SBY-Boediono telah dilantik dan diambil sumpah. Kabinet pemerintahan 2009-2014 pun sudah terbentuk. Suatu aplaus politik yang menyibak citra kemenangan tidak terbendung. Pemerintah mengklaim hadirnya kebangkitan di balik orang-orang tepercaya dari Cikeas menuju istana. Mungkinkah itu menjamin demokrasi Indonesia yang lebih baik?
Kita tahu kedahsyatan resistensi gelombang pemberantasan korupsi, wabah kemiskinan, dan pengangguran yang menjulurkan lidah-lidah api kehancuran sosial masih tertancap kuat di kening rakyat. Ini makin ditopang fragmen politik picisan wakil rakyat yang kehilangan keberanian menjaga konsistensi dan amanah luhur demokrasi. Kekuasaan disayat-sayat sebagai menu oportunis harian yang melaharkan keserakahan. Tidak saja pada fulus, tetapi juga kata-kata dalam RUU.
Kesakralan konstitusi kehilangan rohnya. Keadilan tinggal onderdil-onderdil tua gerbong hitam para free rider yang sibuk mencemani kekuasaan. Yang lain mengerahkan segala sumber daya mengamankan kekuasaan. Roh partai sebagai aset demokrasi tinggal simfoni padang gurun yang dinyanyikan demi diri sendiri (trah, keluarga, konco, klien) seraya mengidolatriakan fulus. Kita mendekat pada sebuah karakter pemerintahan yang menularkan sayap kemenangannya pada lingkaran partai-partai yang sebelumnya 'berkontestasi'. Tujuannya, mengamankan kekuasaan. Atau lebih eksesif, berhitung ulang dengan kekuasaan sebelumnya. Demokrasi selalu mendapat musuh baru.
Krasner (1984) mengatakan 'betapa mahalnya sebuah perubahan politik' ketika kita hanya menciptakan jalur tunggal menuju kekuasaan. Reproduksi kekuasaan yang menciptakan anomali kesisteman dalam tata pemerintahan melecutkan euforia semu terhadap perlawanan baku otoritarianisme. Politik menjadi kerja elitis yang bisa mengancam pertumbuhan demokrasi. Oposisi dilihat sebagai virus pengganggu serius. Privilese politik kemenangan dan kekalahan serasa terhalang fatamorgana kekuasaan ala sang raja, yang memelihara kewibawaan dan upeti kebesarannya lewat titah-titah nihil tindakan. Seperti keris di tangan kaisar, nasib demokrasi terus tersuruk di bawah ancaman.
Kedewasaan politik melihat perbedaan di antara elite tidak kunjung nampak selain faksi-faksi kepentingan yang tumbuh bagai serigala lapar, siap memangsa berbagai agenda penting kerakyatan. Konstitusi-konstitusi pelindung ketidakadilan, kemiskinan rakyat malah menjadi naskah lusuh dalam durasi transaksional politik yang melelahkan. Itu sebabnya barisan parade orang lapar di negeri ini tak pernah putus. Merekalah justru 'dilarang sakit dan sekolah'.
Politik modern
Di sini reformasi digugat. Benar, perjuangan reformasi mendeterminasi kesamaan hak berpendapat, berserikat, tersemainya benih-benih civil society, pers yang bebas, transparansi dan akuntabilitas. Namun, itu semua dilakukan di atas wacana normatif institusi bangsa yang rapuh. Meminjam bahasa Pieters (1978), negara kita hanya 'ada' dalam pencapaian-pencapaian glamor politik: pemilihan umum, parpol, legislatif dan peradilan yang manipulatif dan simbolisme.
Banyak agenda substansial yang nyata ditinggalkan. Pendidikan dan kesadaran politik tak pernah melembaga dalam organ partai. Orisinalitas benih-benih kepemimpinan tenggelam dalam konformitas sistem yang dipaksakan. Orang bisa membeli kepemimpinan dengan uang di pintu partai, di komisi-komisi, di lembaga-lembaga vital birokrasi yang menentukan bentuk aurat republik ini di mata rakyatnya. Sebuah upaya memperpanjang penderitaan birokrasi yang tertimpuk cacat. Wadah tempat darah segar pelayanan populis mengalir.
Spirit solidaritas, kejujuran, dan etika yang inheren di dalam teleleologi kekuasaan terhempas oleh intensitas kesibukan elite mempertaruhkan keperluan pragmatisnya. Fukuyama (2005) menyebutnya sebagai dimensi kenegaraan yang hilang. Watak negara yang lemah identik dengan sarang korupsi masif. Tugas politik modern semestinya menjinakkan kekuasaan negara, melayani hak rakyat dan menjalankan kekuasaan di bawah hukum yang adil dan berwibawa. Bukan melipatgandakan kekecewaan publik dengan mencuri dan merampok hak kepunyaan rakyat.
Peter B Evans (1989) dalam Predatory, Developmental and other Apparatuses (A Comparative Analysis of the Third World State) mengonstatasi adanya fenomena pereduksian dan pelemahan sumber daya masyarakat di negara dunia ke tiga dengan menggunakan legitimasi yang seakan demokratis. Tesis itu ternyata tak cuma langgeng dalam konteks orde baru, tapi terbukti sampai saat ini. Persekongkolan politis para pemimpin di daerah sampai pusat hingga melahirkan pesakitan kebal hukum merupakan manifestasi perompakan sistematis terhadap eksistensi rakyat.
Prosesi pelantikan pilpres kemarin bisa menjadi sesuatu yang istimewa ketika ia mampu menyuguhkan visi dan komitmen yang jelas dan propublik. Sebaliknya akan menjadi sebuah tipu daya saat inaugurasi ini hanya menjadi gerbang awal meredundansi kegagalan demi kegagalan negara. Janji-janji politis mesti bisa membuat rakyat tegak kepala menatap masa depannya lewat agenda jujur yang terukur. Jika tidak, justru--meminjam Miftah Thoha--menjadi sinyal terbitnya orde baru jilid 2 yang menggerus demokrasi praktikal.
Altruisme
Di sinilah kita membutuhkan sebuah roh altruisme politik (political altruism) (Mansbridge, 1994). Sikap politik yang memprioritaskan rakyat dengan seluruh hak-haknya sebagai lini terdepan pembangunan demokrasi substantif. Ada beberapa tindakan yang mengabaikan altruisme ini, 1. elite politik yang memanipulasi public spirit, 2. pembatasan hak menyatakan pendapat, 3. melembagakan temu wicara dan seolah-olah representatif tapi suara yang berbeda terus ditantang.
Tiga poin tadi belum luput dari wajah kekuasaan kita. Maka politik harus dimurnikan kembali dari sejumlah motif penyumpalan tak beradab. Dalam kondisi yang paling urgen dan mendesak, kerja politik pemerintahan 2009-2014 harus mampu merespons kritik dan terutama simbol-simbol kemiskinan di masyarakat dengan jujur dan beradab. Ia harus berjuang dan membela realitas orang-orang terbelakang dan tertindas. Hanya dengan begitu, demokrasi kita tak lagi menjadi demokrasi kuburan, yang selalu terpaku membisu di tengah jeritan penderitaan anak bangsa.
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM
Opini Media Indonesia 29 Oktober 2009