17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » Sensasi Susu Formula

Sensasi Susu Formula

Manusia mempunyai empat insting dasar: eros, thanatos, libido, dan agresi. Salah satu insting, thanatos, merupakan insting kematian sehingga wajar jika disadari atau tidak manusia pun dekat dengan kematian dan kerap memproteksi diri dari kematian.

Jadi isu yang meresahkan dan berpotensi menggiring manusia pada kesakitan dan kematian akan menjadi isu paling panas dan memprovokasi kecemasan masyarakat. Seperti seminggu terakhir ini kita terpapari pemberitaan dan pembahasan tentang susu formula yang dikatakan terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii.

Berbagai pihak mendapatkan informasi parsial (tidak lengkap), bahkan diperparah dengan broadcast Blackberry Messenger (BBM) yang menyebutkan nama-nama susu formula yang dikatakan mengandung bakteri Enterobacter sakazakii. Dari mana muasal berita berantai tersebut menjadi tidak penting, tetapi yang tidak disadari adalah dampak buruk berupa keresahan dalam masyarakat.

Masyarakat kita terinformasikan bahwa akibat infeksi dapat berupa diare, radang usus (enteritis) sampai radang otak (meningitis). Sayang sekali penjabaran WHO 13 Februari 2004 perihal Enterobacter sakazakii dalam formula bubuk bayi justru tidak tersebar luas. Salah satu penjelasan WHO adalah bahwa ada tiga cara formula bayi dapat terkontaminasi Enterobacter sakazakii. Pertama, melalui materi mentah yang digunakan untuk memproduksi susu formula.

Kedua, melalui kontaminasi setelah pasteurisasi. Ketiga, melalui kontaminasi dari lingkungan tidak bersih pada saat caregiver (baik ibu, suster, dll) menyiapkan susu formula sebelum diberikan kepada bayi. Kelompok risiko terbesar mengalami infeksi adalah bayi berusia kurang dari 28 hari, terutama prematur, berat badan lahir rendah, atau mempunyai kelainan imunologi. Juga bayi-bayi dari ibu dengan HIV positif yang secara spesifik membutuhkan susu formula dan lebih rentan mengalami infeksi.

Akibat keterbatasan pengawasan dan sistem pelaporan Enterobacter sakazakii di banyak negara, besaran masalah akibat bakteri ini pun tidak diketahui. Sebuah literatur di Inggris melaporkan bahwa pada 1961–2003 terdapat 48 kasus bayi sakit akibat Enterobacter sakazakii. Hasil survei The US FoodNet 2002 menunjukkan angka invasif infeksi Enterobacter sakazakii pada bayi di bawah 1 tahun sebesar 1 per 100.000.

Dampak jangka panjang yang signifikan seperti defisiensi neurologis bisa merupakan akibat infeksi, terutama pada mereka yang menderita meningitis dan cerebritis. Jika orang dewasa bisa makan gado-gado atau menu lain yang sangat variatif, bayi yang terlahir ke dunia tidak punya pilihan kecuali mengonsumsi susu (dengan kesadaran tidak mungkin semua bayi mendapatkan ASI). Jika susu saja terkontaminasi, yang jadi pertanyaan adalah cikal bakal generasi penerus bangsa kita ini mau makan apa?

Penelitian Berbuntut Gugatan

Progresivitas, kuantitas, kualitas, dan manfaat penelitian yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas adalah tolok ukur dari kemajuan sebuah bangsa yang modern dan haus kemajuan. Namun jika bangsa ini bisa berdinamika seru bahkan tanpa landasan data (baik karena lupa, enggan, atau sengaja tidak mencari data) dan cukup dengan menggunakan satu istilah saja, kebohongan, maka ini bentuk regresi yang perlu diperangi bersama.

Sebuah penelitian yang berjudul “Potensi Kejadian Meningitis pada Mencit Neonatus Akibat Infeksi Enterobacter sakazakii yang Diisolasi dari Makanan Bayi dan Susu Formula” merupakan sebuah karya penting yang dihasilkan oleh dr Sri Estuningsih dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Siapa menyangka bahwa sebuah hasil penelitian IPB yang begitu ilmiah dapat berbuntut pada gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak terpublikasikan lengkap dan komprehensif di situs IPB per tanggal 17 Februari 2008.

Tidak sendirian, IPB pun, bertandem dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pada tanggal 6 April 2009 menjadi tergugat yang akan menghadapi tuntutan secara pidana jika tidak memublikasikan nama-nama susu formula yang diindikasikan penelitian IPB bahwa ada sebanyak 22,7% dari susu formula yang beredar periode 2003-2006 terkontaminasi Enterobacter sakazakii.

