Bursa calon ketua umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dalam Muktamar PB NU 2010 di Makasar mulai hangat diperbincangkan. Beberapa kandidat mulai unjuk gigi untuk mengganti KH Hasyim Muzadi sebagai pucuk pimpinan ormas terbesar di Indonesia itu.
Yang menarik, di antara sekian calon, muncul nama-nama yang selama ini dikenal sebagai sosok kritis, progresif, inklusif, bahkan liberalis dan pluralis dalam pemikiran sosial keagamaan. Dalam konteks itu, corak pemikiran liberal, tentu saja, bertentangan dengan khazanah pemikiran dan pandangan NU beserta tokoh-tokohnya yang selama ini dikenal tradisionalis.
Ada dua nama yang bisa disebut, yaitu Ulil Abshar Abdalla dan Masdar Farid Mas’udi. Kedua tokoh yang kental dengan pemikiran kritisnya itu akan bersaing dengan para tokoh sekaliber Salahuddin Wahid, Said Aqil Siradj, Slamet Effendy Yusuf. Namun, tidak menutup kemungkinan, masih akan muncul nama-nama lain sebagai calon ketua umum PB NU.
Munculnya Ulil Abshar Abdalla dan Masdar Farid Mas’udi cukup menarik untuk dibaca. Pasalnya, NU sering disebut sebagai organisasi yang tradisionalis, pengusung ideologi ahlussunah wal jama’ah. Dan, dalam banyak segi, corak itu berseberangan dengan pola pemikiran yang diusung oleh Ulil dan Masdar.
Penulis tidak bermaksud mendukung salah satu pihak atau menyudutkan pihak-pihak lain. Tulisan ini hanya membaca kondisi sosial masyarakat nahdiyyin berkaitan dengan corak pemikiran tradisionalisme dan liberalisme, serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
Liberalisme
Siapa yang tak kenal dengan sosok Ulil, pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sering mengusung ide-ide Islam emansipatoris dan seringkali dianggap nyeleneh oleh beberapa kalangan. Contoh kecil pemikiran Abdalla, selain persoalan kesetaraan laki-laki dengan perempuan, pembolehan pernikahan antara muslim dan nonmuslim dengan syarat-syarat tertentu.
Abdalla pernah mengeluarkan statemen kontroversial bahwa hadist Nabi yang berkategori shahih tidak harus berlaku dalam kehidupan manusia. Sebab, klasifikasi tingkatan hadist (shahih, dhoíif, mardud, mutawatir, kudsi) hanya berdasarkan pada proses kritik sanad, bukan kritik matan.
Menurutnya, ada beberapa hadist yang secara esensial (matan) tidak rasional, tapi sanadnya (mata rantai para perawi) bisa dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, ada hadist yang isi, maksud dan tujuannya rasional, tapi termasuk dalam kategori hadist dho’if karena sanadnya lemah.
Selain Ulil Abshar Abdalla, Masdar Farid Mas’udi —sekalipun label liberalisme tidak terlalu melekat dalam dirinya— juga dikenal sebagai tokoh yang progresif, kritis, bahkan sangat berbeda dalam persoalan fikih dengan para sesepuh NU.
Kita masih ingat dengan ”gebrakan ijtihad” Masdar tentang peninjauan ulang waktu haji, zakat dan pajak. Masdar ”berijtihad” bahwa waktu pelaksanaan haji perlu dikoreksi ulang, alias bisa diubah. Masdar adalah salah satu dari sedikit kader NU yang antusias mendialogkan Islam dan Barat. De facto, pemikiran kedua tokoh ini membuat gerah mayorits kalangan tokoh NU.
Dalam muktamar NU 2005 di Boyolali, Jawa Tengah, muncul usulan agar kepengurusan NU beserta seluruh organisasi di bawahnya dibersihkan dari pengaruh individu-individu yang berkarakter liberal. Liberalisme pemikiran dianggap sebagai ancaman nyata di tubuh NU.
Lebih jauh lagi, dalam rapat pleno panitia muktamar beberapa bulan yang lalu, KH Hasyim Muzadi mengatakan bahwa liberalitas pemikiran yang semakin berkembang di Indonesia adalah persoalan yang patut disaring. Jika tidak, liberalitas pemikiran akan menghilangkan seluruh nilai agama dan tradisi dalam Islam. Menurutnya, liberalitas pemikiran akan menghancurkan akidah, syariah dan manhaj.
Bahkan, pusat-pusat pembelajaran Islam di Barat, seperti McGill University, Harvard, Barkeley, Australian National University (ANU) dianggap tidak melihat Islam sebagai agama, tetapi sekadar sebagai budaya dan gejala sosiologis saja (NU Online, 6-04-2009).
Lantas, bagaimana mendialogkan antara liberalisme dengan karakter tradisionalisme, konservatisme yang dalam banyak hal masih melekat di tubuh NU, khususnya di kalangan masyarakat nahdiyin di level akar rumput?
Kritis Epistemologis
Hadirnya Abdalla dan Mas’udi dalam bursa calon Ketum PB NU dengan nalar kritis dan progresifnya, memiliki makna tersendiri di NU. Yaitu, memberikan ruangan yang terbuka agar terjadi dialog kreatif dan produktif di tubuh NU dalam persoalan sosial keagamaan. Apalagi, selama ini masyarakat nahdiyyin dikenal ”kaku” dalam cara pandang, kaku dalam menyikapi perbedaan, khususnya dalam persoalan fiqh dan ideologi.
Stigma liberalisme pemikiran yang melekat, menurut saya, lebih tepat disebut dengan kecenderungan progresif, yaitu kritis epistemologis. Artinya, dengan nalar kritis, anak-anak NU di berbagai pesantren, misalnya, tidak hanya dituntut untuk ”bermazhab” pada pemikiran para kiai, namun juga dituntut untuk mengkritisi atas dasar analisis dan pembacaan yang matang.
Atas dasar itu, membaca NU kedepan, munculnya liberalisme pemikiran yang diusung Abdalla dan Mas’udi diharapkan dapat melahirkan kecenderungan kritis bagi nahdiyyin di kalangan masyarakat akar rumput. Kontribusi ini akan mengikis cara pandang masyarakat yang masih ”kolot” sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kemajuan berpikir dan cara pandang anak bangsa dari kalangan NU.
Harapan dan Kekhawatiran
Tugas besar Muktamar PB NU 2010 mau tidak mau harus menggeser posisi konservatisme ke arah pemahaman yang kritis epistimologis. Konflik yang kerap muncul di NU bukan semata-mata karena khitthah 26 yang ”diselewengkan” oleh internal NU sendiri, melainkan karena faktor konservatisme di tubuh NU. Selama konservatisme masih mengakar kuat di kalangan NU, khitthah 26 tidak akan berdampak sama sekali.
Karakter NU yang memiliki ciri tawassuth, tasammuh, dan tawazzun seharusnya ditafsir sebagai sikap yang kritis, inklusif dan pluralis. Lalu, ke depan, akankah para calon ketum PB NU memberi perubahan di tubuh NU dan kalangan masyarakat nahdiyyin? Mampukah para sosok kritis, progresif, inklusif memisahkan NU dari politik praktis dan mewariskan nalar kritisnya di tengah masyarakat? (80)
—Abdul Waid, mahasiswa Program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku Sorban yang Terluka (2009)
Wacana Suara Merdeka 29 Oktober 2009