17 Februari 2011

» Home » Lampung Post » Opini » Spektrum Politik Isu Agama

Spektrum Politik Isu Agama

Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI, Advisor Local Governance Watch-UI
Cukup miris kita menyaksikan kembali persoalan konflik horizontal bernuansa agama terulang kembali terjadi di Republik ini. Benang merah dalam catatan penulis adalah selalu tidak berjauhan dengan gejolak politik yang sedang terjadi, terutama dentuman keras pada aras utama kepemimpinan nasional. Selang beberapa saat kita akan disodori oleh gejolak sosial besar yang berkembang di tengah masyarakat. Kini kita saksikan soal Ahmadiyah dan pembakaran gereja di Temanggung. Apa yang bisa kita pelajari dari sini?
Spektrum
Banyak dimensi dan banyak cara pandang dalam memahami soal ini. Dari dimensi politik saja, tampaknya menghasilkan sebuah spektrum yang luas atas kemungkinan penyebab terjadinya konflik sosial tersebut.
Kemungkinan yang paling mendasar adalah memang ada konflik terpendam yang terjadi dan masyarakat membutuhkan penengah yang adil. Kemungkinan ini dalam kacamata awam barangkali yang paling banyak dirasakan. Mereka mudah terjebak dalam arus pusaran konflik. Bagi yang sadar dalam arus konflik, akan mudah untuk bertindak rasional, tetapi yang tidak sadar akan mudah emosional.
Kemungkinan kedua adalah konflik tersebut dibesar-besarkan oleh segelintir elite yang ingin mengambil keuntungan. Spektrum ini masih terkait dengan spektrum pertama. Hanya, dipompa menjadi besar karena ada beberapa pihak yang melihat peluang dari konflik yang terjadi. Elite seperti ini tentu membahayakan jika masyarakat tidak menyadarinya. Tetapi elite ini masih tergolong lemah sebetulnya karena posisinya masih berada dalam lingkaran konflik tersebut yang bisa jadi masih bernuansa lokal.
Kemungkinan ketiga adalah negara membiarkan. Ini kesengajaan, justru dibiarkan oleh negara seolah-olah berkembang alamiah saja. Negara merasa tidak sanggup menghadapi konflik tersebut. Ini jelas tidak kondusif untuk mengarah pada titik peredaman konflik. Pada kondisi ini, akan terbuka masuknya elite di tingkat nasional yang dapat mengambil keuntungan dari persoalan ini. Akibatnya eskalasi konflik terjadi dan bertambah luas.
Spektrum terakhir adalah negara bermain dan memiliki kepentingan atas konflik tersebut. Ini kondisi yang sudah bernilai lebih dalam daripada spektrum ketiga. Sejak awal inteligensi negara mengetahui akan adanya konflik, tetapi negara melihat adanya kepentingan yang lebih besar yang harus diselamatkan, akhirnya negara sengaja membiarkan. Dalam spektrum ini juga sebetulnya yang mengendalikan adalah elite nasional yang menguasai negara. Elite nasional memainkan isu di tingkat nasional untuk menyelamatkan posisinya.
Dari empat spektrum tersebut, dari kasus Ahmadiyah Cikeusik dan pembakaran gereja di Temanggung belum cukup kuat untuk disimpulkan pada spektrum mana sedang dihadapi oleh Republik ini. Yang pasti dari keempat spektrum bisa memiliki kemungkinan benar terjadi dan harus dihadapi oleh kita.
Negara Memihak
Dalam model birokrasi yang dipaparkan oleh Ledivina Carino (1985) negara dapat dikendalikan oleh kaum pemilik modal, negara juga merupakan resultante dari tarik-menarik berbagai kepentingan, dan akhirnya negara juga dapat memiliki kepentingan sendiri. Dalam tataran empiris, model-model tersebut dapat terjadi berupa campuran antarmodel. Contohnya, negara memiliki kepentingan sendiri dengan melalui proses panjang tarik-menarik berbagai kepentingan seperti di Indonesia kini.
Indonesia jelas sebagai negara yang sedang tumbuh kembang nilai demokrasinya, kelembagaan negara dibangun atas dasar kepentingan berbagai kelompok. Sebagai penggerak negara, pemerintah dikendalikan oleh rezim yang merupakan pilihan bersama masyarakat. Tetapi, sangat mungkin pada saat berjalan, rezim dan birokrasi kembali sebagai pemain tunggal (dominan) karena dia menentukan dan memiliki kepentingan sendiri. Kenyataan ini sulit dielakkan di mana-mana sekalipun di negara maju yang mengklaim demokratis dan pluralis pula.
Kembali pada akar persoalan isu agama di Indonesia, keempat spektrum kemungkinan konflik horizontal bernuansa isu agama di atas, jelas membutuhkan peran negara yang lebih memihak. Memihak pada kepentingan bersama, bukan kepentingan sesaat. Negara di sini pasti dikendalikan oleh rezim. Oleh karena itu, rezim berkuasa haruslah berperilaku negarawan. Negarawan adalah penggerak negara yang memihak pada kebenaran dan memihak pada kepentingan bersama serta kepentingan jangka panjang.
Kita ingin soal-soal seperti ini segera berakhir dengan menjadikannya sebagai pelajaran agar kita dapat lebih banyak menumbuhkan jiwa-jiwa kenegarawanan dalam masyarakat Indonesia. Sebetulnya proses pendidikan elite seperti ini terkesan trial and error dan membawa banyak korban bagi masyarakat. Tetapi tampaknya Indonesia diwarnai seperti ini sejak awal kemerdekaan bahkan sejak penjajahan, sebuah mekanisme yang kurang ideal sebetulnya.
Pendidikan elite melalui partai tampaknya juga kurang dapat diharapkan. Melalui sistem pendidikan juga bisa kita saksikan, ternyata lebih menghasilkan teknokrat, atau elite yang berjarak dengan massanya. Akhirnya, kita juga terjebak dalam pembiaran bersama.
Dengan demikian, skenario besar yang jelas terukur harus disiapkan seluruh komponen kita sebagai bangsa jika kita ingin menghentikan proses seperti ini. Pertama, pendidikan elite menjadi negarawan harus menjadi kebutuhan bersama. Nilai-nilai luhur kebangsaan dan kenegarawanan menjadi masalah mendesak yang harus didorong oleh kita. Kemendiknas harus merombak isi kurikulum dalam sistem pendidikan yang mengintroduksi soal ini.
Kedua, sistem kepartaian yang bernuansa iklim kebangsaan dan kenegarawanan harus didorong, sekalipun pahit. Dan terakhir, ketiga, sistem kelembagaan negara yang mendorong netralitas birokrasi serta profesionalitas harus ditegakkan juga di sini agar sinkron terhadap berbagai kebutuhan perubahan menuju Indonesia yang damai dan bersih.
Opini Lampung Post 18 Februari 2011