilukada. Kewenangan baru panwaslu ini memang efektif, buktinya pada pileg dan pilpres 2009 banyak anggota KPU (D) yang dipidanakan atau direkomendasikan untuk diganti, seperti di Jawa Barat, dua anggota KPU kabupaten/kota diganti atas rekomendasi Panwaslu Jabar. Kendati begitu, proses tersebut mengalami kendala psikologis akibat Panwas diseleksi oleh KPU. Dalam konteks lain, dengan rekrutmen Panwas Pemilukada melalui KPU, sangat dimungkinkan para anggotanya tidak independen lagi.
Padahal di balik itu, rakyat menuntut panwas menjadi sosok lembaga yang ideal, tidak sekadar menjadi hakim garis, tetapi harus menjadi wasit yang dapat memberikan kartu kuning, bahkan kartu merah. Namun, harapan tinggal harapan, aturan memang menghendaki hal tersebut.
Oleh karena itu, jika kita memang menginginkan pileg, pilpres, dan pemilukada dapat memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sosok panwas harus direformasi menjadi lembaga yang betul-betul independen dan memiliki kewenangan yang cukup sebagai lembaga pengawas yang ideal. Jika kita masih memberikan kewenangan setengah-setengah dan menyudutkan panwas pada posisi psikologis yang serba rikuh, jangan berharap asas pemilu akan terpenuhi. Bahkan, pilihan terakhir yang sangat mungkin adalah mempertahankan panwaslu sembari memberikan kewenangan yang ideal atau sekalian meniadakannya dalam sejarah pemilu kita.***
Penulis, Ketua Jaringan Masyarakat Demokrasi Jabar, dosen UIN Sunan Gunung Djati, Unpas, dan Unikom Bandung serta Pegiat Diskusi Masika ICMI.
Opini Pikiran Rakyat 24 Februari 2010