Datangnya bencana alam secara bertubi-tubi selama tahun-tahun terakhir, dan yang semakin sering dalam bulan-bulan terakhir, membuat orang-orang yang berpikiran tradisional merasa kita perlu mengadakan ruwatan. Ungkapan demikian sering terdengar. Alasan mereka, masyarakat Indonesia harus dibebaskan dari nasib buruk yang terus-menerus menimpanya karena alam sedang murka. Kalau ditanya mengapa alam murka dan mengapa harus ada selamatan, jawabannya tidak jelas. Yang jelas, kita sudah jenuh mengurusi bencana alam. Lacurnya, bencana itu gejalanya belum akan mereda. Wilayah Indonesia adalah tempat bertemu lempeng-lempeng tektonik yang membuat kondisi geologisnya kompleks dan sangat rawan terhadap bencana alam.
Letusan gunung berapi, gempa, tanah longsor, banjir bukan kabar buruk baru. Kita sudah mengenalnya ratusan tahun seperti yang terungkap dalam dongeng-dongeng kuno. Hanya saja apakah kejadiannya sesering sekarang? Sebagian bencana alam terjadi karena ulah manusia, seiring dengan ramainya penebangan hutan akibat peningkatan penduduk yang memerlukan tanah ladang lebih luas. Namun, bencana alam tsunami Aceh pada Desember 2004--yang diikuti puluhan gempa susulan selama beberapa hari--sangat tidak terduga dan mengagetkan. Tsunami 2004 telah mengempaskan gelombang-gelombang raksasa ke pantai dan membinasakan apa pun yang diterjangnya. Penjelasan geologisnya, semua itu akibat pergeseran lempengan-lempengan jauh di dalam bumi.
Manusia kehilangan keseimbangan
Dalam kata pengantar untuk buku Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit (1982) terjemahan karya Erik P Eckholm--intelektual yang banyak menulis tentang lingkungan hidup--Emil Salim menyatakan bahwa dari berbagai unsur lingkungan hidup, manusialah yang paling berpengaruh. Manusia mampu berkembang biak dan mengembangkan akal pikirannya sehingga bumi makin padat dihuni manusia. Sumber alam makin banyak dikuras untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Akibat sampingan adalah penggundulan hutan, pemburuan satwa liar yang dilindungi, erosi tanah, pencemaran industri, sampah dan lain-lain. Semua itu dirasakan sebagai masalah lingkungan hidup yang mengganggu kehidupan manusia.
Ada rahasia-rahasia alam yang sampai sekarang belum secara total terpecahkan oleh akal manusia. Kita tentu akan terus-menerus mencari jawabannya. Misalnya, apa kaitan pergeseran lempengan-lempengan bumi dengan suhu bumi yang makin panas? Mengapa terjadi perubahan iklim? Suhu makin panas yang mengakibatkan perubahan iklim mungkin akibat penggundulan hutan, erosi tanah dan pencemaran industri seperti yang disebutkan Emil Salim. Perubahan iklim itulah yang akan dibahas dalam konferensi PBB di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah sejak 37 tahun yang lalu--tepatnya sejak Sidang Khusus tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 5 Juni 1972--bersepakat bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah nasional dan internasional. Indonesia sendiri sejak 1978 mulai menanggapinya secara khusus dalam Repelita III dan menjadikannya bagian integral dari kebijaksanaan pembangunan nasional. Namun, seperti yang kita saksikan dan alami, selama dasawarsa-dasawarsa terakhir, ada tarik-menarik kuat antara kepentingan lingkungan hidup dan kepentingan memenuhi kebutuhan penduduk. Kesempatan itu tidak dilewatkan kalangan bisnis (hitam) yang beroperasi secara diam-diam. Tindakan mereka dengan bantuan para pejabat terkait merupakan tindak pidana korupsi yang secara berkala terungkap ke publik, tetapi belum tuntas juga. Karena ulahnya sendiri, manusia telah kehilangan keseimbangan.
Bayang-bayang hantu bencana alam
Lima tahun ke depan, seiring dengan berlangsungnya kiprah Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia akan dihantui bencana alam yang makin gawat bila tidak dilakukan penanggulangannya secara cepat dan tepat. Itulah kesan yang tersirat dalam berita tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi bila suhu bumi rata-rata meningkat 4 derajat Celsius menjelang akhir abad ini. Peta yang dibuat para ilmuwan dari Badan Meteorologi Inggris di Hadley Centre itu bahkan menggambarkan situasi yang mungkin bisa terjadi terhadap Indonesia.
