17 Februari 2011

» Home » Opini » Republika » Revolusi Mesir: Pergantian Sistem

Revolusi Mesir: Pergantian Sistem

Fuad Bawazier
Ketua Umum Pimpinan Majelis Nasional KAHMI (2008-2013)

Meski Ben Ali dan Hosni Mubarak telah tumbang, mata dunia tetap tertuju pada revolusi atau pergolakan yang masih berlangsung di Tunisia dan Mesir. Di beberapa negara tetangganya, Aljazair dan Maroko, tanda-tanda revolusi mulai menggeliat. Selain di negara-negara Afrika Utara ini, tetangga dekatnya di Timur Tengah, yakni Yordania, Yaman, dan Suriah mengikuti atau sekurang-kurangnya, sudah mulai menggalang rakyat untuk revolusi turun ke jalan menumbangkan rezim yang sudah lama bercokol.

Beberapa negara lain di sekitarnya, termasuk Libya dan Oman, diduga kuat rakyatnya sedang mencari peluang untuk menuntut perubahan rezim dan sistem, seperti yang diinginkan rakyat di negara-negara tetangganya yang sedang menyuarakan revolusi.

Di kawasan itu hanya di Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang tidak atau belum ada tanda-tanda revolusi. Hal ini karena penduduk aslinya berjumlah kecil (kecuali Arab Saudi) dan bahkan di negara-negara Teluk lebih banyak penduduk pendatang dibanding penduduk aslinya. Selain itu, rakyat di negeri-negeri ini relatif makmur, harga-harga sembako terkendali karena kontrol ataupun subsidi pemerintah.

Kalau dicermati, ada hal-hal yang menarik di negeri-negeri yang bergolak ini. Pertama, mayoritas penduduknya Muslim. Kedua, sembilan negara yang bergolak atau berpotensi bergolak itu dipimpin oleh rezim yang sudah berkuasa antara 11-40 tahun, atau rata-rata 22 tahun. Meski rezimnya republik (kecuali Maroko, Yordania, dan Oman), kepala negara di negeri-negeri ini bercokol seperti raja, yakni berkuasa sampai akhir hayatnya atau ingin mengalihkan singgasananya kepada anaknya. Perilaku penguasa yang ingin membangun dinasti ini amat dibenci rakyatnya.

Ketiga, negeri-negeri ini umumnya sahabat atau sekutu Amerika Serikat (AS), baik karena kedekatannya dengan Israel (seperti Mesir dan Yordania) maupun karena memerangi teroris Alqaidah (misalnya Mesir dan Yaman). Keempat, praktis tidak ada kebebasan pers karena pemerintahnya ringan tangan untuk menangkap wartawan dan mengusirnya, atau membatasi bahkan melarang pemberitaan serta penerbitan yang dianggap mengancam rezim berkuasa.

Kelima, rezim yang berkuasa dirasakan oleh rakyatnya tidak atau sedikit memberikan ruang bagi demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi yang dijalankan masih sebatas formalitas semata (yang sarat dengan kecurangan), yakni sekadar melegalisasi pemilu dan penguasa yang terpilih.

Keenam, melalui aparat penegak hukumnya, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, diam-diam penguasa politik berbagi kekuasaan dan rezeki. Hukum digunakan untuk menindas lawan-lawan politik rezim berkuasa. Sebagai kompensasinya rezim berkuasa 'merestui' aparat penegak hukum berkorupsi memperkaya diri dengan memberlakukan hukum yang tajam pada yang lemah dan membela yang kuat dan berduit.

Ketidakadilan dalam penegakan hukum di negeri-negeri ini memang sejalan dengan ciri-ciri yang ketujuh, yaitu tingginya tingkat korupsi di lingkungan birokrasi. Tingginya korupsi ini tidak saja merusak proses penegakan hukum, tetapi juga dalam proses penyusunan kebijakan dan program pemerintah, termasuk anggaran yang boros dan tidak kena sasaran.

Kedelapan, negeri-negeri korup ini umumnya adalah debitur aktif Bank Dunia. Kesembilan, negeri yang berevolusi ini mengidap penyakit kemiskinan yang serius. Kecuali Tunisia dan Oman, kemiskinan meliputi 7,5 persen di Libya hingga 23 persen di Aljazair dan 45 persen di Yaman. Kesepuluh, pengangguran di sembilan negeri itu berkisar dari yang terendah delapan persen (Suriah) sampai 35 persen (Yaman) atau rata-rata 15 persen dari jumlah penduduk.

Kesebelas, inflasi yang relatif tinggi seperti di Yaman 18 persen. Keduabelas, Kecuali Yaman yang per kapita income-nya 2600 dolar AS, negeri yang sedang atau berpotensi revolusi ini income per kapitanya lebih besar dari income per kapita Indonesia yang 3.000 dolar AS. Di Tunisia hampir 7.000 dolar AS, Mesir 5.700 dolar AS, dan Yordania 5.250 dolar AS.

Ketigabelas, mirip dengan Indonesia, negeri-negeri yang dibahas di sini juga mendekati kategori failed states (negara-negara gagal). Indonesia termasuk dalam peringkat 61 dalam daftar 177 negara gagal, publikasi Foreign Service Institute di Washington DC. Meskipun lebih baik dari Yaman, Indonesia dikenal sebagai negara yang gagal melindungi warganya.

Kecuali pengekangan pers, ciri atau kondisi objektif, di negeri-negeri yang sedang dilanda revolusi atau semangat revolusi itu, terdapat di Indonesia. Selain kebebasan pers, kita juga mempunyai kebebasan menyatakan pendapat dan sikap, meski umumnya tidak efektif karena pemerintah yang cenderung cuek. Meski begitu, kebebasan itu bukan tidak mengandung risiko seperti apa yang terjadi pada Antasari yang mencoba menjadi whistle blower IT KPU, atau Susno Duadji sang whistle blower kasus Gayus atau Misbakhun dengan Bank Century-nya.

Pengalaman, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, menunjukkan bahwa penguasa yang tumbang oleh revolusi karena terlambat atau menolak merespons tuntutan yang diajukan rakyat pendemo. Presiden Soekarno jatuh karena menolak membubarkan PKI, Presiden Soeharto lengser karena menolak reformasi. Kini, pemerintah terasa menolak tuntutan masyarakat untuk membongkar tuntas skandal Bank Century, mafia hukum dan pajak, rekening gendut polri, dan pengendalian harga bahan-bahan pokok. Kegagalan memenuhi tuntutan-tuntutan seperti itu akan menjadi peluru tajam bagi tuntutan penggantian rezim dan sistem.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa karena lemahnya kepemimpinan nasional banyak kalangan yang berpendapat bahwa Indonesia hanya dapat dibenahi dengan perubahan rezim dan sistem. Perubahan yang signifikan seperti itu rasanya sulit diharapkan dari lembaga-lembaga negara yang umumnya korup. Harapan hanya pada tuntutan rakyat khususnya pemuda, mahasiswa, dan tokoh-tokoh bermoral.

Oleh karena itu, penguasa di negeri ini tidak perlu gusar bila ada yang berpendapat bahwa revolusi ala Mesir yang telah menumbangkan rezim penguasa dan sedang mengganti sistem politik ataupun ekonominya, karena kondisi objektif di Indonesia yang sama atau mendekati, akan terjadi juga di Indonesia.
Opini Republika 14 Februari 2011