Adanya berita santer dan menarik perhatian publik seputar penyalah-gunaan "Rencana Tuntutan" (Rentut) Jaksa/Penunut Umum terhadap terdakwa Gayus Tambunan (kasus pajak) bukanlah hal yang
pertama terjadi dalam sejarah pembuatan dan penyusunan suatu Rentut. Dalam kasus Rusdi Taher pun (saat itu menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta) pernah terjadi hal serupa, akhirnya dibebas-tugaskan oleh mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh (1/9-2006), karena dinilai melakukan perbuatan tercela, yaitu tidak melaksanakan petunjuk pimpinan dan ditemukan adanya 'Rentut Ganda' yaitu 6 tahun dan 15 tahun penjara terhadap terdakwa Hariono Agus Tjahjono kasus kepemilikan 20 kg sabu-sabu, telah mendorong penulis untuk memberikan solusi mengatasi Rentut tersebut.
Keputusan berat ringannya tuntutan dari atasan Jaksa (memang) tidak bisa dijadikan pedoman menjadi Tuntutan Jaksa, hal ini bisa menciderai rasa keadilan masyarakat dan keadilan hukum. Sebab yang lebih mengetahui fakta hukum yang terungkap dipersidangan adalah Jaksa pembuat Rentut. Mestinya keputusan dari atasan Jaksa hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Jaksa pembuat Rentut, setelah Jaksa pembuat Rentut memberikan laporan kepada atasannya. Adanya Rentut kepada atasan Jaksa menjadi suatu celah bagi Jaksa pembuat Rentut maupun atasan Jaksa untuk membocorkannya kepada pencari keadilan atau untuk mendapatkan suatu keuntungan pribadi seperti dewasa ini terjadi.
Dari uraian diatas, mestinya tuntutan hukum Jaksa adalah suatu rahasia jabatan yang tidak boleh diketahui siapapun dari pihak yang berperkara, terkecuali Jaksa Penuntut Umum itu sendiri yang mengetahuinya dan dibacakan didalam persidangan oleh Jaksa yang bersangkutan. Tuntutan (Requisitoir) Jaksa sama halnya dengan Putusan Hakim yang hanya boleh diketahui ketika diucapkan didepan persidangan yang terbuka untuk umum. Berbeda dengan Pledoi (pembelaan) terdakwa/Penasehat hukum terdakwa. Pembelaan terdakwa tersebut dalam praktik bisa diketahui sebelumnya oleh Jaksa dan Hakim. Pledoi itu lazimnya dibagikan terlebih dahulu kepada Hakim dan Jaksa dipersidangan sesaat Pengacara membacakan pembelaannya; sedangkan tuntutan Jaksa dan putusan hakim tidak boleh diketahui sebelum Hakim atau Jaksa membacakannya didepan persidangan.
Karena Jaksa/Penuntut Umum lebih mengetahui fakta hukum yang terungkap di persidangan, mulai dari penyidikan, penyusunan dakwaan hingga penuntutan bukan atasan pejabat di Kejaksaan Agung. Terlebih masalah Rentut berjenjang tidak pernah diatur baik dalam Hukum Acara Pidana maupun didalam UU Kejaksaan, maka untuk menghindari terjadinya "Rentut Ganda", sebaiknya sistim dan mekanisme Rentut yang berjenjang "dihapus", yang ada hanyalah "Tuntutan" (Requisitoir) Jaksa.
Mulai sekarang tanggung jawab penyusunan 'Tuntutan' Jaksa sebaiknya diberikan kepercayaan penuh kepada Jaksa/Penuntut Umum yang menangani suatu kasus, seperti layaknya seorang hakim dalam memutus perkara adalah "mandiri". Sebaliknya Jaksa/Penuntut Umum dalam menangani suatu kasus-kasus besar (menarik perhatian publik) disarankan tidak boleh lagi satu orang saja, tetapi minimal menjadi dua atau tiga orang, agar tercipta penyusunan dakwaan dan tuntutan Jaksa yang profesional. Sebab penyusunan dakwaan yang tidak cermat juga mengakibatkan dakwaan "tidak dapat diterima" oleh Pengadilan atau menyebabkan terdakwa "lepas" atau "dibebaskan" oleh Pengadilan (vide pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), lalu hakimnya disalahkan oleh berbagai pihak dan diperiksa oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial.
