Seringnya pemilu di Indonesia berakibat pada kejenuhan publik, belum lagi jika ditambah ketidakcukupan signifikansi bagi kepentingan publik atas terpilihnya kepala daerah.
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) sebagai arena kompetisi demokrasi lokal akan kembali digelar di tanah air. Tahapannya telah dimulai pada penghujung tahun 2009 ini dan terus akan berlanjut sampai tahun 2014 mendatang. Paling tidak pilkada tahun 2009/2010 akan berlangsung di 246 daerah di Indonesia. Ada tiga problem yang akan segera menghadang proses penyelenggaraan pilkada 2009/2010, yakni problem yuridis, pembiayaan keuangan APBD dan biaya sosial-politik.
Problem Yuridis Pertama, pilkada tahun 2009/2010 menjadi amat berbeda jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya 2005-2008 lalu, akibat dari lahirnya UU no 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU no 10/2008 tentang Pemilu Legislatif 2009 dan UU No 42/2008 tentang Pilpres 2009. Materi ketiga UU ini berimplikasi pada perlunya sinkronisasi UU No 32/2004 tentang Pilkada.
Sebab jika tak disinkronkan maka sesungguhnya pelaksanaan Pilkada 2009/2010 tak memiliki pijakan regulasi yang mengkokohkan demokrasi substansial di ranah lokal. Sebab UU No 32/2004 ini tak lagi mampu menjawab aneka problem kekiniaan. Misalnya terkait dengan efisiensi anggaran keuangan bersumber dari APBD, di mana dalam UU ini masih menggunakan sistem coblos sementara di UU Pileg dan UU Pilpres mencontreng, UU ini juga masih mengakomodasi kartu pemilih sedangkan UU Pileg dan Pilpres cukup KTP.
Dilihat dari aspek tahapan penyelenggaraan pilkada UU No 32/2004 hanya berlangsung enam bulan sedangkan UU No 22/2007 delapan bulan. Memperpanjang tahapan pilkada diperlukan guna mempersiapkan sejumlah regulasi turunan dari UU No 32/2004 berupa produk-produk keputusan dan ketetapan KPUD dalam pilkada, sebab dalam pilkada KPUD adalah legislator sekaligus regulator dari semua tahapan pilkada bukan KPU Pusat.
Jeda waktu yang panjang memungkinkan KPUD dapat menyusun produk regulasi pilkada secara cermat dan demokratis sehingga tidak mendorong lahirnya gugat-menggugat hasil pilkada.
Selain itu, UU No 32/2004 menuntut agar KPUD melakukan menajemen daftar pemilih dengan melakukan tahapan yang amat panjang mulai dari penyusunan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Depdagri, penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS), validasi, Daftar Pemilih Perbaikan (DPTB), validasi, Daftar Pemilih Tetap (DPT) alur yang panjang itu tentu kian memboroskan biaya pemilu. Sementara baru saja KPUD menyelenggarakan Pileg dan Pilpres 2009, alangkah efisiennya jika Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pileg dan Pilpres langsung ditetapkan KPUD sebagai daftar Pemilih Sementara (DPS) lalu divalidasi dan ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada 2009/2010.
Dari sisi yuridis maka solusinya ialah perlunya UU No 32/2004 tentang Pilkada disinkronkan dengan UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu dengan cara merevisinya. Sehingga kelak kita akan memiliki paket UU Pemilu yang berkesinambungan.
Problem Pembiayaan Kedua adalah terkait dengan pembiayaan pilkada 2009/2010. KPUD di sejumlah daerah telah mengajukan anggaran biaya pilkada kepada DPRD, namun karena biaya pilkada cukup mahal antara 10 miliar-26 miliar sejumlah daerah merasa tak mampu membiayai pilkada karena anggaran APBD tak mencukupi. Di titik ini bukan saja diperlukan penyusunan anggaran pilkada yang efisien oleh KPUD, akan tetapi juga diperlukan kearifan DPR dan pemda agar dapat memprioritaskan dana pilkada. Sebab pilkada merupakan agenda lokal yang bersifat nasional karena merupakan amanat konstitusi.
Solusi di titik ini adalah diperlukan kecerdasan Pemda dan DPRD dalam penyusunan RAPBD rutin agar dapat membuat cadangan setiap tahunnya untuk pembiayaan Pilkada yang hanya diselenggarakan lima tahun sekali. Agar cara ini menjadi tradisi penyusunan anggaran RAPBD di seluruh Indonesia , maka Mendagri perlu menerbitkan tata cara baru pola penyusunan RAPBD.
Belakangan di sejumlah daerah karena tahapan pilkada dilakukan mulai bulan Oktober 2009, mengalami hambatan dalam pembahasan anggaran dengan DPRD yang baru saja dilantik. Perdebatan yang muncul adalah: apakah akan diakomodasi dalam anggaran perubahan APBD atau anggaran APBD murni. Perdebatan yang tak kunjung selesai ini berakibat pada sejumlah tahapan pilkada yang tidak terbiayai oleh APBD.
Problem Sosial-Politik Ketiga, biaya sosial politik. Ini terkait dengan kian rendahnya apatisme publik untuk berpartisipasi dalam pilkada (golput) Data partisipasi pemilih dalam pemilu di Indonesia kian tahun kian menurun dan akan berimbas pada partisipasi dalam pilkada 2009/2010. Lihatlah fakta: Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan untuk golput berbeda.
Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen (1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987), 9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34 persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II, angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar 171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan 51.379.633 pemilih.
Salah satu alasannya adalah karena seringnya pemilu di Indonesia yang berakibat pada kejenuhan publik, belum lagi jika ditambah dengan kian tak cukup signifikannya bagi kepentingan publik atas terpilihnya kepala daerah dengan perubahan iklim kemakmuran rakyat.
Jika pilkada partisipasi pemilihnya juga kian menurun maka legitimasi kepala daerah terpilih pun kian terdegradasi. Lalu kita pun patut menggugat arti pilkada langsung dan mencari solusi alternatifnya.
Karena itu, penggabungan pilkada adalah salah satu solusi yang tersedia, misalnya pilkada untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2010-2011 digabungkan pada 2011. Sedangkan untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2012-2013 digabungkan pada 2013.
Adapun untuk daerah-daerah tersebut diangkat pejabat sementara kepala daerah sampai dengan pelaksanaan pilkada. Cara ini selain menghemat biaya pilkada, juga dapat menyederhanakan pelaksanaan sekaligus menghilangkan apatisme publik daerah dalam berpartisipasi.
Solusi lainnya adalah dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR dan Presiden dilakukan bersamaan pada hari yang sama dan dipisahkan dengan jadwal pelaksanaan pemilu lokal untuk memilih DPRD dan Pilkada. (80)
—Agus Riewanto SAg, SH, MA, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sragen, mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Wacana Suara Merdeka 29 Oktober 2009