Pola distribusi suhu udara yang tidak merata di permukaan bumi selama musim pancaroba seperti saat ini akan memberi peluang terjadinya perubahan cuaca secara mendadak. Perbedaan sistem pola tekanan udara dan sistem cuaca yang kompleks dapat memicu hadirnya angin puting beliung dan hujan deras yang terkadang berdampak merugikan kehidupan. Seluruh lapisan masyarakat patut waspada mengingat angin puting beliung berpeluang terjadi pada kondisi atmosfer seperti saat ini.
Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor penyebab meningkatnya suhu udara di berbagai daerah akhir-akhir ini. Selain penyinaran optimum matahari di selatan ekuator sebagai faktor utama, ada penyebab lain seperti berkurangnya kelembapan udara dan kejadian El Nino di Pasifik ekuator.
Intensitas penyinaran matahari akan dirasakan semakin tinggi dan makin panas manakala radiasi matahari yang memancar ke bumi tidak menemui penghalang karena langkanya pertumbuhan awan di atmosfer. Kondisi semacam itu biasanya terjadi jika di atmosfer miskin uap air akibat massa udara yang berpindah karena tersedot ke daerah lain yang bertekanan rendah. Gumpalan awan yang merupakan massa udara lembap di atmosfer sangat penting sebagai "payung" raksasa bagi penduduk bumi yang berfungsi sebagai penyerap radiasi matahari yang terpancar. Radisi matahari yang tertahan dan diserap awan akan menciptakan kondisi udara yang lebih nyaman dirasakan di permukaan bumi.
Selain berkurangnya kelembapan udara, hilangnya kelembapan tanah ternyata sangat berperan dalam menciptakan udara panas dan kering. Faktor kelembapan tanah (soil moisture) yang selama ini kurang diperhitungkan sebenarnya merupakan faktor penting dalam pengkajian kejadian udara panas. Beberapa sumber pustaka menyebutkan bahwa kelembapan tanah memiliki kontribusi penting terhadap kondisi udara permukaan. Sebagai contoh, kasus gelombang udara panas (heat waves) di Eropa pada 2003 yang mengakibatkan banyak korban tewas, berdasar penelitian, ternyata berkaitan erat dengan hilangnya kelembapan tanah.
Udara panas dan kering yang terjadi di sebagian besar wilayah di Indonesia saat ini juga tidak lepas dari pengaruh fenomena global El Nino yang sedang berlangsung di Pasifik bagian tengah dan barat. El Nino mengakibatkan sebagian besar atmosfer wilayah Indonesia miskin pertumbuhan awan hujan. Massa udara di atmosfer kita disedot mengalir ke kawasan Pasifik yang perairannya hangat dan bertekanan rendah. Dampak El Nino membuat kondisi atmosfer di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi terasa kering dan sulit tumbuh awan hujan.
Berbarengan dengan fenomena El Nino di Pasifik yang belum juga menunjukkan pergerakan meluruh, Dipole Mode di Samudera Indonesia di sebelah barat Sumatera malah cenderung bergerak mengarah kepada nilai positif. Kondisi itu diperparah dengan adanya angin monsun Australia kering yang hingga kini tampak masi h bertiup. Sepintas semua fenomena tersebut mengindikasikan harapan hujan turun makin jauh. Namun, mudah-mudahan beberapa hari ke depan terjadi perubahan dinamika atmosfer yang menguntungkan. Dengan begitu, musim hujan segera menjelang untuk mengakhiri musim kemarau yang sudah berlangsung lama.
Waspada Puting Beliung
Pengujung musim kemarau 2009 yang merupakan periode musim pancaroba diliputi kondisi udara panas. Ada kecenderungan, adanya perubahan angin musim akan memberi peluang terbentuknya awan badai kumulonimbus. Aktivitas kumulonimbus memang perlu diwaspadai karena memberi peluang terbentuknya dampak ikutan angin puting beliung. Namun demikian, ada satu hal yang harus diingat, yakni tidak semua pertumbuhan awan kumulonimbus akan menimbulkan angin puting beliung.
Puting beliung akhir-akhir ini seolah menjadi populer sebagai "bencana alam baru" yang frekuensi dan magnitudonya kian besar. Sebagai "angin topan" yang berskala kecil, sepak terjangnya cukup dahsyat dalam menimbulkan kerusakan rumah dan mengakibatkan pohon tumbang yang dapat menimpa manusia, rumah, atau kendaraan.
Memprediksi kehadiran angin puting beliung memang sulit dilakukan. Sebab, mekanisme dan dinamika pembentukan atmosfer bersifat sangat lokal, sangat cepat, dan berlangsung singkat. Pelepasan energi dari awan pada stadium matang yang disertai oleh semburan angin di bawah awan itulah yang harus diwaspadai karena memiliki potensi terjadinya angin puting beliung yang bersifat destruktif.
Semburan angin kencang puting beliung biasanya berlangsung sekitar 5 hingga 15 menit karena pertumbuhan awan-awan kumulonimbus di daratan tumbuh secara sendiri-sendiri. Namun, karena kekuatan angin yang cukup kencang dan berputar, angin itu akan mampu merusak apa saja yang dilaluinya.
Ada beberapa tanda-tanda awal kehadiran puting beliung. Jika udara terasa panas dan gerah, di langit tampak ada pertumbuhan awan kumulus (awan putih bergerombol yang berlapis-lapis), di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi yang sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi yang secara visual seperti bunga kol.
Awan tersebut tiba-tiba berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna hitam pekat (awan kumulonimbus). Selanjutnya, ranting pohon dan dedaunan bergoyang cepat karena tertiup angin yang terasa dingin. Jika fenomena itu terjadi, sangat mungkin hujan disertai angin kencang sudah menjelang. Durasi fase pembentukan awan hingga fase awan punah berlangsung paling lama sekitar sejam. Karena itulah, masyarakat harus tetap waspada selama periode tersebut.
Untuk itu, masyarakat perlu waspada jika posisi garis edar matahari sudah semakin ke selatan yang diikuti pemanasan intensif perairan Laut Jawa, Laut Flores, dan Samudera Indonesia. Kegiatan pertumbuhan awan hujan akan makin intensif mulai November hingga Desember. Upaya antisipasi dan mitigasi pada kondisi cuaca ekstrem seyogianya memperhatikan beberapa indikasi pada kawasan yang rawan kejadian angin puting beliung. Langkah antisipasi itu penting untuk menekan sekecil-kecilnya kerugian harta benda dan jiwa jika bencana alam karena faktor cuaca benar-benar terjadi saat memasuki musim hujan.(*)
*) Daryono , mahasiswa S-3 ilmu geografi UGM dan peneliti di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Opini Jawa Pos 30 Oktober 2009