17 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Mendidik untuk Kuat Bersaing

Mendidik untuk Kuat Bersaing

Masyarakat Amerika, khususnya kaum pendidik dan para ibu, digegerkan buku Battle Hymn of the Tiger Mother yang baru terbit.
Buku yang ditulis Amy Chua, seorang warga AS keturunan China dan menjadi profesor hukum di Universitas Yale, menuturkan pendapat penulis tentang bagaimana seorang ibu harus mendidik anaknya.
Pendidikan itu harus keras, kuat menanamkan disiplin, dan tanpa ampun dalam menumbuhkan kemampuan. Ia gambarkan bagaimana ia mengharuskan putri-putrinya belajar main piano berjam-jam lamanya. Juga keras dalam membentuk sikap dan kepribadian, seperti melarang pergi malam, lama menonton TV, dan banyak lagi hal yang biasa diizinkan oleh ibu Amerika.
Anaknya harus mendapat nilai-nilai tertinggi dalam pelajaran apa saja dan selalu mengusahakan mencapai peringkat terbaik di sekolah.
Buku itu mengundang reaksi ramai yang menilai Amy Chua sebagai ibu tanpa cinta kasih kepada anaknya, bahkan menyebutnya monster. Akan tetapi, di pihak lain timbul rasa khawatir bahwa cara mendidik versi China (the Chinese way) ini, dan mestinya dilakukan secara luas di China, akan menjadikan China unggul atas AS.
Sudah terbukti bahwa kemampuan anak AS dalam berbagai pertandingan internasional tidak hanya kalah dari China, tetapi juga dari bangsa lain. Hasil tes terakhir dari Program for International Student Assessment menunjukkan bahwa murid AS di sekolah dasar dan menengah hanya mencapai ranking ke-17 untuk membaca, ke-23 untuk sains, ke-31 untuk matematika, dan secara keseluruhan ranking ke-17.
Sebaliknya, prestasi China kini menonjol, seperti tahun 2010 menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia, jumlah periset meningkat 111 persen dibanding tahun 1999 (AS hanya 8 persen), peningkatan murid SMA dari 48 persen anak sekolah tahun 1994 ke 76 persen sekarang, dan lainnya. Orang AS berpikir, sekarang AS masih nomor satu di dunia, tetapi untuk berapa lama lagi?
Ketika diwawancara, Amy Chua menolak disebut monster yang tanpa kasih sayang kepada anak-anaknya. Ia cuma tidak mau menjadikan anak-anaknya orang-orang lemah yang berkembang menjadi pecundang dalam kehidupan yang penuh persaingan. Ia dulu malah mengalami pendidikan yang lebih keras dari ibu-bapaknya. Suami Amy Chua, Jed Rubenfeld, juga profesor hukum di Yale, semula mau mengurangi beban anak-anaknya. Akan tetapi, akhirnya ia harus menyetujui sikap istrinya.
Lingkungan keluarga
Buat kita di Indonesia ini, semua perlu menjadi petunjuk dalam mendidik bangsa kita menghadapi dunia internasional yang penuh persaingan, di mana hanya yang mampu dan kuat yang dapat bertahan. Sejak lama kita katakan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga penting sekali untuk pembentukan karakter bangsa, termasuk daya tahan orang menghadapi berbagai perkembangan, adanya dorongan untuk selalu menghasilkan yang terbaik, bergiat dalam kelompok, dan hal-hal lain lagi.
Hingga kini pendidikan karakter di Indonesia masih amat banyak kekurangannya. Itu yang mengakibatkan sifat manja-mental (mentally spoilt) di banyak kalangan masyarakat. Itu pula sebab utama mengapa kita sukar menemukan pemimpin yang bermutu, yang tidak hanya pandai berteori, tetapi juga mampu mengimplementasikan teori itu.
Dari sebelum China muncul sebagai kekuatan, penulis mengatakan bahwa kita harus sanggup bersaing dengan Jepang yang waktu itu menonjol daya saingnya. Sekarang tidak cukup kita mampu bersaing dengan Jepang, tetapi juga dengan China yang makin kuat. Bahkan dengan Korea yang sekalipun sebagai bangsa relatif kecil, tetapi kuat sekali daya saingnya.
Amat penting kepemimpinan nasional di Indonesia memotivasi pendidikan di lingkungan keluarga untuk membentuk karakter bangsa yang jauh lebih kuat. Kita bangsa dengan banyak bakat yang tinggi nilainya. Akan tetapi, telah terbukti dalam kehidupan umat manusia bahwa nurture is much more important than culture atau mengasuh, mendidik, dan membina jauh lebih penting daripada bakat.
Hendaknya pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta berbagai organisasi kewanitaan mengambil langkah konkret yang menggiatkan pendidikan karakter di lingkungan keluarga. Meskipun pendidikan sekolah juga wajib memberikan pendidikan karakter, kegiatan itu perlu ditingkatkan volume dan mutunya melalui pendidikan dalam keluarga.
Semoga dengan jalan itu bangsa Indonesia berhenti bermental manja, berganti menjadi bangsa yang kuat lahir-batin, dan senantiasa berusaha melakukan dan mencapai yang terbaik dalam kehidupan.
Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas dan Mantan Dubes RI di Jepang
Opini Kompas 17 Februari 2011