18 Februari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Menimbang Rapor KIB II

Menimbang Rapor KIB II

Oleh : Farman Exon, S.Sos
Ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto saat ini sedang sibuk mempersiapkan evaluasi program kinerja menteri Kabinet Indonesia.
Sementara para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II justru waswas dengan hasil laporan yang akan diserahkan kepada presiden itu. Hal itu memang wajar mengingat dampak dari laporan itu justru bisa mengakhiri karier politik para menteri.
Evaluasi yang dilakukan oleh UKP4 adalah program 2010 yang dinaungi oleh Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 atau Inpres 1/2010. Inpres itu terdiri atas 369 rencana aksi (renaksi), di antaranya 16 renaksi di bidang reformasi birokrasi dan tata kelola, 18 renaksi di bidang pendidikan, dan 19 renaksi di bidang kesehatan. UKP4 dibentuk pada 9 Desember 2009 berdasarkan Perpres No 54/2009 untuk memastikan setiap kementerian bisa bersinergi dengan baik. Tugas pokok UKP4 adalah melakukan pemantauan, pengendalian, pelancaran, dan percepatan atas pelaksanaan program pemerintah. Laporan atas evaluasi kinerja dilakukan setiap dua bulan sekali.
Bagi Presiden, UKP4 adalah perpanjangan dari mata, telinga, dan tangan Kepala Negara untuk melakukan sesuatu jika dibutuhkan. Berdasarkan evaluasi UKP4 itulah, Presiden akan lebih mudah, cepat, dan tepat untuk menilai capaian kinerja selama satu tahun. Bagaimana hasil evaluasi UKP4 tersebut? Kuntoro mengungkapkan masih ada menteri yang mendapat rapor merah alias tidak memenuhi target yang telah ditetapkan Presiden.
Menteri yang mendapat nilai merah itulah yang akan dipanggil Presiden. Dalam konteks rapor merah itulah, muncul wacana perlunya kabinet dirombak dengan cara mengganti atau menggeser posisi menteri. Istilah reshuffle atau perombakan susunan kabinet yang dilantik 22 Oktober 2009 itu makin nyaring. Sejumlah media bahkan menyebut beberapa figur menteri yang layak di-reshuffle. Seperti kita ketahui, dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan/atau memberhentikan.
Artinya, kewenangan penuh untuk melakukan reshuffle ada di tangan presiden. Masyarakat dan partai politik hanya mengusulkan. Langkah reshuffle pernah dilakukan Presiden Yudhoyono saat memimpin Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Pertanyaan kita kemudian adalah apakah dengan sudah adanya laporan final atas evaluasi kinerja menteri yang diserahkan UKP4 Presiden akan menempuh jalan reshuffle? Rupanya Presiden belum akan mengambil keputusan reshuffle dalam waktu dekat. Menteri-menteri yang memperoleh nilai merah, menurut Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, masih diberi kesempatan selama enam bulan untuk memperbaiki kinerja sehingga program yang telah dicanangkan mencapai hasil maksimal.
Dengan penegasan ini, wacana reshuffle bisa disebut tidak relevan lagi. Dengan berbagai pertimbangan, Presiden selaku kepala negara lebih mementingkan konsolidasi kabinet. Bagi partai yang kadernya ada di kabinet, hal ini tentu melegakan. Sebaliknya, partai yang berharap ada kadernya yang bisa masuk kabinet harus menunggu minimal enam bulan lagi. Dengan masih diberikannya kesempatan selama enam bulan bagi menteri yang memiliki rapor merah, kita ingin mengingatkan bahwa tugas dan tanggung jawab mereka lebih besar ketimbang menteri yang nilainya lebih baik atau capaian programnya telah memenuhi standar kriteria yang ditetapkan.