Menurut berita yang dilansir harian The Jakarta Post, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hatfull pada Jumat minggu lalu mengatakan bahwa menurut peta itu, semua wilayah di dunia akan mendapat dampak negatif dari perubahan suhu bumi menjelang akhir abad ini, tetapi sebagian mendapat dampak lebih buruk, termasuk Indonesia. Naiknya permukaan laut setinggi 80 cm akan mengakibatkan banjir yang menimpa 33 juta jiwa di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara--wilayah yang diramalkan paling dahsyat tertimpa bencana tersebut. Menurutnya, lebih lanjut, "Yang lebih menakutkan, dampak-dampak negatifnya sudah akan terasa dalam lima tahun ke depan."
Peta tersebut, yang pertama kali diluncurkan di Inggris pada 22 Oktober 2009, juga menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami masa kekeringan panjang yang akan terjadi dua kali lebih sering sehingga sulit untuk bertani. Seandainya itu terjadi, jutaan petani Indonesia akan terpaksa mencari lapangan kerja baru. Demikian pula naiknya permukaan laut 80 cm akan mengubah ekosistem kelautan sehingga merugikan sumber penghidupan jutaan nelayan di pantai-pantai Asia Timur, Asia Tenggara dan lautan Hindia yang berbatasan dengan Sumatra, Jawa, dan banyak pulau lain di bagian timur.
Yang tidak kalah gawatnya, perubahan iklim juga akan banyak mengubah pola penyakit. Penyakit malaria dan demam berdarah diperkirakan akan lebih merajalela.
Mencari secercah harapan
Mengapa keadaan lingkungan hidup bisa menjadi seperti sekarang? Letak bumi Indonesia memang rawan bencana alam. Namun, ulah manusia berpengaruh banyak. Erik P Eckholm, yang ketika menjadi peneliti senior Worldwatch Institute di Washington pernah bekerja sama dengan UNEP (United Nations Environment Program) beranggapan bahwa sebab-sebab utama antara lain karena sistem sosial tidak adil, skala prioritas investasi juga timpang dan kurang mengindahkan situasi lingkungan hidup serta pemanfaatan teknologi dilakukan secara sembrono. Semua itu didasari sikap dan perilaku manusia yang boros karena mengutamakan kepentingan sendiri.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), ketika menanggapi Tsunami Aceh, mengingatkan bahwa kejadian yang serupa bisa terjadi sewaktu-waktu, dalam skala waktu sampai 10 tahun atau bahkan 50 tahun ke depan. Maka kita harus selalu berjaga-jaga dan hendaknya ada political will semua pihak untuk mengurangi dampak bencana. Perlu ada sosialisasi yang lebih gencar, pembangunan sistem peringatan dini, dan latihan-latihan untuk penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana. Political will pihak pemerintah tentu menyangkut alokasi dana untuk anggaran pelaksanaan program-program tersebut. Selain itu, dapat diadakan kerja sama dengan negara lain untuk penelitian, termasuk mengenai zonasi kegempaan yang bisa menjadi panduan guna menjaga keselamatan bangunan, misalnya.
Dalam rangka menghadapi dan menanggulangi bencana alam, Indonesia tentu berkepentingan dengan Konferensi Perubahan Iklim yang akan diadakan PBB pada Desember nanti. Seperti kata Duta Besar Martin Hatfull, "Kami yakin komitmen Indonesia untuk (konferensi) Kopenhagen akan sangat menentukan." Momentum yang hanya tinggal 6 minggu lagi itu diharapkan tidak akan dilewatkan kabinet baru.
Kita memang perlu 'ruwatan', tetapi bukan dalam arti harfiah--mengadakan selamatan yang bersifat spiritual. Jangan kita terjebak pada pandangan sempit bahwa kita sedang mengalami takdir hitam. Ruwatan yang kita perlukan adalah tumbuhnya kesadaran bersama bahwa daerah tempat tinggal kita yang kaya akan sumber alam ini, di lain pihak, juga sangat rawan bencana alam. Kita harus siap menghadapinya bersama; untuk bersama-sama mengurangi dampak buruknya. Alam tidak menjebak kita. Dia bertindak sesuai dengan perangai dan iramanya. Manusia telah mendapatkan pertanda apa risikonya bila bertempat tinggal di daerah ring of fire di Sumatra-Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Banda-Maluku yang rawan tsunami dan letusan gunung berapi. Maka 'ruwatan' untuk membangkitkan kesadaran rasanya perlu, tetapi bukan ruwatan berbentuk selamatan yang bersifat spiritual. Sudah bukan zamannya.
Toeti Adhitama, Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 30 Oktober 2009