23 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menimbang Ulang Pemilihan Gubernur

Menimbang Ulang Pemilihan Gubernur

Oleh H. Danny Setiawan

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dilaksanakan secara langsung di hampir semua provinsi di Indonesia, mulai dipertimbangkan ulang. Sejumlah pihak mulai mengkritisi titik-titik lemah dari proses demokrasi itu, meskipun di sana-sini diakui memiliki sisi-sisi positif. Selain persoalan peraturan perundang-undangan, kehendak mempertimbangkan kembali proses itu juga diilhami ketidakpuasan sebagian pihak atas kepemimpinan yang dihasilkan melalui proses politik yang dari sisi pengalaman berdemokrasi masih relatif baru.

Beberapa alasan mengapa sistem pemilihan seperti itu mulai dipertimbangkan, antara lain, karena (1) gubernur adalah kepala daerah, dan (2) pada saat yang sama, gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dua peran yang memiliki konsekuensi tanggung jawab yang berbeda inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur mulai dipertanyakan.



Alasan lain yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan format otonomi daerah. Kebijakan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesungguhnya berpusat pada level pemerintahan kabupaten/kota. Bila dibandingkan dengan pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota berada pada level yang lebih langsung bersentuhan dengan masyarakat serta sistem pengelolaan sumber-sumber daya lokal yang tersedia. Bahkan, jika otonomi itu terjadi di tingkat provinsi, secara simplistik dapat saja mengarah pada proses federalisasi yang secara ideopolitis dipandang bertentangan dengan konstitusi. Setidaknya inilah, antara lain, poin penting yang dapat saya tangkap dari rencana revisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sudah dibuat Mendagri.

Rencana revisi UU sejatinya didasarkan pada pertimbangan kepentingan rakyat. Mekanisme pemilihan kepala daerah difokuskan pada upaya memperoleh seorang pemimpin yang dipandang sanggup mengamankan cita-cita negara untuk menciptakan kesejahteraan. Bukan pemimpin yang lebih banyak terikat pada komitmen-komitmen kelompok, baik karena latar belakang partai pengusung ataupun karena alasan popularitas seperti yang banyak mendominasi wacana pemilihan kepada daerah.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali menciptakan mekanisme pemilihan yang dapat menjamin lahirnya seorang pemimpin yang mampu mengamankan cita-cita dimaksud. Ia adalah sosok yang memahami denyut jantung kehidupan masyarakat, sekaligus memiliki independensi rasional khususnya dalam setiap proses pengambilan keputusan dan menjalankan roda pemerintahan. Bukan semata-mata mengedepankan aspek-aspek elementer sebagai pemanis yang lebih bersifat sementara, tetapi sosok yang memiliki integritas pribadi serta wawasan daerah yang memadai.

Selain itu, secara khusus, agar sanggup memerankan fungsinya sebagai kepala daerah, seorang gubernur dan wakil gubernur harus memiliki kompetensi individual yang memadai untuk memahami daerah yang dipimpinnya. Tidak berlebihan jika seorang calon gubernur disyaratkan seorang putra daerah. Seorang kepala daerah bukan saja harus memiliki bobot intelektualitas yang tinggi ataupun tingkat kesalehan individual yang bisa dipertanggungjawabkan, tetapi juga memahami potensi dan masalah yang berkembang, serta mampu melakukan proses pembangunan sesuai dengan kebutuhan riil serta pertimbangan relevansinya dengan latar belakang budaya masyarakat. Apa yang menjadi prioritas pembangunannya adalah apa yang menjadi tuntutan kenyataan masyarakat di daerah itu.

Benar bahwa sosok saleh dan bersih secara individual itu harus menjadi kriteria utama yang melekat pada seorang calon gubernur dan wakil gubernur. Akan tetapi, kesalehan sosial yang tercermin pada keunggulan kompetensi dalam mengelola daerah serta pengalaman yang memadai dalam melaksanakan pembangunan juga tetap penting dimiliki seorang kepala daerah. Janji-janji politik yang hanya mempertimbangkan daya tarik di mata publik pada akhirnya akan menuai masalah ketika dirumuskan ke dalam program nyata karena memang kurang realistis dengan kenyataan potensi dan masalah yang dihadapi. Semuanya mensyaratkan kearifan sosial yang tidak akan terjamin hanya dengan mengandalkan kesalehan dan popularitas individual.

Seorang calon Gubernur Jawa Barat, misalnya, harus memiliki wawasan dan kompetensi yang memadai tentang pertanian. Sebab, sektor pertanian merupakan potensi terbesar provinsi yang berpenduduk lebih dari 40 juta jiwa ini. Sesuai potensi seperti itu, pembangunan sektor pertanian seharusnya menempati prioritas utama, baik menyangkut pengelolaan lahan, penyediaan fasilitas, pengembangan relasi dan strategi, maupun menyangkut pembinaan sumber daya manusianya.

Selain sektor pertanian, seperti pernah dicanangkan sejak 2006, Jawa Barat juga memiliki potensi perikanan/kelautan dan kehutanan yang sangat besar. Ini tidak bisa diabaikan dari perhatian pemerintah sebagai pengemban amanah. Melalui upaya optimalisasi sektor-sektor tadi, cita-cita menyejahterakan masyarakat dapat menjadi kenyataan dan bukan sekadar janji-janji yang sulit direalisasikan. Melalui pengembangan sektor-sektor itu pula agenda menyediakan lapangan kerja yang sering menjadi janji pemanis para calon, tidak sulit untuk diwujudkan. 

