29 Oktober 2009

» Home » Kompas » Polemik Menkes: Sebuah Perspektif

Polemik Menkes: Sebuah Perspektif

Sepekan terakhir ini kita dikejutkan oleh keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tiba-tiba memilih Endang Rahayu Sedyaningsih menjadi Menteri Kesehatan periode 2009-2014. Banyak orang menyangka yang bakal terpilih adalah Nila Djuwita Moeloek, seorang dokter spesialis mata. Sebelumnya kuat beredar kabar bahwa Menkes terdahulu, Siti Fadilah Supari, bakal terpilih kembali.


Apalagi, Siti Fadilah Supari populer dengan sikap tegasnya menentang Amerika Serikat dan WHO dalam kasus sharing virus flu burung untuk pembuatan vaksin. Polemik pun berkembang di masyarakat, ada yang pro dan kontra. Tulisan ini mencoba melihat persoalan tersebut dengan sudut pandang berbeda.
Hampir satu dekade belakangan ini, jabatan menkes selalu diisi oleh seorang dokter berlatar belakang klinisi (dokter spesialis). Naiknya Endang menjadi sebuah fenomena menarik; ia berlatar belakang nonklinisi (seorang peneliti epidemiologi perilaku dan pakar ilmu kesehatan masyarakat) dan dikabarkan dekat dengan Unit Riset Angkatan Laut AS (Namru 2).
Terlepas dari tuduhan benar tidaknya ia membawa 50 sampel virus ke luar negeri tanpa sepengetahuan atasannya, kehadirannya diharapkan membawa angin segar perubahan kebijakan Departemen Kesehatan selama ini. Kembali ke paradigma Indonesia Sehat, yang berarti bagaimana menjaga 80 persen masyarakat Indonesia agar tetap sehat dan tidak jatuh sakit ketimbang menghabiskan dana triliunan rupiah untuk menggratiskan pelayanan kesehatan bagi 20 persen sisanya. Pada periode menkes terdahulu, paradigma ”hulu” ini tertelan riuh rendahnya aneka ragam program berparadigma ”hilir”, salah satunya adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Siti Fadilah, khas dengan pola pikir klinisi yang mengutamakan kuratif-rehabilitatif, mengharapkan penggantinya meneruskan dan menyempurnakan program Jamkesmas hingga nantinya bisa mencakup seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Padahal, masalah kesehatan selain merupakan hak setiap warga negara, melekat pula kewajiban yang mengikat. Setiap orang wajib menjaga kesehatan pribadi, keluarga, dan lingkungannya.
Program pemeliharaan kesehatan gratis tanpa mengindahkan hal ini akan menjadi bumerang pendanaan yang rakus menelan anggaran. Setiap orang akan memandang remeh pentingnya menjaga kesehatan; ”buat apa repot-repot cuci tangan sebelum makan kalau nanti sakit perut, pemeriksaan dan obatnya kan gratis?” Parahnya lagi, masyarakat akan semakin apatis dan bergantung pada kucuran program pemerintah. Ini berlawanan dengan salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang ingin memberdayakan masyarakat sebagai subyek pembangunan dan bukan sebaliknya.
Endang Rahayu, selaku doktor kesehatan masyarakat lulusan Universitas Harvard, tentu mengerti persoalan ini. Dalam wawancara dengan Kompas (23/10/2009), ia menekankan keseimbangan ”hulu” dan ”hilir” dengan memprioritaskan upaya-upaya promotif-preventif seperti pencapaian target MDG’s (Millennium Development Goals) 2015. Untuk menekan angka kematian ibu dan bayi misalnya. Ketimbang terus-terusan mencetak dokter dan bidan yang belum tentu mau bertugas melayani penduduk di pelosok-pelosok negeri, lebih murah dan mudah untuk mengefektifkan upaya promotif-preventif di aras pelayanan dasar seperti posyandu dan puskesmas. Selama ini, dua institusi tersebut menjadi ”perpanjangan tangan” klinisi yang bertugas di rumah sakit kabupaten/kota dan provinsi. Mereka menjaring pasien untuk dirujuk ke tingkat sekunder dan tersier dengan akibat membengkaknya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan negara di ”hilir”.
Bidang penanggulangan penyakit menular, yang selama kepemimpinan menkes terdahulu biasa dipelesetkan menjadi ”pengobatan” penyakit menular, saatnya untuk dikedepankan. Epidemi tuberkulosis (TB) semakin mengkhawatirkan dengan ancaman kuman TB yang kebal obat (MDR TB). Ironis bahwa negara dengan jumlah penderita TB ketiga terbanyak di dunia hanya memiliki dua fasilitas diagnosis MDR TB (BBKPM Surabaya dan RSCM Jakarta). Dengan latar belakang sebagai peneliti senior di Depkes, Endang Rahayu mestinya mampu menganalisis permasalahan ini secara komprehensif hingga solusinya.
Diharapkan prioritas tersebut di atas akan mengurangi ketergantungan kita terhadap bantuan luar negeri yang mendominasi hampir 70 persen porsi anggaran penanggulangan penyakit menular. Insya Allah, berdiri di atas kaki sendiri itu lebih nikmat ketimbang ”mencak-mencak” karena hilangnya sampel virus H5N1 yang tak tentu rimbanya hingga kini....

Muhammad Hatta Dokter Penggiat Program Penanggulangan TB Nasional; Tinggal di Makassar
Opini Kompas 30 Oktober 2009