Penggunaan instrumen itu akan menormalkan keterpisahan eksekutif-legislatif dan fungsi pengawasan oleh DPR, yang terdistorsi oleh Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan koalisi parlementer.
Distorsi fungsi pengawasan itu terbawa dalam percakapan para petinggi delapan lembaga negara (MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, KY, dan Presiden) di Istana Bogor (21/1/2010). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyimpulkan percakapan, Indonesia menganut sistem presidensial dan tak mengenal mosi tidak percaya untuk memakzulkan presiden atau wakil presiden.
Tulisan ini menegaskan satu hal. Meski berwatak semakin presidensial, sebetulnya UUD 1945 juga mengenal mosi tidak percaya terhadap kebijakan eksekutif serta mengatur ayat-ayat dan mosi pemakzulan.
UUD 1945 menjamin masa jabatan presiden. Konstitusi tak lagi mencantumkan klausul ”telah melanggar haluan negara” sebagai dasar pemakzulan presiden/wapres. Presiden/wapres tidak dapat dimakzulkan dengan mudah dan sewaktu-waktu. Ini merupakan penghormatan terhadap pengisian jabatan melalui pemilihan langsung oleh rakyat di seluruh negeri. MPR masih dapat memakzulkan presiden/wapres, tetapi dengan alasan lebih legal-konstitusional dan bukan politis-konstitusional, seperti UUD 1945 praamandemen (M Fajrul Falaakh, Kompas, 7/6/2001).
Alasan untuk memakzulkan meliputi pelanggaran hukum dan/atau atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wapres. Pelanggaran hukum yang dimaksud adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela (Pasal 7A UUD 1945). UU Mahkamah Konstitusi (MK) 2003 memerinci, tindak pidana berat adalah tindak pidana yang diancam sanksi penjara lima tahun atau lebih.
Perbuatan tercela menurut UU Pemilihan Presiden 2008 adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, dan adat, seperti berjudi, mabuk, mengonsumsi narkoba, dan berzina (Pasal 5 huruf i), sedangkan UU MK 2003 menambahkan dengan perbuatan yang merendahkan martabat kepresidenan. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wapres adalah tidak mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban presiden/wapres (Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945).
Jadi, alasan pemakzulan hanya akan mengena Wapres Boediono jika sebagai Gubernur BI ia diduga, misalnya, terlibat korupsi atau penyuapan dalam proses sebelum atau sesudah penalangan Bank Century. Bukti-bukti permulaan harus dikemukakan Pansus Centurygate tanpa mengada-ada. Prosesnya panjang, seperti ditentukan di Pasal 7B UUD 1945. Alasan pemakzulan presiden/wapres yang lebih berwatak legal-konstitusional ini harus dibuktikan dalam proses peradilan di MK. Pada akhirnya proses yudisial ini berimplikasi pada pemakzulan presiden/wapres, tetapi diputuskan oleh sidang paripurna MPR.
Jelas, alasan untuk memakzulkan presiden/wapres bukanlah kebijakan. Sistem presidensial tidak mengharuskan presiden mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada MPR. Namun, DPR memiliki fungsi pengawasan melalui instrumen hak interpelasi, hak angket, ataupun hak menyatakan pendapat (Pasal 20A UUD 1945). UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur penggunaan hak-hak tersebut, yang kini dimohonkan pengujian di MK oleh sejumlah kader Partai Demokrat.
Pada akhir November 2009 semua fraksi di DPR menyetujui penggunaan hak angket terhadap kasus Bank Century. Dalam dua bulan terakhir terjadilah adegan ”koalisi” sembilan parpol mengeroyok Wapres dan Menteri Keuangan. Bila memerhatikan pendapat fraksi-fraksi, semestinya Pansus Centurygate akan menerbitkan mosi tak percaya terhadap kebijakan penalangan Bank Century. Semua fraksi menyoal tanggung jawab BI sebagai regulatory and oversight body sebelum menengarai Bank Century sebagai bank gagal. Alasan utama, proses akuisisi-merger tiga bank jadi Bank Century sudah bermasalah karena lemahnya fungsi pengawasan BI.
Tujuh fraksi (PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, dan PPP) berkesimpulan, telah terjadi penyelewengan/pelanggaran hukum dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS) kepada Bank Century. Mereka merujuk, misalnya, perubahan aturan oleh BI tentang rasio kecukupan modal pada bank yang perlu ditalangi, yaitu dari positif 8 persen menjadi ”asal positif”. Hanya Partai Demokrat dan PKB yang berpendapat sebaliknya. Semua fraksi juga bersepakat, pengaliran dana talangan (PMS) sekitar Rp 6,76 triliun kepada Bank Century mengandung penyimpangan/penyelewengan hukum dan manajemen bank harus mempertanggungjawabkan aliran dana yang bermasalah.
”Kesimpulan” itu dapat bermuara pada pernyataan pendapat (Pasal 182 Ayat (3) UU No 27/2009), dan cukup diputuskan oleh lebih dari seperdua dari seperdua jumlah anggota yang hadir dalam rapat paripurna DPR (141 orang). Namun, pengaturan selanjutnya (pada bagian kesepuluh paragraf tiga) justru menyejajarkan pernyataan pendapat eks-hak angket dengan lex specialis tentang pernyataan pendapat dalam rangka pemakzulan (Pasal 7A-7B UUD 1945). Ketidakjernihan itu sudah mengemuka sejak UU No 27/2009 dirancang di Kementerian Dalam Negeri dan diloloskan dari kantor presiden. Kita tunggu semangat kekeluargaan di DPR mengawasi koalisi kepresidenan.