Sisa waktu enam bulan rasanya cukup untuk melakukan evaluasi internal di kementerian bersangkutan. Apalagi, program kerja yang mesti dilaksanakan para menteri saat ini lebih terukur, dan karena itu lebih jelas dan lebih mudah dilaksanakan. Bahwa dalam pelaksanaannya ternyata masih banyak kendala, di situlah menteri harus punya keahlian, keterampilan, dan staf ahli yang memadai untuk mencapai target-target program kerjanya. Di atas semua proses dan mekanisme, kita ingin mengingatkan satu hal bahwa dalam capaian pemenuhan program kerja, kepentingan rakyat harus menjadi prioritas. Mengapa?
Dari para menterilah persoalan teknis dan detail segala hal yang dibutuhkan rakyat mestinya bisa dipenuhi. Presiden hanya memberi acuan garis besar dan mesti diterjemahkan oleh para pembantunya dalam hal ini menteri agar setiap kebijakan pemerintah berimbas pada pemenuhan kepentingan rakyat.
Sementara kalau menyimak ucapan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi tentang hasil evaluasi UKP4 atas kinerja menteri KIB di Jakarta kemarin-bahwa di antara menteri ada yang (dinilai) berhasil dan ada yang belum berhasil, ada yang sukses betul, ada yang tidak sukses-itu merupakan isyarat bahwa kinerja pemerintah saat ini "pincang" akibat tak semua sektor memperlihatkan kinerja baik, jauh dari memuaskan. Meski Sudi menyatakan penilaian UKP4 itu tak akan dijadikan sebagai parameter untuk dilakukannya reshuffle kabinet, dengan alasan reshuffle merupakan hak (prerogatif) Presiden, SBY sebaiknya memberikan kata pasti sesegera mungkin, apakah akan melakukan penggantian menteri atau tidak, atau hanya akan meminta menteri-menteri yang dinilai bekerja buruk agar meningkatkan kerja mereka. Kepastian Presiden soal akan ada atau tidaknya reshuffle merupakan keharusan.
Sebab, akhir-akhir ini di tengah masyarakat telah terbentuk opini bahwa SBY akan mengganti beberapa menteri yang tidak becus. Jika keyakinan yang telah terbentuk itu diabaikan, SBY harus siap dengan berbagai kemungkinan, termasuk menurunnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya. Reshuffle menjadi kebutuhan mendesak diwujudkan. Jika tidak, berbagai tudingan akan makin gencar, termasuk berbagai penilaian miring yang sudah berkembang di tengah masyarakat, semisal tudingan bahwa pemerintah memanfaatkan isu reshuffle sebagai pengalihan isu, sampai pada anggapan bahwa SBY peragu, hanya sibuk dengan pemolesan citra, tidak prorakyat, dan lainnya.
Apalagi berbagai penilaian negatif terhadap pemerintah sudah sangat keras. Bahkan para tokoh lintas agama dalam pertemuan khusus, Selasa (11/1), di Jakarta, mengeluarkan pendapat bahwa Presiden SBY telah melakukan sembilan kebohongan. Penilaian itu dapat menjatuhkan kredibilitas pemerintahan di mata rakyat. Karena itu, SBY saatnya memperlihatkan sikap berani, melakukan tindakan nyata, bukan berwacana.
Tentang reshuffle, di tengah masyarakat juga sudah berkembang penilaian menyangkut kinerja para menteri, juga tentang sikap SBY dalam menyikapi berbagai kasus. Menteri yang membawahi bidang hukum, serta institusi penegak hukum-Kejaksaan Agung, Polri, Mahkamah Agung-dinilai tidak becus dengan tidak kunjung beresnya penegakan hukum, termasuk tetap maraknya korupsi. Rakyat juga mempertanyakan kinerja Menteri Perdagangan, pertanian, terkait melangitnya harga bahan pokok. Begitu juga dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dianggap tak peka terhadap nasib TKI di luar negeri.
Oleh karenanya, maka seharusnya langkah reshuffle segera dilakukan, karena berdasarkan pertimbangan bahwa kegagalan justru mendominasi kinerja KIB II saat ini. Tidak ada relevansinya untuk mempertahankan kinerja yang penuh dengan kegagalan karena hanya akan menambah persoalan di kemudian hari.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan kemasyarakatan, tinggal di kota Medan.
Opini Analisa Daily 18 Februari 2011