17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » Revolusi Twitter

Revolusi Twitter

SEORANG teman menulis di sebuah majalah, betapa besar dampak Twitter dalam merevolusi hidup. Bila generasi tua hanya tahu steik Abuba yang terletak di sekitar Jalan Fatmawati, Kebayoran Baru, generasi sekarang mengenal Holycow Steak (di Jalan Radio Dalam) yang dikenal melalui twitter.

Di buku Cracking Zone saya juga menyebut kisah sebuah jaringan kedai yoghurt yang mengaku tumbuh pesat hanya berbekal promosi melalui Twitter kepada lima pelanggan. Pelanggan-pelanggan setia itu lalu me-retwitt lagi ke teman-temannya. Sungguh tak ada yang menyangka, Twitter telah menjadi media jaringan sosial yang luar biasa di negeri ini. Saya sendiri termasuk terlambat memberikan perhatian, namun begitu kami masuk, setiap hari lebih dari 100 orang masuk menjadi follower.

Obrolan Langsat

Di antara berbagai komunitas yang terbentuk, ada satu komunitas yang telah menjelma menjadi komunitas organik yang hidup dan bertemu secara rutin. Kelompok ini dikenal luas di kalangan Generation C sebagai Obsat atau Obrolan Langsat. Ia terbentuk di sebuah rumah di Jalan Langsat yang difasilitasi oleh para senior seperti Didi Nugrahadi dan Wicaksono. Dua minggu lalu saya pun diminta meluncurkan buku saya di komunitas ini. Dalam tempo seminggu ratusan anak muda berkumpul di Rumah Langsat. Berbekal tiga ekor kambing guling jadilah diskusi hangat seputar buku baru itu hingga pukul 22.30.

Diskusi di rumah dengan lesehan dalam suasana yang rileks, saling asah. Ternyata diskusi itu tidak hanya berhenti di situ. Semua peserta terlihat aktif men-twitt apa yang mereka dapatkan, pikirkan, atau rasakan. Dalam tempo seminggu saya mendapat kabar begitu banyak pembaca setia buku ini memberi tahu bahwa mereka sudah memilikinya dan melakukan diskusi aktif dengan saya. Di luar dugaan saya, mereka terdiri atas berbagai kalangan, tua maupun muda. Pertanyaan-pertanyaan kritis pun begitu terbuka didiskusikan. Maka ketika buku ini beredar saya menjadi sedikit lebih lega. Ia bergerak lebih cepat dari yang diduga sebelumnya, dengan biaya minimal. Demikianlah saat peluncuran dilakukan secara resmi di Gedung FEUI, kemarin, praktis kehadiran buku ini sudah lebih dikenal. Saya bersyukur karena membuat buku adalah sebuah kegiatan akademik yang sangat mahal.

Kami menghabiskan ribuan jam kerja untuk membaca, menguji hipotesa, mengunjungi narasumber, dan menulis. Buku yang baik bukan sekadar baik secara isi, namun harus juga ditulis dengan contoh-contoh riil. Ia harus dikemas agar memudahkan pembaca memahami dan memperoleh manfaat yang besar. Sudah begitu, biaya promosi saat ini sangat mahal untuk sebuah buku. Buku bukanlah mass consumer goods sehingga kalaupun menjadi national best seller, tidak cukup untuk membiayai promosi secara konvensional. Belum lagi besarnya pajak yang harus ditanggung. Maka dalam situasi sekarang ini revolusi Twitter sangat membantu pewartaan karya-karya yang baik. Twitter telah merevolusi banyak hal, termasuk dalam mengedukasi masyarakat.

Komunitas Minat

Media sosial telah membentuk banyak komunitas-komunitas virtual. Baik itu community of problem (dibentuk mereka yang punya masalah sama), community of profession (kesamaan profesi), dan community of interest (kesamaan minat). Kesamaan minat ternyata telah tumbuh begitu kuat seperti Anda saksikan belakangan. Komunitas ini begitu cair, dengan minat yang bisa berubah dari waktu ke waktu. Seperti kata Dan Pankraz, Generasi C adalah generasi yang bergerak begitu cepat seperti sebuah rombongan ikan yang bergerak di samudra luas.

Tak seorang pun menjadi pemimpin. Ia bisa berubah seketika begitu mendapatkan gangguan dan mengalihkan perhatiannya. Namun saya perlu mengingatkan komunitas ini tidak dapat dibentuk semata-mata dengan opini, melainkan dengan action. Salah seorang penerima Crackership Award, Hasnul Suhaimi, CEO XL Axiata, berulang kali mengingatkan bawahannya betapa penting bertindak dari sekadar berwacana. Saat melakukan presentasi Cracking Zone di kantornya saya menurunkan sebuah film pendek yang dibikin para peneliti di Stockholm untuk mengubah kebiasaan orang naik tangga. Tentu kalau ada pilihan, orang lebih senang memilih naik eskalator ketimbang naik tangga.

Namun bisakah kita memindahkan mereka secara sukarela? Para peneliti di Stockholm melakukan eksperimen dengan mengubah tangga menjadi tuts piano. Setiap orang melangkah, berbunyilah nada-nada piano. Upaya mereka berhasil. Sebanyak 66% orang kini lebih memilih naik tangga ketimbang eskalator. Mereka menyebut temuan itu sebagai Fun Theory. Melihat itu Hasnul Suhaimi segera berujar, ”Mulai besok kita harus buat bukan hanya iklan yang fun, yang lain juga.” Saya kira Hasnul benar. Tanpa merasa fun, tak ada minat membaca buku, membuang sampah, bahkan meneruskan keturunan atau ibadat suci. Sudah sejak berabad-abad para nabi dan negarawan membuat ritual-ritual yang bernuansa fun.

Sayangnya, sebagian orang telah menggantinya menjadi serbaserius, penuh ancaman, dan membosankan. Revolusi Twitter mengajarkan kita cara-cara baru yang fun dan penuh kehangatan.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Opini Okezone 10 Februari 2011