Menurut penulis, sekalipun pemberlakuan mekanisme Rentut berjenjang ini ada segi positifnya, yaitu agar tercipta pengawasan terhadap anak buah, namun sesungguhnya lebih banyak terdapat segi negatifnya, antara lain:
Pertama: Akibat pemberlakuan Rentut berjenjang mempersulit dan merugikan kepentingan terdakwa, karena keputusan berat ringannya 'tuntutan' dari atasan Jaksa sering tidak sesuai fakta yang terungkap dipersidangan. Ketidak-sesuaian fakta tersebut lebih disebabkan karena faktor "petunjuk atau perintah" dari atasan Jaksa yang berbeda dengan fakta yang terungkap dipersidangan. Semestinya Jaksa pembuat Rentutlah yang menentukan berat ringannya tuntutan tersebut bukan atasan Jaksa. Jika atasan Jaksa yang menentukan berat ringannya tuntutan tersebut, akibatnya akan terjadi "disparitas" (perbedaan) putusan hakim dengan tuntutan Jaksa yang spektakuler. Terhadap putusan hakim yang jauh lebih rendah dari pada tuntutan Jaksa, masyarakat akan menuduh hakim telah melakukan berbagai penyimpangan, lalu hakimnya disalahkan oleh berbagai pihak.
Kedua: Pemberlakuan Rentut berjenjang sangat merugikan hakim dalam membuat/menyusun suatu putusan yang baik dan profesional. Karena dalam praktik kasus-kasus tertentu (misal: kasus korupsi atau narkotika) sering Jaksa mengulur-ulur waktu pembacaan tuntutan di persidangan hingga berbulan-bulan lamanya, dengan alasan Rentut belum turun dari atasan (Jaksa Agung). Akibatnya hakim akan kewalahan dalam hal pembuatan putusannya.
Ketiga: Akibat berlarut-larutnya Rentut Jaksa turun dari atasan Jaksa, akan mempercepat berakhirnya masa penahanan terdakwa, sementara proses sidang masih harus ditempuh dengan acara Pledoi (pembelaan) dari Pengacara/Terdakwa, akhirnya persidangan harus dilakukan secara 'maraton' untuk menghindari lepasnya terdakwa dari tahanan. Bahkan jika terdakwa didampingi oleh Pengacara, terkadang hakim terpaksa melakukan negosiasi kepada Pengacara agar melakukan pledoi secara tertulis/lisan dengan tenggat waktu hanya misal satu-dua hari. Masudnya agar masa penahanan terdakwa tidak sampai lewat sebagaimana diatur oleh undang-undang. Budaya ini selain bertentangan dengan prinsip-prinsip persidangan yang fair-trial, juga putusan hakim menjadi kurang obyektif, karena telah memunculkan kesan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pihak yang berperkara (terdakwa/Pengacara Terdakwa) dengan Jaksa/Penuntut Umum terkait.
Keempat: yang lebih parah lagi, jika hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa "sama beratnya" dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukumnya atau Jaksa pasti menyatakan putusan hakim itu untuk "pikir-pikir" selama 7 hari sesuai ketentuan KUHAP yang semuanya itu hanya untuk mengulur-ulur waktu atau merupakan dalil agar terdakwa tersebut dapat keluar demi hukum dari tahanan, karena masa tahanan terdakwa akan segera habis selama dalam waktu masa pikir-pikir tersebut.
Akhirnya untuk mencegah jangan sampai terdakwa keluar demi hukum dari tahanan, muncul satu 'keanehan' sikap dari Jaksa/ Penuntut Umum untuk melakukan 'naik banding' ke Pengadilan Tinggi seketika putusan diucapkan oleh hakim, sekalipun putusan hakim misalnya "sama beratnya" dengan tuntutan Jaksa yang semestinya putusan hakim yang sama beratnya dengan Tuntutan Jaksa tersebut tak perlu lagi Jaksa mengajukan 'banding' ke Pengadilan Tinggi. Dengan naik bandingnya Jaksa/Penuntut Umum atas putusan hakim tersebut, justru telah merusak dan menodai sendi-sendi rasa keadilan hukum. ***
Penulis adalah Dosen Pascasarjana M.I.H Universitas Hazairin (UNIHAZ) Bengkulu
Opini Analisa Daily 17 Februari 2011