Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI, Advisor Local Governance Watch-UI
Cukup miris kita menyaksikan kembali persoalan konflik horizontal  bernuansa agama terulang kembali terjadi di Republik ini. Benang merah  dalam catatan penulis adalah selalu tidak berjauhan dengan gejolak  politik yang sedang terjadi, terutama dentuman keras pada aras utama  kepemimpinan nasional. Selang beberapa saat kita akan disodori oleh  gejolak sosial besar yang berkembang di tengah masyarakat. Kini kita  saksikan soal Ahmadiyah dan pembakaran gereja di Temanggung. Apa yang  bisa kita pelajari dari sini?
Spektrum
Banyak dimensi dan banyak cara pandang dalam memahami soal ini. Dari  dimensi politik saja, tampaknya menghasilkan sebuah spektrum yang luas  atas kemungkinan penyebab terjadinya konflik sosial tersebut.
Kemungkinan yang paling mendasar adalah memang ada konflik terpendam  yang terjadi dan masyarakat membutuhkan penengah yang adil. Kemungkinan  ini dalam kacamata awam barangkali yang paling banyak dirasakan. Mereka  mudah terjebak dalam arus pusaran konflik. Bagi yang sadar dalam arus  konflik, akan mudah untuk bertindak rasional, tetapi yang tidak sadar  akan mudah emosional.
Kemungkinan kedua adalah konflik tersebut dibesar-besarkan oleh  segelintir elite yang ingin mengambil keuntungan. Spektrum ini masih  terkait dengan spektrum pertama. Hanya, dipompa menjadi besar karena ada  beberapa pihak yang melihat peluang dari konflik yang terjadi. Elite  seperti ini tentu membahayakan jika masyarakat tidak menyadarinya.  Tetapi elite ini masih tergolong lemah sebetulnya karena posisinya masih  berada dalam lingkaran konflik tersebut yang bisa jadi masih bernuansa  lokal.
Kemungkinan ketiga adalah negara membiarkan. Ini kesengajaan, justru  dibiarkan oleh negara seolah-olah berkembang alamiah saja. Negara merasa  tidak sanggup menghadapi konflik tersebut. Ini jelas tidak kondusif  untuk mengarah pada titik peredaman konflik. Pada kondisi ini, akan  terbuka masuknya elite di tingkat nasional yang dapat mengambil  keuntungan dari persoalan ini. Akibatnya eskalasi konflik terjadi dan  bertambah luas.
Spektrum terakhir adalah negara bermain dan memiliki kepentingan atas  konflik tersebut. Ini kondisi yang sudah bernilai lebih dalam daripada  spektrum ketiga. Sejak awal inteligensi negara mengetahui akan adanya  konflik, tetapi negara melihat adanya kepentingan yang lebih besar yang  harus diselamatkan, akhirnya negara sengaja membiarkan. Dalam spektrum  ini juga sebetulnya yang mengendalikan adalah elite nasional yang  menguasai negara. Elite nasional memainkan isu di tingkat nasional untuk  menyelamatkan posisinya.
Dari empat spektrum tersebut, dari kasus Ahmadiyah Cikeusik dan  pembakaran gereja di Temanggung belum cukup kuat untuk disimpulkan pada  spektrum mana sedang dihadapi oleh Republik ini. Yang pasti dari keempat  spektrum bisa memiliki kemungkinan benar terjadi dan harus dihadapi  oleh kita.
Negara Memihak
Dalam model birokrasi yang dipaparkan oleh Ledivina Carino (1985)  negara dapat dikendalikan oleh kaum pemilik modal, negara juga merupakan  resultante dari tarik-menarik berbagai kepentingan, dan akhirnya negara  juga dapat memiliki kepentingan sendiri. Dalam tataran empiris,  model-model tersebut dapat terjadi berupa campuran antarmodel.  Contohnya, negara memiliki kepentingan sendiri dengan melalui proses  panjang tarik-menarik berbagai kepentingan seperti di Indonesia kini.
Indonesia jelas sebagai negara yang sedang tumbuh kembang nilai  demokrasinya, kelembagaan negara dibangun atas dasar kepentingan  berbagai kelompok. Sebagai penggerak negara, pemerintah dikendalikan  oleh rezim yang merupakan pilihan bersama masyarakat. Tetapi, sangat  mungkin pada saat berjalan, rezim dan birokrasi kembali sebagai pemain  tunggal (dominan) karena dia menentukan dan memiliki kepentingan  sendiri. Kenyataan ini sulit dielakkan di mana-mana sekalipun di negara  maju yang mengklaim demokratis dan pluralis pula.
Kembali pada akar persoalan isu agama di Indonesia, keempat spektrum  kemungkinan konflik horizontal bernuansa isu agama di atas, jelas  membutuhkan peran negara yang lebih memihak. Memihak pada kepentingan  bersama, bukan kepentingan sesaat. Negara di sini pasti dikendalikan  oleh rezim. Oleh karena itu, rezim berkuasa haruslah berperilaku  negarawan. Negarawan adalah penggerak negara yang memihak pada kebenaran  dan memihak pada kepentingan bersama serta kepentingan jangka panjang.
Kita ingin soal-soal seperti ini segera berakhir dengan menjadikannya  sebagai pelajaran agar kita dapat lebih banyak menumbuhkan jiwa-jiwa  kenegarawanan dalam masyarakat Indonesia. Sebetulnya proses pendidikan  elite seperti ini terkesan trial and error dan membawa banyak korban  bagi masyarakat. Tetapi tampaknya Indonesia diwarnai seperti ini sejak  awal kemerdekaan bahkan sejak penjajahan, sebuah mekanisme yang kurang  ideal sebetulnya.
Pendidikan elite melalui partai tampaknya juga kurang dapat  diharapkan. Melalui sistem pendidikan juga bisa kita saksikan, ternyata  lebih menghasilkan teknokrat, atau elite yang berjarak dengan massanya.  Akhirnya, kita juga terjebak dalam pembiaran bersama.
Dengan demikian, skenario besar yang jelas terukur harus disiapkan  seluruh komponen kita sebagai bangsa jika kita ingin menghentikan proses  seperti ini. Pertama, pendidikan elite menjadi negarawan harus menjadi  kebutuhan bersama. Nilai-nilai luhur kebangsaan dan kenegarawanan  menjadi masalah mendesak yang harus didorong oleh kita. Kemendiknas  harus merombak isi kurikulum dalam sistem pendidikan yang mengintroduksi  soal ini.
Kedua, sistem kepartaian yang bernuansa iklim kebangsaan dan  kenegarawanan harus didorong, sekalipun pahit. Dan terakhir, ketiga,  sistem kelembagaan negara yang mendorong netralitas birokrasi serta  profesionalitas harus ditegakkan juga di sini agar sinkron terhadap  berbagai kebutuhan perubahan menuju Indonesia yang damai dan bersih.
Opini Lampung Post 18 Februari 2011
17 Februari 2011
Spektrum Politik Isu Agama
Thank You!