Pertanyaannya kemudian, dapatkah proses demokrasi menjamin terseleksinya sosok pemimpin yang diharapkan? Teori-teori politik dan pengalaman empirik di berbagai negara di dunia akan mengatakan ”ya”. Akan tetapi, persoalannya, demokrasi itu tidak berdiri sendiri. Ia membutuhkan perangkat pendukung lainnya, baik menyangkut mekanisme maupun kesiapan sumber daya manusia yang menjadi partisipan utamanya. Demokrasi akan memberikan jaminan hasil jika setiap individu yang terlibat dalam proses itu telah memiliki pengetahuan dan kesadaran politik yang memadai.

Jika inti persoalannya adalah output proses politik untuk menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas, selain sistem, faktor partisipan juga penting diperhitungkan. Artinya, dalam mewujudkan demokrasi, keterlibatan kuantitatif pemilih seperti menjadi ukuran keberhasilan pemilu selama ini bukanlah satu-satunya faktor penjamin lahirnya sosok pemimpin ideal yang diharapkan. Hal ini pula yang menjadi faktor penyebab adanya kesenjangan antara ”yang terpilih” dan ”yang berkualitas”.

Proses demokrasi sejatinya menjamin calon yang terpilih adalah figur yang berkualitas. Akan tetapi, jika kenyataan menunjukkan tidak selamanya figur yang terpilih itu otomatis merupakan calon yang paling berkualitas, dapat diduga ada masalah dalam pelaksanaan demokrasi. Inilah, saya kira, titik persoalan mengapa pada beberapa waktu terakhir ini sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung mulai dipertimbangkan ulang.

Ada beberapa alasan yang mengemuka. Misalnya berkaitan dengan pertimbangan efisiensi, pembiayaan yang dinilai terlalu mahal, dan potensi konflik horizontal. Dari pengalaman di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, tidak semua alasan itu dapat dibenarkan. Soal konflik horizontal, misalnya, terbukti dapat diminimalisasi dan bahkan dihindari. Sedangkan pertimbangan tingginya biaya yang harus dikeluarkan, dalam banyak hal dapat dipandang logis karena perjuangan menegakkan demokrasi memang membutuhkan pengorbanan, termasuk aspek pembiayaan.

Persoalan krusialnya justru terletak pada soal pemilih. Aspek ini dipandang sangat strategis karena pada akhirnya seluruh rangkaian proses demokrasi akan bermuara pada pemilih. Pemilihlah yang menjadi penentu utama terpilih atau tidak terpilihnya kepala daerah. Ini berarti, kualitas kepemimpinan akan sangat dipengaruhi kualitas pemilih.

Jadi sebetulnya bukan soal pemilihan langsung atau melalui perwakilan, tetapi soal kualitas pemilih. Pemilih yang berkualitas, baik rakyat secara langsung ataupun para anggota legislatif (DPRD), dapat dengan jernih berpikir dan objektif menentukan pilihannya, tanpa ada campur tangan pihak mana pun yang dapat mengganggu rasa keadilannya. Jika proses demokrasi dapat dilakukan dengan melibatkan pemilih yang cerdas dan berkualitas seperti itu, aspek-aspek efisiensi, pembiayaan, ataupun kekhawatiran pecahnya konflik horizontal tidak akan menjadi masalah.

Pertanyaannya apakah proses demokrasi kita, khususnya dalam proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur, telah didukung partisipan politik yang memiliki kecerdasan dan kesadaran politik yang memadai? Apakah para pemilih telah memiliki ukuran-ukuran rasional objektif dalam menentukan kualifikasi figur yang dipilih? Apakah faktor pragmatisme, seperti dugaan money politics, bukan lagi variabel yang akan mengganggu objektivitas? Atau, seperti disinyalir banyak kalangan, secara umum, para pemilih kita masih merupakan lapisan yang masih membutuhkan proses pendidikan politik lebih lanjut.

Oleh karena itu, jika apa yang disinyalir banyak kalangan itu benar, alternatif pemilihan kepala daerah secara langsung belum menjadi pilihan yang tepat. Untuk memperoleh output maksimal dari proses politik yang dilaluinya, kita masih perlu menata berbagai perangkat demokrasi, termasuk aspek masyarakat pemilih.

Alternatifnya, sambil menunggu kesiapan seluruh perangkat demokrasi seperti disebutkan tadi, kembali pada sistem pemilihan melalui perwakilan. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur kembali dipercayakan kepada representasi masyarakat yang terhimpun dalam lelembagaan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi. Para anggota DPRD, dalam hal ini, harus memiliki otoritas, amanah, tidak mudah terkooptasi oleh yang dipilih, sehingga dapat berperan objektif, jujur, dan adil dalam menentukan pilihannya.

Lalu pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun otoritas anggota DPRD seperti itu? Inilah pekerjaan rumah kita selanjutnya.***

Penulis, mantan Gubernur Jawa Barat.

Opini Pikiran Rakyat 24 Februari 2010