Buntut pun menjadi semakin panjang karena pada tanggal 10 Februari 2011 ketiga pihak di atas dianggap tidak patuh hukum dengan tidak mengumumkan nama-nama susu formula yang diteliti oleh IPB sebagai sampel. Mereka pun menjelaskan bahwa Mahkamah Agung belum mengeluarkan amar putusan secara resmi. Memang jika kita buka situs terkait, betul ada sebuah keterangan di pojok kiri bawah yang kurang lebih isinya seperti ini: dokumen ini bukan merupakan salinan otentik dari putusan pengadilan, oleh karenanya tidak dapat sebagai alat bukti atau dasar untuk melakukan proses hukum.

Terlepas dari amar putusan MA tersebut, dua hal perlu diperhatikan. Pertama, pernyataan tegas dan keras Ibu Indah Suksmaningsih (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam sebuah dialog di televisi swasta tanggal 11 Februari 2011. Menurut Ibu Indah, metodologi penelitian ini tidak aplikatif untuk permasalahan susu formula sehingga dia pun merasa marah dengan merebaknya kasus susu formula ini.

Kedua, kalaupun amar putusan MA resmi turun,Kementerian Kesehatan dan BPOM tetap tidak mempunyai data untuk dipublikasikan karena yang melakukan penelitian adalah pihak IPB. IPB yang wajib mengumumkan nama-nama susu formula terkontaminasi tersebut. Jika sudah dilakukan perizinan penelitian (informed consent) kepada pihak-pihak produsen susu pada saat prapenelitian, lantas tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika diumumkan sekarang. Karena hipotesis memang sewajarnya terkuatkan atau sebaliknya terbantahkan oleh hasil penelitian.

Peran Pemerintah dan Parlemen

Komisi IX akan mengadakan rapat kerja gabungan dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, dan IPB pada 17 Februari 2011. Keterangan pers BPOM 10 Februari 2011 sudah menjelaskan bahwa sebagai respons atas hasil penelitian IPB tersebut, pada Maret 2008 BPOM telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 96 produk formula bayi. Saat itu belum ditetapkan adanya persyaratan cemaran Enterobacter sakazakii dalam produk formula bayi berbentuk bubuk baik secara nasional maupun internasional (Codex Alimentarius Commission/CAC).

Hasilnya menunjukkan seluruh sampel yang diuji tidak mengandung Enterobacter sakazakii. CAC pun baru menetapkan kriteria mikrobiologi persyaratan batas maksimum cemaran Enterobacter sakazakii untuk produk formula bayi berbentuk bubuk pada Juli 2008. Oleh karena itu, tahun 2009 BPOM menetapkan Peraturan Nomor HK.00.06.1.52.4022 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan.

Memang dengan mempelajari kronologi dan data, kedua belah pihak, baik IPB dan BPOM, hanya melakukan fungsi dan peran masing-masing. Namun publikasi parsial dan beberapa info yang masih kurang lengkap sungguh wajar menginduksi keresahan dalam masyarakat,bahkan ada yang sampai membawa ketiga pihak ke jalur hukum.Komisi IX yang selalu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kedua mitranya (Kementerian Kesehatan dan BPOM) wajib memperjelas kasus susu formula ini yang terbilang sebagai problem klasik yang kerap mengusik.

Tentu selain untuk meminta penjelasan kronologis dan pertanggungjawaban, Kementerian Kesehatan diingatkan untuk lebih proaktif membereskan amanat UU Kesehatan No.36/2009 terkait Rancangan Peraturan Pemerintah tentang ASI Eksklusif. RPP tentang ASI Eksklusif yang saat ini sedang dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM akan semakin memperkuat pengaturan iklan susu formula di Indonesia dalam Kepmenkes 237/MENKES/SK/IV/1997.

Secara mendasar juga, segala yang kimiawi jelas kalah saing dengan yang alami seperti ASI. Semoga semangat menjalankan penelitian di Indonesia jangan menjadi memble hanya karena berbagai hal luar biasa yang terjadi di Indonesia ini. Segala sesuatu mungkin terjadi kepada siapa saja, apalagi jika ikut memperhitungkan faktor apes. Namun spirit mencari kebenaran, baik untuk perkembangan keilmuan maupun untuk kemaslahatan masyarakat, jangan lantas menjadi kendur karena grogi melihat sikap kritis masyarakat. Jelas ini tantangan, tetapi harus dihadapi.(*)

dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi Partai Demokrat

Opini Okezone 14 Februari 2011