Dalam The Winer Stands Alone, novelis beken Paulo Coelho mengutip sebuah ironi dalam komunikasi. Dia menyebut dialog absurd antara seekor tikus dan burung camar, yang tak saling memahami, karena rupanya tiap hewan memang hanya bicara dalam bahasa masing-masing. Selain itu, si burung mengira setiap hewan pasti memiliki sayap seperti dirinya. Maka, ketika melihat si tikus tak bersayap, dia pun bertanya, "Mana sayapmu?" Dan si Tikus hanya plonga-plongo, sambil memandang dengan heran sayap si burung. Karena tak mendapat jawaban, camar pun berkesimpulan bahwa si tikus pasti sakit. Dia menduga binatang itu baru saja dihajar monster kejam yang merampas sayapnya, sekaligus membuatnya bisu.
Dia iba pada si tikus, dan dengan murah hati 'membawa' binatang malang itu dengan paruhnya, melanglang buana di angkasa. Beberapa lama kemudian, dia mendarat lagi dengan profesional, dan aman. Si tikus kemudian ditinggalkannya seperti semula.
Lama si tikus stres membayangkan kembali pengalaman dahsyat yang begitu musykil dalam nalar dan kesadarannya. Baginya, mikraj nabi mungkin lebih sederhana daripada pengalamannya sendiri. Maka, lama-lama, dia percaya, apa yang dialaminya itu hanya sebuah mimpi.
Merasa serbaterancam
Sudah pasti rakyat dan pejabat, bukan binatang. Rakyat bukan burung camar, pejabat bukan tikus. Namun, rakyat, mungkin terutama para pengamat, atau media, dan siapa saja yang bicara di media, tampak selalu gagah, lantang, dan mudah memberi 'nasihat' kepada pejabat, berdasarkan--seperti si camar--anggapannya sendiri. Dikiranya pejabat tak tahu apa-apa.
Dan para pejabat? Seperti orang-orang KPU, tiap kritik dianggap suara apriori, yang hanya menyalahkan. Tiap kritik, bahkan saran konstruktif para donor pun, dianggap ancaman belaka, atau cemooh, dan hinaan.
Sikap subjektif mereka menolak adagium vox populi vox day. Dan ketika diberi tahu pernyataan Gandhi, peoples' voice should be the voice of God, mungkin mereka, seperti sikap tikus tadi, pura-pura tuli.
Itu jamak ketika tiap pejabat--juga presiden--tak terlalu dihormati. Di masyarakat telah terjadi desakralisasi jabatan. Premis apa pun yang didasarkan semangat kerakyatan harus berbau rakyat: terbuka, tak punya rahasia, tak berprasangka, dan sederhana. Rakyat sudah capek mengabdi raja-raja munafik, cengeng, mudah marah, mudah curiga, dan gemar pamer kekuasaan. Zaman raja-raja sudah lewat. Atau seharusnya sudah lewat.
Transisi menuju demokrasi memang berat bagi rakyat maupun pejabat. Rakyat kelihatan lebih demokratis dari pejabat? Itu karena rakyat tak memimpin, tak harus menimbang hal sensitif, dan tak merasakan getirnya ironi jabatan. Mereka bukan nakhoda, yang merasakan 'kejam'-nya badai dan terpaan gelombang. Namun, ketika menjabat, mereka kok juga kejam dan sok kuasa?
Tanpa risiko apa pun
Rakyat memang tak punya apa-apa. Dan tak merasa bakal kehilangan apa-apa. Mereka menyuruh pejabat bersikap nothing to loose seperti dirinya. Segala hal dirasa enteng. Apa saja 'mengalir', tanpa risiko. Jadi mereka terbuka, lantang dan bersikap 'suci' bagai salju yang baru turun semalam, bukan karena demokratis, melainkan karena belum tahu psikologi jabatan. Mereka menjunjung tinggi 'suara rakyat suara Tuhan' dan ada saja yang merasa bagaikan Tuhan: tak merasa salah, tak merasa kurang sopan, tak mungkin kurang hati-hati. Maka, siapa pun dituding, disalahkan, kadang dihina, dan 'dinasihati', seolah dia menghadapi anak-anak.
Contoh: 'Jangan asal menciutkan kabinet'. 'Menteri Kebudayaan harus paham akan kebudayaan'. 'Bikinlah Kebudayaan departemen tersendiri'. 'Kebudayaan bukan pariwisata'. 'KPK jangan tebang pilih.' 'Ambil menteri yang prorakyat'.
Dan setiap disertai argumen teknis, padahal, rakyat yang tak pernah di birokrasi, yang melihat segala hal dari jauh, hanya akan tahu hal-hal abstrak dan teoritis. Pendiriannya mudah roboh oleh argumen teknis yang lebih dalam.
Rakyat mudah bicara idealis, tapi bagaimana yang idealis itu ditaruh dalam bahasa birokrasi, pasti kurang paham. Bagaimana menempatkan kemuliaan ide besar ke dalam bahasa program, dan proyek, agar 'romantisme' membela 'rakyat' miskin tak justru terjebak ke dalam kesukaran hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan? Mereka tak terlalu paham.
Dengan kata lain, suara rakyat suara Tuhan, sering diisi hal-hal yang kurang cermat, kurang mendasar, kurang sopan, dan kurang bijak, karena anggapan, pejabat hanya 'tikus bisu'. Namun, pejabat memang sering njelehi--membosankan--karena normatif, sok kuasa, sok raja, dan kadang sok intelek. Banyak pula yang sinis, dan tak ada niat baik melakukan koreksi diri. Relasi kekuasaan 'rakyat-pejabat' tak dilandasi mutual respect dan tak mengandung mutual trust. Kritik dianggap angin lalu.
Pemimpin sejati, ksatria sejati?
Semua pihak patut belajar lagi berkomunikasi secara sehat. Demokrasi hanya berkembang dalam jiwa dan struktur sosial yang juga sehat. Kita masih sedang memanggul misi suci character building yang sejak lama terlantar. Ego rakyat dan pejabat yang bertabrakan terus-menerus mahal biayanya, dan merugikan bangsa.
Kelihatannya, zaman ini menuntut, pejabat harus lebih sensitif. Ada saat ketika dia harus menjadi tikus tuli. Tak usah banyak bicara. Tak perlu reaktif, tak perlu berdebat. Senang--dalam etika Jawa--tak perlu tetembangan--bernyanyi-nyanyi. Ini zaman--kata Takdir Ali Sjahbana--tak putus dirundung malang. Sedih pun tak perlu tetangisan, karena pemimpin yang ksatria sejati pantang menangis. Apalagi begitu dramatis, di depan media.
Semua pejabat patut mengingat, jabatan hanya sementara. Kelak, biar pun bukan suara Tuhan, kita akan merasakan, suara rakyat itu suara kita sendiri. Maka, biarpun memang berkuasa, suara rakyat jangan pernah dianggap sekadar angin lalu.
Oleh Mohamad Sobary, Budayawan
Opini Media Indonesia 30 Oktober 2009