29 Oktober 2009

» Home » Republika » Tarbiyah Ibadah Haji

Tarbiyah Ibadah Haji

Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah di Makkah Al-Mukarramah. Sebagaimana Dia menyatakan dalam Alquran surah Ali Imran (3) ayat 97, Mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.

Setiap peribadatan yang Allah syariatkan dalam Islam memiliki tujuan yang jelas dan hikmah yang berbobot. Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji, mulai dari berpakaian ihram, talbiyah, tawaf, hingga wukuf di Padang Arafah memiliki maksud dan hikmah syariah yang sarat serta mengandung pesan moral yang tinggi.


Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima itu merupakan ibadah fisik, pengorbanan harta, dan ibadah hati. Hendaknya, orang-orang yang sudah berniat menunaikannya dan para jamaah yang memenuhinya memahami maksud dan hikmah pensyariahan ibadah haji ini. Sa'id Hawwa dalam kitabnya Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus, edisi bahasa Indonesia menjadi Tazkiyatun Nafs, yang merupakan inti sari dari kitab Ihya 'Ulumuddin karya Al-Ghazali, menyatakan bahwa haji merupakan pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, yaitu pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah, mencurahkan segenap kemampuan dan harta di jalan Allah, saling menolong dan berkenalan, serta melaksanakan syiar-syiar ketundukan kepada Allah. Semua itu memiliki dampak dalam penyucian jiwa, sebagaimana hal itu juga merupakan bukti terealisasikannya kesucian jiwa (Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. VI, 2008).

Sehingga, jangan sampai tenaga yang dipakai dan waktu yang diluangkan dalam menunaikan ibadah ini menjadi sia-sia. Begitu pula, finansial yang dikeluarkan, tenaga, serta tetesan keringat yang tertumpah tidak mendatangkan efek positif bagi pelakunya.

Selain tercapainya kesucian jiwa yang mengakibatkan meresapnya berbagai petunjuk dan arahan ilahiah, ibadah haji diharapkan dapat menghadirkan keyakinan terhadap akhirat dan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Karena, dalam pelaksanaan manasiknya, dibangun kesadaran terhadap adanya kehidupan sesudah kematian, yaitu kehidupan akhirat dan hal yang mengikutinya. Wukuf di Padang Arafah yang dianggap sebagai puncak haji, misalnya, dimaknai sebagai gambaran berkumpulnya seluruh manusia di Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka masing-masing di dunia kepada Allah SwT. Sehingga, sebagian ulama menyatakan bahwa ibadah haji merupakan geladi resik serta gambaran miniatur akhirat.

Pemahaman ini menjadi penting. Karena, keimanan yang dibangun atas enam  asas itu sering kali oleh Rasulullah SAW diringkas menjadi dua asas. Yaitu, iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir. Banyak hadis yang mengisyaratkannya. Sebagai contoh, hadis dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR Bukhari dan Muslim).

Kompetensi haji
"Hudzu 'anni manasikakum, ambillah dariku manasik (haji)mu."
Demikian anjuran Rasulullah SAW agar mencontoh beliau dalam ibadah ini. Karena, manasik haji Rasulullah merupakan manasik yang dibimbing oleh wahyu dan memiliki banyak keutamaan.

Juga, tarbiyah (pendidikan) dalam ibadah haji mengharuskan para lulusan manasiknya memiliki kompetensi yang berguna di dunia dan berakibat bahagia di akhirat. Predikat yang didapat bukan sekadar salih ritual, yaitu predikat kesalihan yang disandarkan atas ketaatan dalam melaksanakan ritus-ritus keagamaan. Para pemilik predikat salih ritual ini biasanya sangat memerhatikan kaifiyat-kaifiyat (prosedur pelaksanaan) dalam melaksanakan ibadah mahdlah. Bahkan, tidak jarang berselisih pendapat dalam penetapan hukum dan pelaksanaannya.

Namun, yang tidak bisa dipisahkan dari kompetensi haji itu adalah salih sosial. Yaitu, kesalihan yang disandarkan kepada pelaksanaan kebaikan-kebaikan dan penerapan amalan-amalan mulia yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Hal ini pula sebagai ciri dari haji mabrur. Rasulullah SAW bersabda, "(Ibadah) haji yang mabrur tidak punya balasan, kecuali surga."

Lalu, beliau ditanya, "Apakah kemabruran haji itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Perkataan yang baik dan memberikan makanan." (HR Ahmad).

Sehingga, orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji serta orang yang mengerti tentang hikmah syariah dari ibadah haji dapat menjadi contoh kebaikan dan teladan kemuliaan bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Tetangga yang kelaparan, anak-anak yatim yang tidak mendapat pendidikan dan santunan, serta janda-janda tua yang terabaikan tidak akan dijumpai lagi di lingkungan para hujjaj dan orang-orang yang mengerti hikmah syariah haji tersebut.

Dari pemahaman itu pula, mereka yang sudah menunaikan ibadah haji dan masih memiliki kemampuan finansial untuk menunaikan ibadah haji. Diharapkan, orang-orang yang seperti ini mengalokasikannya pada penerapan syariah lainnya. Menggalakkan pendidikan keislaman, memberi santuan kepada fakir miskin yang memerlukan modal untuk berkarya, membiayai para mujahid di Al-Masjidul Aqsha yang mempertahankan, dan berupaya membebaskan masjid tersebut serta pos-pos lainnya yang sangat membutuhkan uluran tangan orang-orang berada merupakan hal yang lebih utama.

Peran ulama
Masalah teknis dan administrasi jamaah haji penting untuk diurus hingga tuntas. Namun, pencapaian terhadap tujuan pensyariahan ibadah haji pun tidak boleh diabaikan. Para alim yang tergabung dalam kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), para mubaligh, dan para dai yang mengerti diharapkan bisa berperan aktif dalam menjelaskan hikmah syariah dari tiap-tiap rangkaian manasik haji itu.

Jangan sampai pelaksanaan ibadah haji hanya dinilai sebatas wisata dan jalan-jalan yang tak berguna. Tidak berbekas pada jiwa dan tidak pula menghadirkan kerinduan berjumpa dengan Allah atau dianggap membuang waktu dan menghambur-hamburkan uang. Karena, sulit dibedakan antara orang yang sudah menunaikan ibadah haji dan mereka yang tidak mengenal akidah dan kebaikan.

Takhtim
Ibadah haji bukan sekadar melakukan perjalanan dari negeri yang dicintai menuju negeri di mana baitullah dan bekas-bekas perjalanan para utusan Allah berada. Namun, lebih dari itu, ibadah haji memiliki maksud pembinaan jiwa dan pelatihan (riyadhah) fisik yang bermuara kepada ketakwaan yang paripurna.

Sulit bagi kita untuk membuka pintu rahasia dan hikmah syariah ibadah haji ini jika tidak memiliki kunci-kuncinya. Di antara kunci-kuncinya itu sebagai berikut. Pertama, paham bahwa ibadah haji ini merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, kerinduan bahwa ia akan berjalan dan mendekat menuju rumah-Nya. Ketiga, azam (tekad) meninggalkan keluarga, negeri, syahwat, dan berbagai kenikmatan demi mengunjungi rumah Allah.

Keempat, berupaya memutuskan segala keterikatan dengan makhluk Allah, baik keterikatan itu diakibatkan kezaliman, seperti menipu dan mencuri, maupun keterikatan dengan cara yang mubah, yaitu berutang. Kunci yang lainnya adalah bekal yang cukup untuk dirinya di perjalanan atau untuk keluarga yang ditinggalkan. Demikian komponen-komponen tarbiyah ibadah haji, mudah-mudahan semua orang yang menginginkan kemuliaan mampu menapaki pesan-pesannya dan menaiki tangga-tangganya. Wallahualam.

Ahmad Soleh
(Pengurus Pusat Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam)
Opini Republika 30 Oktober 2009